Posts Tagged ‘legenda’

Timun Mas
Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang janda yang bernama Mbok Sirni, ia menginginkan seorang anak agar dapat membantunya bekerja. Suatu hari ia didatangi oleh raksasa yang ingin memberi seorang anak dengan syarat apabila anak itu berusia enam tahun harus diserahkan keraksasa itu untuk disantap.

Mbok Sirnipun setuju. Raksasa memberinya biji mentimun agar ditanam dan dirawat setelah dua minggu diantara buah ketimun yang ditanamnya ada satu yang paling besar dan berkilau seperti emas. Kemudian Mbok Sirni membelah buah itu dengan hati-hati. Ternyata isinya seorang bayi cantik yang diberi nama timun emas.

Semakin hari timun emas tumbuh menjadi gadis jelita. Suatu hari datanglah raksasa untuk menagih janji Mbok sirni amat takut kehilangan timun emas, dia mengulur janji agar raksasa datang 2 tahun lagi, karena semakin dewasa,semakin enak untuk disantap, raksasa pun setuju.

Mbok Sirni pun semakin sayang pada timun emas, setiap kali ia teringat akan janinya hatinya pun menjadi cemas dan sedih. Suatu malam mbok sirni bermimpi, agar anaknya selamat ia harus menemui petapa di Gunung Gundul. Paginya ia langsung pergi. Di Gunung Gundul ia bertemu seorang petapa yang memberinya 4 buah bungkusan kecil, yaitu biji mentimun, jarum, garam,dan terasi sebagai penangkal. Sesampainya dirumah diberikannya 4 bungkusan tadi kepada timun emas, dan disuruhnya timun emas berdoa.

Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. Timun emaspun disuruh keluar lewat pintu belakang untuk Mbok sirni. Raksasapun mengejarnya. Timun emaspun teringat akan bungkusannya, maka ditebarnya biji mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun memakannya tapi buah timun itu malah menambah tenaga raksasa. Lalu timun emas menaburkan jarum, dalam sekejap tumbuhlah pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah raksasa terus mengejar. Timun emaspun membuka bingkisan garam dan ditaburkannya. Seketika hutanpun menjadi lautan luas. Dengan kesakitannya raksasa dapat melewati. Yang terakhit Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, akhirnya raksasapun mati.
” Terimakasih Tuhan, Engkau telah melindungi hambamu ini ” Timun Emas mengucap syukur. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sirni hidup bahagia dan damai.

Sumber : http://dongeng1001malam.blogspot.com/2005/03/timun-mas.html

Naskah Drama
Timun Emas

Babak 1

Narator : “Alkisah, pada zaman dahulu kala hiduplah seorang janda bernama Mbok Sirni di sebuah desa kecil. Ia bekerja sebagai petani kecil. Ia menginginkan seorang anak agar dapat membantu dan menemani ia bekerja.”

Mbok Sirni : “Akhirnya, pekerjaanku di ladang hari ini sudah selesai. Seandainya saya memiliki seorang anak, pasti saya tidak selelah ini.”

Narator : “Suatu hari, ia didatangi oleh seorang raksasa.”

Raksasa : “Wahai petani kecil, jikalau engkau menginginkan seorang anak, akan kuberikan engkau seorang anak. Akan tetapi, dengan syarat apabila anak itu berusia enam tahun harus diserahkan kepadaku itu untuk disantap.”

Mbok Sirni : “Baiklah tuan, saya setuju dengan persyaratan tuan.”

Raksasa : “Ini biji mentimun , rawatlah biji ini di ladangmu.”

Narator : “Setelah dua minggu, diantara buah ketimun yang ditanamnya ada satu yang paling besar dan berkilau seperti emas.”

Mbok Sirni : “Wah, buah ini besar sekali!. Baiklah, akan ku belah buah itu dengan hati-hati.”

Narator : “Ternyata, isi buah tersebut adalah seorang bayi cantik.”

Bayi : “Oeek…….”

Mbok Sirni : “Wah, cantik sekali kamu, nak. Mulai sekarang, ibu akan memanggilmu Timun Emas karena kamu berasal dari timun yang bewarna emas.”

Babak 2

Narator : “Semakin hari, Timun emas tumbuh menjadi gadis jelita yang rajin membantu ibunya.”

Timun Emas : “Ibu, saya pergi mencari kayu bakar dulu ya.”

Mbok Sirni : “Iya, hati-hati ya nak. Jangan pulang terlalu malam, nanti kamu tersesat.”

Narator : “Beberapa saat kemudian, datanglah raksasa untuk menagih janji Mbok Sirni.”

Raksasa : “Wahai petani kecil, saya datang kesini untuk menagih janjimu 6 tahun. Cepat serahkan anak itu ! Sekarang saya sangat ingin memakan seorang bocah.”

