Archive for the ‘cerita rakyat dan legenda’ Category

Keong Emas

Pada zaman dahulu di Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang disebut Kerajaan Daha. Di sana hiduplah dua orang putri yang sangat cantik jelita. Putri nan cantik jelita tersebut bernama Candra Kirana dan Dewi Galuh. Kedua putri Raja Kertamarta tersebut hidup sangat bahagia dan serba berkecukupan.

Hingga suatu hari datanglah seorang pangeran yang sangat tampan dari Kerajaan Kahuripan ke Kerajaan Daha. Pangeran tersebut bernama Raden Inu Kertapati. Maksud kedatangannya ke Kerajaan Daha adalah untuk melamar Candra Kirana. Kedatangan Raden Inu Kertapati sangat disambut baik oleh Raja Kertamarta, dan akhirnya Candra Kirana ditunangkan dengan Raden Inu Kertapati. Pertunangan itu ternyata membuat Dewi Galuh merasa iri. Dewi Galuh merasa kalau Raden Inu Kertapati lebih cocok untuk dirinya. Oleh karena itu, Dewi Galuh lalu pergi ke rumah Nenek Sihir. Dia meminta agar nenek sihir itu menyihir Candra Kirana menjadi sesuatu yang menjijikkan dan dijauhkan dari Raden Inu. Nenek Sihir pun menyetujui permintaan Dewi Galuh, dan menyihir Candra Kirana menjadi Keong Emas, lalu membuangnya ke sungai.

Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut dalam jalanya tersebut. Keong Emas itu lalu dibawanya pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi di sungai, tetapi tak mendapat ikan seekorpun. Kemudian Nenek tersebut memutuskan untuk pulang saja, sesampainya di rumah ia sangat kaget sekali, karena di meja sudah tersedia masakan yang sangat enak-enak. Si nenek bertanya-tanya pada dirinya sendiri, siapa yang membuat masakan ini.

Begitu pula hari-hari berikutnya si nenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya nenek ingin mengintip apa yang terjadi pada saat dia pergi mencari ikan. Nenek itu lalu berpura-pura pergi ke sungai untuk mencari ikan seperti biasanya, lalu pergi ke belakang rumah untuk mengintipnya. Setelah beberapa saat, si nenek sangat terkejut. Karena keong emas yang ada di tempayan berubah wujud menjadi gadis cantik. Gadis tersebut lalu memasak dan menyiapkan masakan tersebut di meja. Karena merasa penasaran, lalu nenek tersebut memberanikan diri untuk menegur putri nan cantik itu. “Siapakah kamu ini putri cantik, dan dari mana asalmu?”, tanya si nenek. “Aku adalah putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh nenek sihir utusan saudaraku karena merasa iri kepadaku”, kata keong emas. Setelah menjawab pertanyaan dari nenek, Candra Kirana berubah lagi menjadi Keong Emas, dan nenek sangat terheran-heran.

Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu Candra Kirana menghilang. Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya Raden itu pergi ke desa Dadapan. Setelah berjalan berhari-hari, sampailah ia di desa Dadapan. Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta seteguk air karena perbekalannya sudah habis. Di gubuk itu ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia melihat Candra Kirana sedang memasak. Akhirnya sihir dari nenek sihir pun hilang karena perjumpaannya saat menolong kakek tua. Akhirnya Raden Inu membawa tunangannya beserta nenek yang baik hati tersebut ke istana, dan Raden Inu menceritakan perbuatan Dewi Galuh pada Baginda Kertamarta.
Baginda meminta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Dewi Galuh lalu mendapat hukuman yang setimpal. Karena Dewi Galuh merasa takut, maka dia melarikan diri ke hutan. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapati pun berlangsung, dan pesta tersebut sangat meriah. Akhirnya mereka hidup bahagia.
Cerita Rakyat “Keong Emas” ini diceritakan kembali oleh Kak Ghulam Pramudiana.