Narator : “Karena Mbok Sirni amat ketakutan, maka ia mengulur janjinya.”

Mbok Sirni : “Begini tuanku, saya punya saran. Maukah anda datang kesini dua tahun kemudian?. Saya yakin, bila semakin dewasa, anak ini pasti semakin enak untuk disantap.”

Raksasa : “Mmm…. , bagus juga saranmu. Baiklah, saya akan datang kesini dua tahun kemudian untuk menagih janjimu.”

Babak 3

Narator : “Hari berganti hari, Mbok Sirni semakin sayang pada timun emas, namun setiap kali ia teringat akan janjinya, hatinyapun menjadi cemas dan sedih.”

Timun Emas : “Bunda, ini sudah larut malam, kenapa bunda belum tidur? Dan, kenapa bunda tampak sedih, apakah bunda memiliki masalah?”

Mbok Sirni : “Tidak, anakku. Bunda tidak memiliki masalah. Mari kita tidur, bunda akan menceritakan sebuah dongeng untukmu.”

Timun Emas : “Hore, terima kasih bunda.”

Babak 4

Narator : “Suatu malam, Mbok Sirni bermimpi, agar anaknya selamat ia harus menemui petapa di Gunung Gundul. Paginya ia langsung pergi ke sana.”

Mbok Sirni : “Timun Mas, bunda akan pergi ke Gunung Gundul untuk beberapa hari. Bila kamu lapar, ibu sudah menyiapkan nasi dan ikan asin goreng di dapur. Jangan kemana-mana ya, nanti kamu tersesat.”

Timun Emas : “Bunda, bolehkah saya ikut?”

Mbok Sirni : “Maaf, anakku. Kamu tidak dapat ikut bunda. Kamu harus menjaga rumah kita.”

Timun Emas : “Baiklah bunda.”

Babak 5

Narator : “Setelah Mbok Sirni sampai di Gunung Kidul, ia menolong seseorang yang hampir terjatuh dalam anak sungai. Ternyata orang tersebut adalah seorang petapa.”

Petapa : “Terima kasih engkau telah menolongku, ternyata engkau seorang yang murah hati. Ini kuberikan 4 buah bungkusan kecil ini, masing-masing didalamnya terdapat biji mentimun, jarum, garam,dan terasi untuk menyelamatkan anakmu dari raksasa.”

Narator : “Namun, ketika Mbok Sirni mau mengucapkan terima kasih, petapa tersebut menghilang begitu saja.”

Babak 6

Narator : “Mbok Sirni pun pulang ke rumahnya. Sesampai dirumah, ia menceritakan semua yang telah terjadi kepada Timun Emas.”

Timun Emas : “Bunda, saya amat takut dimakan oleh si Raksasa itu, dan juga saya takut berpisah dengan bunda.”

Mbok Sirni : “Oh, anakku. Bunda sangat menyayangimu dan takut kehilanganmu. Ini, bungkusan ini bunda berikan untukmu. Gunakan ini saat kamu berhadapan si Raksasa itu. Sebelum itu, berdoalah kepada Sang Pencipta untuk diberi perlindungan dari-Nya.”

Timun Emas : “Baiklah bunda, saya akan berusaha mengikuti saran bunda.”

Babak 7

Narator : “Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji.”

Raksasa : “Wahai petani kecil, aku datang kesini untuk menagih janjimu! Cepat serahkan anak itu, aku amat ingin memakannya! Hahaha……”

Mbok Sirni : “Anakku, cepat lari lewat pintu belakang rumah kita!”

Timun Emas : “Baiklah bunda.”

Narator : “Raksasapun mengejarnya. Timun emaspun teringat akan bungkusannya, maka ditebarnya biji mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun memakannya tapi buah timun itu malah menambah tenaga raksasa. Lalu timun emas menaburkan jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah raksasa terus mengejar.Timun emaspun membuka bingkisan garam dan ditaburkannya. Seketika hutanpun menjadi lautan luas. Dengan kesakitannya raksasa dapat melewati. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, akhirnya raksasapun mati.”

Timun Emas : “Terimakasih Tuhan, Engkau telah melindungi hambamu ini”

Narator : “Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sirni hidup bahagia dan damai.”

TAMAT

Naskah drama

Putri Pandan Berduri, Asal-Mula Persukuan di Pulau Bintan

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Pulau Bintan terdapat sekelompok orang Sampan atau orang Suku Laut. Pemimpin Suku Laut atau Suku Sampan ini sangat gagah perkasa, Batin Lagoi namanya.

Babak 1
Suatu hari, ketika Batin Lagoi sedang menyusuri pantai dengan berjalan santai, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara tangisan bayi dari arah semak-semak pandan.

Bayi :”oek….oek….oek…”
Batin Lagoi :”Suara apa itu? Saya mendengar seperti ada bayi yang sedang menangis. Apakah mungkin cuma perasaan Saya saja? Sepertinya mustahil jika ada bayi di sekitar sini.”

Tapi, suara bayi menangis yang terdengar itu semakin kuat dan histeris.

Bayi :”oek..oek…oek….(dengan suara yang lebih keras)”
Batin Lagoi :”Sepertinya memang benar ada bayi di sekitar sini. Suaranya terdengar jelas di telingaku. Lebih baik saya mencari sumber suaranya saja untuk memastikan.”

Batin Lagoi mencari sumber suara itu.

Batin Lagoi :”Hm.. Sepertinya suara tangisan bayi itu terdengar dari semak-semak pandan ini.”

Ternyata firasat Batin Lagoi benar, ia menemukan seorang bayi perempuan tergeletak di antara semak pandan dengan beralaskan daun.

Batin Lagoi :”Anak siapa gerangan? Mengapa berada di sini? Orang tuanya ke mana?”

Setelah melihat ke sekelilingnya, Batin Lagoi tidak melihat tanda-tanda ada orang di sekitarnya.

Batin Lagoi :”Daripada anak ini dibiarkan di semak-semak pandan ini, lebih baik Saya bawa saja ia pulang ke rumah dan Saya akan mengangkatnya sebagai anak. Mungkin ini adalah petunjuk dari Tuhan karena Saya tidak mempunyai anak. Sebelum Saya membawa anak ini pulang, Saya akan memberinya nama terlebih dahulu. Karena Saya menemukannya di antara semak-semak pandan, maka Saya akan memberi nama anak ini Putri Pandan Berduri.”

Lalu, dengan hati-hati diambilnya bayi itu dari semak-semak Pandan dan dibawanya pulang. Ia merawat dan menjaga Putri Pandan Berduri dengan penuh kasih sayang seperti layaknya membesarkan putri raja.

Babak 2
Setelah Putri Pandan Berduri beranjak dewasa, Batin Lagoi memberinya pelajaran budi pekerti yang luhur kepada Putri Pandan Berduri.

Batin Lagoi :”Pandan, kamu harus mengingat baik-baik apa yang Ayah ajarkan kepadamu ini.”
Putri Pandan :”Apakah kiranya yang akan hendak Ayah ajarkan kepadaku?”
Batin Lagoi :”Sebelum ayah memulainya, hendaknya kamu mengingat dan melaksanakan dengan baik apa yang Ayah katakan.”
Putri Pandan :”Tentu saja Ayah. Ayah tidak perlu kuatir akan hal tersebut.”
Batin Lagoi :”Tapi bukan hanya hal itu saja anakku. Engkau juga harus bertutur kata sopan dan bertingkah laku baik kepada semua orang, baik itu kepada orang tua bahkan orang yang sebaya denganmu.”
Putri Pandan :”Baik ayah. Nasehat ayah akan selalu Pandan laksanakan.”

Putri Pandan Berduri tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Tutur bahasa dan sopan-santunnya seperti sifat para putri-putri raja.

Babak 3
Kecantikan dan keelokan tingkah laku daripada Putri Pandan Berduri mengundang kekaguman dari para pemuda di Pulau Bintan.

Pemuda 1:”Lihatlah betapa cantiknya Putri Pandan Berduri itu. Tak hanya cantik Ia juga sangat sopan. Alangkah bahagianya pria yang dapat meminangnya.”
Pemuda 2 :”Setiap pria pasti akan mengagumi Putri Pandan Berduri itu. Namun, mengapa sampai sekarang tidak ada seorang pria pun yang berani mendekatinya?”
Pemuda 1 :”Tidakkah engkau berpikir bahwa sosok sempurna seperti Putri Pandan Berduri itu jugalah yang menyebabkan tidak ada pemuda yang berani mendekatinya?”
Pemuda 2 :”Mengapa demikian?”
Pemuda 1 :”Karena tentunya tidak ada pemuda yang merasa dirinya pantas untuk wanita seperti Putri Pandan Berduri itu. 1 hal lagi penyebabnya, yaitu karena ada kabar bahwa Batin Lagoi menginginkan agar Putri Pandan Berduri itu menjadi istri seorang anak raja atau anak Megat.”

Babak 4
Sementara itu, di Pulau Galang, terdapat seorang Megat yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak yang tua bernama Julela dan yang muda bernama Jenang Perkasa. Dari mereka kecil, Megat itu mendidik kedua anaknya agar saling membantu dan saling menghormati satu dengan yang lain.