Sumber :
http://www.ceritaanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:keong-emas&catid=36:cerita-rakyat&Itemid=56

NASKAH DRAMA

KEONG EMAS

Babak 1
Adegan 1
Pada zaman dahulu, di Kerajaan Daha hiduplah dua orang putri yang sangat cantik jelita. Putri nan cantik jelita tersebut bernama Candra Kirana dan Dewi Galuh. Kedua putri Raja Kertamarta tersebut hidup sangat bahagia dan serba berkecukupan. Hingga suatu hari, datanglah seorang pangeran yang sangat tampan dari Kerajaan Kahuripan ke Kerajaan Daha. Pangeran tersebut bernama Raden Inu Kertapati. Maksud kedatangannya ke Kerajaan Daha adalah untuk melamar Candra Kirana. Kedatangan Raden Inu Kertapati itu sangat disambut baik oleh Raja Kertamarta dan akhirnya Candra Kirana ditunangkan dengan Raden Inu Kertapati.
Candra Kirana : “Sayangku, kita akan menikah beberapa hari lagi.”
Raden Inu : “Betul sekali, cintaku.”
Candra Kirana : “Ada sesuatu yang mau aku tanyakan kepadamu.”
Raden Inu : “Apa itu? Beritahu aku sekarang.”
Candra Kirana : “Apakah kau benar-benar mencintaiku?”
Raden Inu : “Sudah tentu, cintaku. Aku mencintaimu dengan segenap
hatiku. Bagaimana dengan sayangku?”
Candra Kirana : “Saya juga sangat mencintaimu.”

Pada saat ada orang yang baik, selalu ada juga orang yang tidak baik. Dewi Galuh, saudara tirinya Candra Kirana sangat cemburu dan hatinya dipenuhi kebencian kepada Candra Kirana. Dewi Galuh benar-benar ingin menjadi istri Raden Inu. Oleh sebab itu, Dewi Galuh mencoba melakukan apa saja untuk menghilangkan Candra Kirana.

Adegan 2

Dewi Galuh : “Maafkan saya saudaraku sayang, saya mau berbicara
denganmu sebentar.”
Candra Kirana : “Baiklah.”
Raden Inu : “Aku pikir lebih baik aku pergi sekarang. Besok aku akan
pergi berburu selama lima hari sendirian.
Candra Kirana : “Sendirian? Aku akan sangat khawatir padamu.”
Raden Inu : “Jangan cemas, aku akan baik-baik saja, sayang!”

Adegan3

Dewi Galuh : “Aku dengar kamu dan Raden Inu akan segera menikah
dalam beberapa hari ini, apakah itu benar?
Candra Kirana : “Ya, betul! Kami akan segera menikah.”
Dewi Galuh : “Oh, itu sangat bagus! Aku harap kamu akan bahagia dengan
dia. Selamat ya!”
Candra Kirana : “Terima kasih. Dapatkah kamu datang ke upacara pernikahanku?”
Dewi Galuh : “Tentu saja, aku akan datang.”

Babak 2

Pada hari berikutnya, Dewi Galuh bertemu seorang penyihir tua untuk meminta bantuannya.

Adegan 1

Penyihir : “Ada apa Tuan Putri? Mengapa tiba-tiba Anda mau bertemu dengan saya?
Dewi Galuh : “Dapatkah Anda membantuku, penyihir yang hebat dan baik hati?”
Penyihir : “Apa yang dapat saya lakukan untukmu, Tuan Putri?”
Dewi Galuh : “Aku ingin menghilangkan Candra Kirana dari sisi Raden Inu.”
Penyihir : “Ah, hal itu mudah saja dilakukan. Mendekatlah ke sini Tuan Putri. Saya akan beritahukan caranya.”

Penyihir lalu memberikan mantra ke Dewi Galuh sebagai kutukan untuk Galuh Candra.