Setelah keduanya beranjak dewasa, Megat menginginkan Julela yang menjadi pemimpin di Galang. Hal ini kemudian membuat Julela menjadi sombong dan angkuh. Ia sudah tidak lagi peduli dengan adiknya, hal ini menyebabkan hubungan mereka menjadi tidak harmonis dan rukun lagi. Lalu, mereka pun menjalani hidup masing-masing secara terpisah. Dari hari ke hari kesombongan Julela semakin menjadi-jadi. Ia sering mencaci dan memusuhi adiknya tanpa sebab.

Julela :“Hai, adikku yang bodoh! Engkau tahu bahwa kelak yang akan menjadi pemimpin di kampung ini adalah aku. Jadi sekarang aku mengingatkan kamu bahwa kamu harus mematuhi segala perintahku. Jika kamu tidak melakukan apa yang aku perintahkan kepada kamu, maka aku tidak akan ragu-ragu untuk mengusir kamu dari kampung ini! Kamu mengerti?”

Jenang Perkasa yang mendengar hal tersebut dari kakaknya menjadi sangat sedih.

Jenang P:”Mengapa kakak kandungku sendiri mengatakan hal sekejam itu terhadapku? Apa salahku kepadanya? Mengapa sikapnya berubah semenjak dia ditunjuk untuk menjadi pemimpin di Pulau Galang ini? Apakah aku ini tidak lagi dianggapnya sebagai adik? Mengapa aku merasa terasing di keluarga kandungku sendiri? Daripada seperti ini, lebih baik aku meninggalkan Pulau Galang ini secara diam-diam agar aku tidak mendapat cacian dari kakak kandungku.”

Babak 5
Keesokan harinya, secara diam-diam, Jenang Perkasa berlayar dengan arah yang tidak menentu. Setelah berhari-hari Ia mengarungi lautan yang luas, akhirnya sampailah ia di Pulau Bintan.

Penduduk 1 :”Engkau sepertinya bukan penduduk kampung ini. Kalau boleh tahu darimanakah engkau?”
Jenang P :”Saya dari Pulau Galang di seberang sana.
Penduduk 2 :”Mengapa anda bisa sampai ke pulau ini?
Jenang P :”Itu karena Saya sedang bermaksud untuk bertualang mengarungi lautan. Lalu, setelah berhari-hari Saya berada di lautan, tiba-tiba Saya melihat Pulau ini. Oleh karena itu saya tertarik pada keindahan Pulau ini dan bermaksud untuk tinggal beberapa saat di pulau ini.”

Sikap dan perilaku Jenang Perkasa itu telah menarik perhatian Batin Lagoi.

Babak 6
Pada suatu hari, Batin Lagoi mengadakan perjamuan makan dengan mengundang orang-orang Suku Sampan, tidak ketinggalan Batin Lagoi juga mengundang Jenang Perkasa untuk datang dalam perjamuan itu.

Batin Lagoi :”Wahai Jenang Perkasa, besok malam di rumahku akan diadakan perjamuan makan bersama orang-orang Suku Sampan Lainnya. Aku ingin engkau juga datang, karena aku sudah menganggapmu sebagai bagian dari suku ini.”
Jenang P :”Baik tuanku. Besok malam hamba akan datang ke rumah tuanku untuk memenuhi undangan dari tuanku.”
Batin Lagoi :”Baiklah, sampai bertemu besok malam. Kutunggu kedatanganmu.”
Jenang P :”Baik tuanku. Terima kasih akan undangan dari tuanku.”

Babak 7
Esoknya, Jenang Perkasa datang untuk memenuhi undangan tersebut. Saat jamuan makan akan dimulai, Jenang Perkasa memilih tempat yang agak jauh dari teman-temannya. Ia melakukan hal itu agar air cuci tangannya tidak jatuh di hidangan yang akan ia makan. Tanpa disadarinya, sejak ia datang sepasang mata telah memerhatikan perilakunya, yang tak lain dan tidak bukan adalah Batin Lagoi. Tingkah laku dan budi pekerti Jenang Perkasa itu sungguh mengesankan hati Batin Lagoi.

Usai perjamuan, Batin Lagoi menghampiri Jenang Perkasa.