Adegan 2

Penyihir : “Tuan putri Dewi Galuh harus menggunakan mantra ini
hanya untuk Candra Kirana. Wahai Iblis Kegelapan, berilah
kekuatan kutukanmu pada Candra Kirana agar menjadi
keong emas.”
Dewi Galuh : “Oh, itu mudah dilakukan. Sebelum dia menjadi keong emas,
aku akan membuat dia menderita.”

Dewi Galuh mengatur rencana untuk menghilangkan Candra Kirana dan berkata,

Dewi Galuh : “Oh, betapa hebatnya penyihir itu. Dia dapat menjadikan
Candra Kirana menjadi keong hanya dengan kutukan.
Sebelum dia menjadi keong, aku akan membuang kamu,
Candra Kirana. Sehingga kamu tak akan pernah kembali
lagi. ( Candra Kirana tertawa puas ).

Babak 3

Candra Kirana dibuang jauh dari kerajaan oleh Dewi Galuh.
Adegan 1

Dewi Galuh : “Terimalah ini Candra Kirana! Ini adalah hasil yang harus
kamu terima, karena kamu telah merebut sesuatu yang saya inginkan.”
Candra Kirana : “Saudaraku, mengapa kamu membuangku? Begitu besarkah
kebencianmu padaku?
Dewi Galuh : “Ya, saya sangat membencimu!”
Candra Kirana : “Mengapa kamu membenciku, saudaraku?”
Dewi Galuh : “Mengapa? Karena kamu telah mendapatkan segalanya, tetapi aku sendiri? Apa yang kupunya? Saudaraku tercinta, bersiap-siaplah untuk mendapatkan segala sesuatu yang akan membuat kamu lebih menderita. Kamu akan menjadi keong emas. Oh, iblis kegelapan berilah kekuatanmu! Kutuklah Candra Kirana menjadi keong emas sekarang.”

Setelah Dewi Galuh mengucapkan mantra, Candra Kirana berubah menjadi keong emas dan Dewi Galuh meninggalkan dia sendirian di pantai yang jauh dari istana.

Candra Kirana : “Wahai Tuhan, mengapa Dewi Galuh sangat membenciku? Apakah aku telah melakukan sesuatu yang salah?” ( Candra Kirana berkata sambil terisak-isak ).

Babak 4

Ketika Candra Kirana disapu oleh air laut, tiba-tiba Candra Kirana melihat seorang nenek yang sedang berjalan-jalan di dekat pantai. Namanya Nyai Dadapan.

Adegan 1

Nyai Dadapan : “Oh, betapa panasnya hari ini! Wah, ada keong cantik!” (sambil mengangkat keong tersebut).

Lalu Nyai Dadapan mengambil dan membawa keong tersebut ke pondoknya. Ketika tiba di pondok, keong itu ditaruh di dalam tempayan..

Nyai Dadapan : “Tunggu sebentar disini anak kecil, aku akan pergi tidur.”

Babak 5

Hari selanjutnya Nyai Dadapan berencana memancing di laut.

Adegan1

Nyai Dadapan : “Jangan pergi ke mana-mana! Aku akan pulang dan membawa makanan untukmu.

Kemudian Nyai Dadapan meninggalkan Candra Kirana sendirian di pondok tua itu.

Candra Kirana : “Terima kasih Nenek telah membantuku. Aku akan membayar kembali kebaikanmu.”

Oleh karena itu, Candra Kirana bekerja membersihkan pondok dan memasak makanan untuk nenek itu.

Babak 6
Beberapa saat kemudian, Nyai Dadapan kembali ke rumah tanpa membawa apa-apa.

Adegan 1

Nyai Dadapan : “Oh, betapa tidak beruntungnya aku hari ini! Aku tak mendapat ikan sama sekali.” (matanya membuka lebar melihat banyak sekali makanan lezat di meja makannya). “Hmm… Ada makanan yang lezat-lezat. Kebetulan sekali aku sedang lapar.”

Tanpa berpikir dua kali, Nyai Dadapan langsung memakan makanan tersebut.
Lalu dia baru teringat akan sesuatu.

Nyai Dadapan : “Siapa yang telah memasak seluruh makanan ini?” (ia bertanya-tanya di dalam hati).

Babak 7

Pagi berikutnya, ia berencana bahwa ia akan pergi memancing.

Nyai Dadapan : “Aku akan pura-pura memancing, lalu aku akan bersembunyi
dengan cepat dibalik pintu.”

Kemudian ia melihat keong emas itu merangkak keluar dari tempayan. Nyai Dadapan sangat terkejut ketika keong emas itu berubah menjadi seorang gadis yang cantik. Lalu Candra Kirana membersihkan pondok dan memasak makanan.

Adegan 1

Nyai Dadapan : “Hai! Siapa kamu gadis cantik?”
Candra Kirana : (Candra Kirana terkejut ketika nenek tua itu melihat rupa aslinya). Saya Candra Kirana, putri dari Kerajaan Daha. Saya mempunyai saudara tiri yang bernama Dewi Galuh. Dia benar-benar membenci saya dan saya dikutuk menjadi keong emas.”

Setelah berkata begitu, Candra Kirana berubah menjadi keong emas kembali.

Nyai Dadapan : “Oh betapa malangnya! Dewi Galuh sangat kejam. Ya Tuhan,
selamatkanlah putri ini dari setiap ujian yang dihadapinya.
Hukumlah saudara tirinya.”

Babak 8

Kemudian Raden Inu tiba di istana dan ia tidak melihat tunangannya. Oleh karena itu, ia bertanya dengan Dewi Galuh.

Adegan 1

Raden Inu : “Dewi Galuh, dimanakah Candra Kirana? Aku tidak melihat Candra Kirana.”
Dewi Galuh : “Ini bukan maksudku untuk menyakitimu, tetapi Candra Kirana telah berselingkuh dengan penjaga di kerajaan kita.”
Raden Inu : “Benarkah? Bagaimana bisa dia melakukan itu? Dia berkata bahwa dia mencintaiku dan aku juga mencintainya.”
Dewi Galuh : “Ya, aku tahu. Tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan yang kamu harapkan.”

Babak 9

Adegan 1

Raden Inu tetap tidak percaya. Oleh karena itu, dia mencari informasi tentang tunangannya dan akhirnya dia tahu bahwa Candra Kirana tidak bersalah. Kemudian sang putra mahkota pergi menyusuri desa Dadapan dan dia mencari tunangannya.

Raden Inu : “Cintaku… Candra Kirana!”
Candra Kirana : “Sayangku, Raden Inu! Sedang apa kamu di sani?”
Raden Inu : “Aku sedang mencarimu ke mana-mana, sayangku!”
Candra Kirana : “Nyai Dadapan! Nyai Dadapan! Raden Inu datang menjemput saya.”
Nyai Dadapan : “Yang Mulia datang ke sini untuk bertemu Candra Kirana, ya?
Raden Inu : “Ya, benar sekali, Nek.”
Nyai Dadapan : “Kalau begitu, saya akan membiarkan kalian berdua bercakap-cakap. Saya akan mengambil minuman.”
Raden Inu : “Terimakasih, Bu.” (Nyai Dadapan pergi untuk mengambil minuman)

Adegan 2

Raden Inu : “Cintaku, apa yang sebenarnya terjadi padamu?”
Candra Kirana : “Sayangku, sebenarnya aku telah diusir oleh Dewi Galuh dan dia mengutuk aku menjadi keong emas. Dia sangat membenciku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

Kemudian Candra Kirana kembali menjadi keong emas.