Batin Lagoi :“Wahai, Jenang Perkasa! Sungguh,aku sangat terkesan dan kagum dengan kesopanan dan keelokkan budi pekertimu. Apakah Engkau bersedia apabila aku menikahkan kamu dengan putriku, Pandan Berduri?”
Jenang P :“Permintaan tuan dengan segala kerendahan hati saya terima. Saya bersedia menerima putri tuan sebagai istri saya.”
Batin Lagoi :”Baik sekali. Kapan kiranya engkau akan meminang putriku?”
Jenang P :”Terserah tuanku. Kapan hari baik yang menurut tuanku layak untuk dilaksanakan pernikahan?”
Batin Lagoi :”Bagaimana apabila kita melaksanakan pernikahannya minggu depan, anak muda?”
Jenang P :”Pilihan tuanku memang sangat tepat. Baiklah tepat minggu depan saya akan meminang putri tuanku.”
Batin Lagoi :”Tapi Jenang, karena Putri Pandan Berduri merupakan putriku satu-satunya, aku ingin pesta pernikahannya dilaksanakan dengan meriah. Apakah engkau keberatan?”
Jenang P :”Tentu saja saya tidak keberatan tuanku. Namun, pesta seperti apa yang tuanku inginkan jika hamba boleh tahu?”
Batin Lagoi :”Pesta dengan minuman dan makanan yang beranekaragam, dan dengan menampilkan segala macam tari-tarian daerah untuk menghibur para tamu undangan.”
Jenang P :”Baik tuanku, dengan senang hati akan hamba adakan acara pernikahan seperti yang tuanku harapkan.”

Seminggu kemudian, Jenang Perkasa pun dinikahkan dengan Putri Pandan Berduri. Pernikahan mereka dilangsungkan sangat meriah. Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri pun hidup bahagia.

Babak 8
Tak berapa lama kemudian, Batin Lagoi berfikir untuk segera mengangkat Jenang Perkasa sebagai Pemimpin di Bintan untuk menggantikan dirinya.

Batin Lagoi :”Wahai menantuku ada hal penting ingin aku bicarakan kepadamu.”
Jenang P :”Apakah hal penting itu,jika boleh saya tahu ayahanda?”
Batin Lagoi :”Aku ingin agar kamu segera mengantikan aku untuk menjadi pemimpin di Pulau Bintan ini. Aku merasa saat ini adalah saat yang tepat untuk mengangkat engkau menjadi pemimpin Pulau ini. Apakah kamu bersedia?”
Jenang P :”Dengan segala kerendahan hati hamba bersedia ayahanda.”
Batin Lagoi :”Keputusan yang baik, acara pengangkatanmu akan segera kita laksanakan. Namun, aku ingin agar engkau memimpin rakyat Bintan dengan bijaksana sesuai dengan adat yang berlaku di Bintan. Apakah engkau mengerti, Jenang?”
Jenang P :”Baik saya mengerti, ayah. Semua nasehat ayah akan saya ingat selalu.”

Setelah Jenang Perkasa diangkat menjadi pemimpin di Pulau Bintan, Ia memimpin rakyat Bintan dengan sangat bijaksana.

Babak 9
Pada suatu siang ketika Jenang Perkasa sedang beristirahat di kamarnya, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.Jenang Perkasa yang mendengar pintu kamarnya diketuk segera membukakanya.

Pelayan :”Maaf mengganggu istirahat tuanku.”
Jenang P :”Tidak apa-apa. Ada hal apa gerangan yang membuat engkau datang kepadaku?”
Pelayan :”Begini tuanku, di luar ada sekelompok orang yang ingin bertemu dengan tuanku.”
Jenang P :”Siapakah kiranya sekelompok orang tersebut? Tentunya engkau sudah menanyai mereka bukan?”
Pelayan :”Tentu saja tuanku. Mereka berkata bahwa mereka adalah masyarakat dari Pulau Galang. Mereka juga mengatakan bahwa ada hal penting yang ingin mereka bicarakn dengan tuanku. Apakah tuanku ingin bertemu dengan mereka, atau tuanku sedang tidak ingin diganggu ?”
Jenang P :”Saya akan menemui mereka. Tolong katakan kepada mereka untuk menunggu saya sebentar lagi.”
Pelayan :”Baik tuanku, hamba permisi dulu.”

Babak 10
Jenang perkasa menemui para tamunya.

Orang 1 :”Selamat siang. Maaf kiranya kami telah mengganggu istirahat tuanku Jenang Perkasa.”
Jenang P :”Tidak apa-apa. Kiranya ada perlu apa yang membuat kalian datang ke sini? Apakah telah terjadi sesuatu hal yang buruk di Pulau Galang sehingga kalian datang ke tempatku?”
Orang 2 :”Tenang saja Tuanku, tidak terjadi sesuatu hal yang buruk di Pulau Galang.”
Jenang P :”Kalau begitu, hal apakah yang membuat kalian datang kemari?”
Orang 3 :“Kami datang kesini karena kami mendengar bahwa Tuanku menjadi pemimpin di Pulau Bintan ini. Selain itu, kami juga mengetahui tentang cara kepemimpinan tuanku di Pulau ini. Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk mengajak tuanku kembali ke Galang, dan mengggantikan kakak tuanku yang sombong itu sebagai Pemimpin di Galang. Apakah kiranya tuanku bersedia?”
Jenang P :”Maaf, bukan maksudku untuk menolak maksud baik kalian. Namun, sekarang aku sudah menjadi pemimpin di Pulau Bintan ini. Aku tidak dapat meninggalkan pulau ini begitu saja.”
Orang 2 :”Apakah tuanku tidak merasa kasihan kepada penduduk Pulau Galang karena kepemimpinan kakak tuanku? Kami tahu Tuanku dahulu adalah penduduk dari Pulau kami, oleh karena itu hendaknya Tuanku bersedia membantu kami dengan cara menjadi pemimpin Pulau Galang.”
Jenang P :”Dahulu aku memang penduduk dari Pulau Galang, tetapi kini aku sudah menjadi penduduk Pulau Bintan ini. Lagipula sudah menjadi tanggung jawabku untuk memimpin Pulau Bintan yang sangat kucintai ini. Aku tidak bisa melepaskan tanggung jawabku begitu saja. Sekali lagi maafkan aku,tapi aku tidak bisa menerima permintaak kalian.”

Akhirnya sekumpulan orang dari Galang itu pun kembali dengan tangan hampa. Sementara Jenang Perkasa hidup berbahagia bersama Putri Pandan Berduri. Mereka mempunyai tiga orang putra, yang sulung dinamakan Batin Mantang, yang tengah Batin Mapoi, dan yang bungsu Batin Kelong.

Babak 11
Jenang Perkasa mendidik ketiga anaknya agar mereka tidak menjadi orang yang sombong.

Jenang P :”Anak-anakku yang kukasihi. Aku selalu ingatkan kepada kalian nantinya kalian akan memimpin Pulau ini menggantikan Aku. Aku berharap kelak kalian akan menjadi pemimpin suku yang bertanggungjawab dan tidak sombong. Karena masa depan rakyat ada di tangan kalian, maka kalian harus benar-benar menjadi anak yang bertanggungjawab.”

Maka pada ketiga anaknya diadatkannya dengan adat suku Laut, dan dinamakan dengan adat Kesukuan.

Setelah beranjak dewasa, ketiga anaknya tersebut memimpin suku mereka masing-masing. Batin Mantang membawa berhijrah ke bagian utara Pulau Bintan, Batin Mapoi dengan sukunya ke barat, dan Kelong dengan sukunya ke timu Pulau Bintan. Ketiga suku tersebut kemudian menjadi suku terbesar dan termasyhur di daerah Bintan. Jika mereka mengalami kesulitan, mereka kembali kepada yang pertama, yaitu kepada adat Kesukuan.

Tak lama kemudian, Jenang Perkasa meninggal dunia, disusul Putri Pandan Berduri. Walaupun keduanya telah tiada, tetapi anak-cucu mereka banyak sekali, sehingga adat Kesukuan terus berlanjut. Hingga kini, Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri tetap dikenang karena dari merekalah lahir persukuan di Teluk Bintan. Suku Laut atau Suku Sampan ini masih banyak ditemukan berdiam di perairan Pulau Bintan.

(SELESAI)

Naskah Drama Kotajayo

Babak 1 :
Kotajayo yang sekarang dahulu bernama Malaka Kecil. Malaka Kecil ini diperintah oleh seorang ketumenggungan yang bernama Sutayuda. Dinamakan Malaka Kecil karena saat itu negeri Malaka sedang amat jaya. Pedagang Jambi yang mengagumi negeri ini ingin mengabadikan namanya. Untuk itulah kemudian Kotajayo yang sekarang dahulu dinamakan Malaka Kecil.
Ternyata hubungan harmonis antara Malaka Kecil dengan Malaka di Semenanjung Melayu tidak disenangi oleh pihak Belanda yang telah membangun benteng di Muara Bungo Jambi. Belanda memandang hubungan dagang dengan perahu layar ini dapat menimbulkan ancaman terhadap kekuasaanya. Itulah sebabnya Belanda melarang hubungan tersebut. Namun, larangan tersebut sama sekali tidak dihiraukan oleh ketumenggungan Sutayuda. Rakyatnya sudah sejak lama berhubungan dengan Kerajaan Malaka. Hubungan dagang antara dua negeri ini didasari pada persamaan ras dan bahasa. Begitu pula kebudayaannya.