Adegan 3

Nyai Dadapan : “Apa yang terjadi, Putra Mahkota?”
Raden Inu : “Putri Candra Kirana telah berubah kembali menjadi keong emas. Bagaimana jika nenek ikut saya ke istana?”
Nyai Dadapan : “Baiklah, Yang Mulia!”

Babak 10

Ketika tiba di istana, Raden Inu menerangkan semuanya kepada Raja Kertamarta.

Adegan 1

Raden Inu : “Dewi Galuh, mengapa kamu membenci Candra Kirana sehingga kamu telah mengutuk Candra Kirana menjadi keong emas?
Candra Kirana : “Tidak, itu tidak mungkin, Yang Mulia. Itu semua omong kosong. Seseorang telah memfitnah saya. Saya tidak dapat melakukan itu semua terhadap saudara saya sendiri. Tetapi si penyihir yang telah melakukan itu semua.”
Raden Inu : “Ah, kamu tidak perlu banyak berbohong lagi Dewi Galuh. Seluruh kejahatanmu telah terungkap karena tingkah lakumu yang jelek. Kamu akan dipenjara di bawah tanah sampai seumur hidupmu.”
Dewi Galuh : “Tidak! Itu tidak mungkin!”
Raden Inu : “Keluarlah dari sini Dewi Galuh!”

Dewi Galuh bangkit berdiri lalu berlari, tetapi penjaga menangkapnya dan dia dipenjara seumur hidup.

Babak 11

Hari berikutnya Raden Inu bertemu penyihir tua itu.

Adegan 1

Penyihir : “Apa tujuanmu datang ke sini, Yang Mulia?”
Raden Inu : “Aku datang untuk membunuhmu!”
Penyihir : “Ha… ha… ha… ha… Anda tidak akan pernah bisa membunuh saya karena saya dapat hidup selamanya. Hahahaha.”

Raden Inu mengambil keris pusaka dan membunuh penyihir jahat itu.
Candra Kirana terbebas dari kutukan dan dia beralih kembali menjadi seorang putri yang cantik seperti sedia kala.

Adegan 2

Candra Kirana : “Terimakasih, sayangku. Paduka telah menyelamatkan hidupku dari kutukan.”
Raden Inu : “Oh, tidak masalah, cintaku.”
Raden Inu : “Terimakasih Tuhan, Engkau telah mengembalikan kekasihku menjadi normal seperti sedia kala.

Akhirnya Raden Inu hidup bersama bahagia selamanya karena bantuan Nyai Dadapan.

TAMAT

Yang ingin download file nya langsung aja gan klik link dibawah ini

Cerita_Rakyat_dan_Naskah_Drama_Keong_Emas

Si Lancang (lebih…)

Perang Bubat

Perang Bubat adalah perang yang kemungkinan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M. Sumber-sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang ini terutama adalah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

Rencana pernikahan
Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Kesalah-pahaman

Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda, sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut, maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan makksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Gugurnya rombongan Sunda

Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.

Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali – yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka – untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).

Batu Gantung (Legenda Kota Parapat)

Alkisah, di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa. “Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni.
Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu. Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong.
Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosok ke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.
“Toloooonggg……! Toloooonggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.

Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa. Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya. “Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu. “Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
Sepasang suami istri itu pun menyimpulkan bahwa Seruni sedang dalam bahaya. Mereka memutuskan untuk mengikuti si Toki mencari Seruni. Ibu Seruni mencari obor, sedangkan ayah Seruni mencari bantuan ke tetangga. Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu. Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
Ayah dan ibu Seruni mendengar suara anaknya dari dalam lubang batu. Ibu Seruni heran mendengar teriakan anak gadisnya itu. Mereka pun menjadi sangat cemas dan khawatir. Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni. “Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.
Akan tetapi, istri dan para tetangganya mencegahnya. Mereka bilang lubang itu sangat dalam dan gelap, sehingga sangat berbahaya. Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.

Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.
Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”
Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”. Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Legenda Selat Bali

Pada jaman dahulu kala, ada seorang pemuda bernama Manik Angkeran. Ayahnya seorang Begawan yang berbudi pekerti luhur, yang bernama Begawan Sidi mantra. Walaupun ayahnya seorang yang disegani oleh masyarakat sekitar dan memiliki pengetahuan agama yang luas, tetapi Manik Angkeran adalah seorang anak yang manja, yang kerjanya hanya berjudi dan mengadu ayam seperti berandalan-berandalan yang ada di desanya.Mungkin ini karena ia telah ditinggal oleh Ibunya yang meninggal sewaktu melahirkannya. Karena kebiasaannya itu, kekayaan ayahnya makin lama makin habis dan akhirnya mereka jatuh miskin.
Walaupun keadaan mereka sudah miskin, kebiasaan Manik Angkeran tidak juga berkurang, bahkan karena dalam berjudi ia selalu kalah, hutangnya makin lama makin banyak dan ia pun di kejar-kejar oleh orang-orang yang dihutanginya. Akhirnya datanglah Manik ketempat ayahnya, dan dengan nada sedih ia meminta ayahnya untuk membayar hutang-hutangnya. Karena Manik Angkeran adalah anak satu-satunya, Begawan Sidi Mantra pun merasa kasihan dan berjanji akan membayar hutang-hutang anaknya.

Maka dengan kekuatan batinnya, Begawan Sidi Mantra mendapat petunjuk bahwa ada sebuah Gunung yang bernama Gunung Agung yang terletak di sebelah timur. Di Gunung Agung konon terdapat harta yang melimpah. Berbekal petunjuk tersebut, pergilah Begawan Sidi Mantra ke Gunung Agung dengan membawa genta pemujaannya.
Setelah sekian lama perjalanannya, sampailah ia ke Gunung Agung. Segeralah ia mengucapkan mantra sambil membunyikan gentanya. Dan keluarlah seekor naga besar bernama Naga Besukih.
“Hai Begawan Sidi Mantra, ada apa engkau memanggilku?” tanya sang Naga Besukih.
“Sang Besukih, kekayaanku telah dihabiskan anakku untuk berjudi. Sekarang karena hutangnya menumpuk, dia dikejar-kejar oleh orang-orang. Aku mohon, bantulah aku agar aku bisa membayar hutang anakku!”
“Baiklah, aku akan memenuhi permintaanmu Begawan Sidi Mantra, tapi kau harus menasehati anakmu agar tidak berjudi lagi, karena kau tahu berjudi itu dilarang agama!”
“Aku berjanji akan menasehati anakku” jawab Begawan Sidi Mantra.
Kemudian Sang Naga Besukih menggetarkan badannya dan sisik-sisiknya yang berjatuhan segera berubah emas dan intan.
“Ambillah Begawan Sidi Mantra. Bayarlah hutang-hutang anakmu. Dan jangan lupa nasehati dia agar tidak berjudi lagi.”
Sambil memungut emas dan intan serta tak lupa mengucapkan terima kasih, maka Begawan Sidi Mantra segera pergi dari Gunung Agung. Lalu pulanglah ia ke rumahnya di Jawa Timur. Sesampainya dirumah, di bayarlah semua hutang anaknya dan tak lupa ia menasehati anaknya agar tidak berjudi lagi.
Tetapi rupanya nasehat ayahnya tidak dihiraukan oleh Manik Angkeran. Dia tetap berjudi dan mengadu ayam setiap hari. Lama-kelamaan, hutang Manik Angkeran pun semakin banyak dan ia pun di kejar-kejar lagi oleh orang-orang yang dihutanginya. Dan seperti sebelumnya, pergilah Manik Angkeran menghadap ayahnya dan memohon agar hutang-hutangnya dilunasi lagi.
Walaupun dengan sedikit kesal, sebagai seorang ayah, Begawan Sidi Mantra pun berjanji akan melunasi hutang-hutang tersebut. Dan segera ia pun pergi ke Gunung Agung untuk memohon kepada Sang Naga Besukih agar diberikan pertolongan lagi.
Sesampainya ia di Gunung Agung, dibunyikannya genta dan membaca mantra-mantra agar Sang Naga Besukih keluar dari istananya.
Tidak beberapa lama, keluarlah akhirnya Sang Naga Besukih dari istananya.
“Ada apa lagi Begawan Sidi Mantra? Mengapa engkau memanggilku lagi?” tanya Sang Naga Besukih.
“Maaf Sang Besukih, sekali lagi aku memohon bantuanmu agar aku bisa membayar hutang-hutang anakku. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi dan aku sudah menasehatinya agar tidak berjudi, tapi ia tidak menghiraukanku.” mohon Begawan Sidi Mantra.