Babak 2 :
Pada suatu ketika, datanglah utusan Belanda menghadap Tumenggung Sutayuda. Utusan ini diterima Tumenggung dengan baik. Akan tetapi, ketika para utusan menyampaikan pesan-pesan pemerintah Belanda yang berkedudukan di Jambi, Tumenggung tampak sangat marah.
Utusan Belanda : Kami datang sebagai utusan Belanda, ingin menyampaikan suatu hal.
Sutayuda : Hal apakah itu?
Utusan Belanda : Kami meminta Malaka Kecil segera menghentikan hubungan dagangnya
dengan Kerajaan Malaka di Semenanjung.
Sutayuda : Apa?! Atas dasar apa kalian meminta hal tersebut?
Utusan Belanda : Kami merasa hubungan kalian dapat merugikan Belanda nantinya.
Sutayuda : Sampaikan pada pemimpin kalian, Malaka Kecil tidak berada di bawah siapapun. Kami bebas berniaga dengan siapa saja. Dahulu, sekarang, dan kapan saja negara kami tetap berdaulat penuh!
Wajah-wajah yang mengikuti pertemuan itu menjadi sangat tegang. Sementara para pendamping Tumenggung kalau tidak ditahan-tahan mungkin sudah menggunakan keris untuk menghabisi utusan Belanda itu. Di pihak lain, para utusan Belanda tanpa berkata sepatah pun segera meninggalkan tempat pertemuan dan kembali ke kapal mereka dengan tergopoh-gopoh. Sutayuda berkata pada para pendampingnya.
Sutayuda : Belanda keparat! Adakah mungkin Belanda semudah itu memisahkan kita sesama orang Melayu? Kalian bersiap-siaplah sekarang, mereka tahu benar menggunakan situasi. Cepat atau lambat Belanda pasti akan menyerang negeri kita.

Babak 3 :
Sikap Tumenggung Sutayuda dipandang Belanda sebagai alasan untuk menyerang Malaka Kecil. Belanda segera menyerang dengan mengirimkan pasukan yang diberi nama rakyat tentara hijau. Pasukan tentara hijau ini tergabung dalam armada laut.
Serangan ini dapat ditangkis Malaka Kecil. Konon Tumenggung Sutayuda, para hulubalang, dan rakyat negeri Malaka Kecil menggunakan ilmu medu. Berkat ilmu ini, semua tentara Belanda, tentara hijau sakit perut sehingga mereka mundur teratur. Dengan demikian, terhindarlah Malaka Kecil dari serangan.

Babak 4 :
Untuk beberapa lama, Malaka Kecil aman dan tidak mendapat gangguan dari Belanda lagi. Namun keadaan demikian tidak dapat dipertahankan terus menerus. Dengan kecerdikannya, Belanda berhasil menghasut negeri Jawa untuk menyerang Malaka Kecil.

Babak 5 :
Mula-mula datang utusan raja negeri Jawa yang menyampaikan perintah agar Malaka Kecil menghentikan hubungan dagang dengan Kerajaan Malaka di Semenanjung. Tumenggung Sutayuda segera menyadari bahwa Belanda ada di balik larangan itu. Tumenggung Sutayuda tentu saja menolak dengan keras.
Utusan Jawa : Kami datang sebagai utusan negeri Jawa, ingin menyampaikan suatu hal.
Sutayuda : Apa yang ingin Anda sampaikan? Katakan saja.
Utusan Jawa : Kami meminta Malaka Kecil segera menghentikan hubungan dagangnya dengan Kerajaan Malaka di Semenanjung.
Sutayuda : Saya menolak permintaan itu! Belanda sudah menyampaikan hal tersebut kepada kami dan kami menolak. Sekarang anda meminta hal yang sama dan saya tetap pada pendirian saya. Pulanglah ke negerimu sendiri!

Babak 6 :
Penolakan Tumenggung Sutayuda ini tentu menimbulkan kemarahan Raja Jawa. Tumenggung pun segera mengupulkan para hulubalang serta penasihat-penasihat ketumenggungan. Di hadapan para hulubalang dan penasihat ini, Tumenggung Sutayuda mengemukakan rencana-rencananya.
Sutayuda : Para hulubalang negeri Malaka Kecil, para penasihat serta nenek mamak, tampaknya Raja Jawa dalam waktu dekat akan menyerang kita. Untuk menghadapi serangan tersebut, aku mempunyai rencana yang dapat menjadi pertimbangan kita bersama. Kita harus membangun benteng pertahanan. Benteng yang akan kita buat itu berupa parit. Pintu masuk negeri ini, kita sediakan berupa rawa-rawa berlumpur. Dan itulah satu-satunya jalan masuk. Apakah kalian setuju? Atau ada usul lain?
Ternyata seluruh rakyat menerima usulan itu dengan suara bulat. Tanpa berlalai-lalai lagi, dibuatlah sebuah pertahan dan pintu masuk berupa rawa berlumpur. Bila ada yang berani masuk, maka lumpur pekat akan menjebaknya.