“Anakmu rupanya sudah tidak menghormati orang tuanya lagi. Tapi aku akan membantumu untuk yang terakhir kali. Ingat, terakhir kali.”
Maka Sang Naga menggerakkan tubuhnya dan Begawan Sidi Mantra mengumpulkan emas dan permata yang berasal dari sisik-sisik tubuhnya yang berjatuhan. Lalu Begawan Sidi Mantra pun memohon diri. Dan setiba dirumahnya, Begawan Sidi Mantra segera melunasi hutang-hutang anaknya.
Karena dengan mudahnya Begawan Sidi Mantra mendaptkan harta, Manik Angkeran pun merasa heran melihatnya. Maka bertanyalah Manik Angkeran kepada ayahnya, “Ayah, darimana ayah mendapatkan semua kekayaan itu?”
“Sudahlah Manik Angkeran, jangan kau tanyakan dari mana ayah mendapat harta itu. Berhentilah berjudi dan menyabung ayam, karena itu semua dilarang oleh agama. Dan inipun untuk terakhir kalinya ayah membantumu. Lain kali apabila engkau berhutang lagi, ayah tidak akan membantumu lagi.”
Tetapi ternyata Manik Angkeran tidak dapat meninggalkan kebiasaan buruknya itu, ia tetap berjudi dan berjudi terus. Sehingga dalam waktu singkat hutangnya sudah menumpuk banyak. Dan walaupun ia sudah meminta bantuan ayahnya, ayahnya tetap tidak mau membantunya lagi. Sehingga ia pun bertekad untuk mencari tahu sumber kekayaan ayahnya.
Bertanyalah ia kesana kemari, dan beberapa temannya memberitahu bahwa ayahnya mendapat kekayaan di Gunung Agung. Karena keserakahannya, Manik Angkeran pun mencuri genta ayahnya dan pergi ke Gunung Agung.
Sesampai di Gunung Agung, segeralah ia membunyikan genta tersebut. Mendengar bunyi genta, Sang Naga Besukih pun merasa terpanggil olehnya, tetapi Sang Naga heran, karena tidak mendengar mantra-mantra yang biasanya di ucapkan oleh Begawan Sidi Mantra apabila membunyikan genta tersebut.
Maka keluarlah San Naga untuk melihat siapa yang datang memangilnya.
Setelah keluar, bertemulah Sang Naga dengan Manik Angkeran. Melihat Manik Angkeran, Sang Naga Besukih pun tidak dapat menahan marahnya.
“Hai Manik Angkeran! Ada apa engkau memanggilku dengan genta yang kau curi dari ayahmu itu?”
Dengan sikap memelas, Manik pun berkata “Sang Naga bantulah aku. Berilah aku harta yang melimpah agar aku bisa membayar hutang-hutangku. Kalau kali ini aku tak bisa membayarnya, orang-orang akan membunuhku. Kasihanilah aku.”
Melihat kesedihan Manik Angkeran, Sang Naga pun merasa kasihan.
“Baiklah, aku akan membantumu.” jawab Sang Naga Besukih.

Setelah memberikan nasehat kepada Manik Angkeran, Sang Naga segera membalikkan badannya untuk mengambil harta yang akan diberikan ke Manik Angkeran. Pada saat Sang Naga membenamkan kepala dan tubuhnya kedalam bumi untuk mengambil harta, Manik Angkeran pun melihat ekor Sang Naga yang ada dipemukaan bumi dipenuhi oleh intan dan permata, maka timbullah niat jahatnya. Manik Angkeran segera menghunus keris dan memotong ekor Sang Naga Besukih. Sang Naga Besukih meronta dan segera membalikkan badannya. Akan tetapi, Manik Angkeran telah pergi. Sang Naga pun segera mengejar Manik ke segala penjuru, tetapi ia tidak dapat menemukan Manik Angkeran, yang ditemui hanyalah bekas tapak kaki Manik Angkeran.
Maka dengan kesaktiannya, Sang Naga Besukih membakar bekas tapak kaki Manik Angkeran. Walaupun Manik Angkeran sudah jauh dari Sang Naga, tetapi dengan kesaktian Sang Naga Besukih, ia pun tetap merasakan pembakaran tapak kaki tersebut sehingga tubuh Manik Angkeran terasa panas sehingga ia rebah dan lama kelamaan menjadi abu.
Di Jawa Timur, Begawan Sidi Mantra sedang gelisah karena anaknya Manik Angkeran telah hilang dan genta pemujaannya juga hilang. Tetapi Begawan Sidi Mantra tahu kalau gentanya diambil oleh anaknya Manik Angkeran dan merasa bahwa anaknya pergi ke Gunung Agung menemui Sang Naga Besukih. Maka berangkatlah ia ke Gunung Agung.
Sesampainya di Gunung Agung, dilihatnya Sang Naga Besukih sedang berada di luar istananya. Dengan tergesa-gesa Begawan Sidi Mantra bertanya kepada Sang Naga Besukih “Wahai Sang Besukih, adakah anakku Manik Angkeran datang kemari?”
“Ya, ia telah datang kemari untuk meminta harta yang akan dipakainya untuk melunasi hutang-hutangnya. Tetapi ketika aku membalikkan badan hendak mengambil harta untuknya, dipotonglah ekorku olehnya. Dan aku telah membakarnya sampai musnah, karena sikap anakmu tidak tahu balas budi itu. Sekarang apa maksud kedatanganmu kemari, Begawan Sidi Mantra?”
“Maafkan aku, Sang Besukih! Anakku Cuma satu, karena itu aku mohon agar anakku dihidupkan kembali.” mohon Sang Begawan.
“Demi persahabatan kita, aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi dengan satu syarat, kembalikan ekorku seperti semula.” kata Sang Naga Besukih.
“Baiklah, aku pun akan memenuhi syaratmu!” jawab Begawan Sidi Mantra.
Maka dengan mengerahkan kekuatan mereka masing-masing, Manik Angkeran pun hidup kembali. Demikian pula dengan ekor Sang Naga Besukih bisa kembali utuh seperti semula.
Dinasehatinya Manik Angkeran oleh Sang Naga Besukih dan Begawan Sidi Mantra secara panjang lebar dan setelah itu pulanglah Begawan Sidi Mantra ke Jawa Timur. Tetapi Manik Angkeran tidak boleh ikut pulang, ia harus tetap tinggal di sekitar Gunung Agung. Karena Manik Angkeran sudah sadar dan berubah, ia pun tidak membangkang dan menuruti perintah ayahnya tersebut.
Dan dalam perjalanan pulangnya, ketika Begawan Sidi Mantra sampai di Tanah Benteng, di torehkannya tongkatnya ke tanah untuk membuat batas dengan anaknya. Seketika itu pula bekas torehan itu bertambah lebar dan air laut naik menggenanginya. Dan lama kelamaan menjadi sebuah selat. Selat itulah yang sekarang di beri nama “Selat Bali”.