Babak 7 :
Tak lama kemudian, tentara Jawa pun tiba di sana. Begitu pasukan itu datang, mereka tak langsung menyerang Malaka Kecil. Mereka tak berani masuk karena pintu satu-satunya dihadang rawa berlumpur.
Kemudian tentara Jawa mebuat benteng pertahanan di seberang berhadap-hadapan dengan parit negeri Malaka Kecil. Malam harinya, pasukan Jawa selalu saja mendapat serangan dari pasukan Malaka Kecil. Lama-kelamaan, pasukan Jawa menjadi jemu. Disamping mereka tak mungkin menyeberangi rawa lebar berlumpur, gangguan nyamuk, sakit perut, dan kelaparan menyebabkan tentara Jawa itu mundur teratur.

Babak 8 :
Mendengar kabar itu, Kerajaan Malaka di Semenanjung berangsur-angsur memutuskan hubungan dagangnya. Negeri MalakaKeci tidak lagi berhubungan dengan negeri itu.
Orang negeri Malaka Kecil mengubah nama negerinya menjadi Malaka Jaya, mengingat mereka selalu jaya dalam menghadapi dua serangan musuh. Akhirnya nama itu diubah pula menjadi Kotajayo, artinya parit selalu jaya.

Naskah drama

Asal Mula Danau Limboto

Babak1

Dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Di tengahnya terdapat dua buah gunung yang tinggi, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila yang merupakan petunjuk arah bagi masyarakat yang akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut.Namun,pada suatu ketika, air laut surut, sehingga kawasan itu berubah menjadi daratan. Tak beberapa lama kemudian, kawasan itu berubah menjadi hamparan hutan yang sangat luas. Di beberapa tempat masih terlihat adanya air laut tergenang, dan di beberapa tempat yang lain muncul sejumlah mata air tawar, yang kemudian membentuk genangan air tawar. Salah satu di antara mata air tersebut mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata air yang berada di tengah-tengah hutan dan jarang dijamah oleh manusia tersebut bernama Mata Air Tupalo. Tempat ini sering didatangi oleh tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan untuk mandi dan bermain sembur-semburan air.

Babak2

Suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan bersendau gurau di sekitar mata air Tupalo tersebut, seorang pemuda tampan bernama Jilumoto melintas di tempat itu. Jilumoto dalam bahasa setempat berarti seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi dengan menjelma menjadi manusia.

Jilumoto : “Aduhai…. cantiknya bidadari-bidadari itu!Hmm..Bagimana jika aku mengambil salah satu sayap mereka di batu besar itu.Dengan begitu,aku dapat memperistri si pemilik sayap karena ia tentu tidak dapat terbang kembali ke Kahyangan.(mengambil salah satu sayap itu,dan bersembunyi di balik pohon besar).”

Babak3

Ketika hari menjelang sore…

Salah satu bidadari : “Hai,mari kita siap2 pulang ke Kahyangan.Hari sudah mulai gelap.”
Keenam bidadari : (Memakai kembali sayap mereka masing-masing,dan bersiap terbang ke angkasa.)”

Namun..

Bidadari tertua : “Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?”

Rupanya, bidadari tertua yang bernama Mbu`i Bungale kehilangan sayapnya.

Keenam adiknya : “Tidak kak.”
Salah satu adiknya : “Wah,hari sudah mulai sore,mari kita cari bersama.”

Karena hari mulai gelap, keenam bidadari itu pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di dekat Mata Air Tupalo.

Bidadari bungsu : “Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik!”
Mbu`i Bungale : “Adikku…! Jangan tinggalkan Kakak sendirian di sini!”
Keenam adiknya : “Maafkan kami Kak,tapi kami juga tidak bisa berbuat apa-apa.”
Mbu`i Bungale : “Bagaimana ini,aku tidak bisa lagi bertemu dengan keluarga di Kahyangan.Huhu..”

Babak4

Beberapa saat kemudian..

Jilumoto : “Hai, Bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu?”
Mbu`i Bungale : “Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke Kahyangan”
Jilumoto : “Hmm..Bagaimana jika aku memperistri-Mu?Aku akan menjagamudi bumi ini.”
Mbu`i Bungale : “Eeemmm….Baiklah,Aku bersedia.”

Sepasang suami-istri itu pun mencari daerah untuk bertahan hidup.

Jilumoto : “Dinda,lihatlah bukit yang tidak jauh dari Mata Air Tupalo itu,sepertinya kita dapat mendirikan sebuah rumah sedrhana dan bercocok tanam di sana.”
Mbu`i Bungale : “Dinda akan selalu mengikutimu Kanda,Selain itu,daerah itu juga tidak buruk.Mari kita segera ke sana.”

Sesampainya..

Mbu`i Bungale : “Wah,daerah ini indah sekali.Udaranya segar sekali,tanahnya pun gembur,cocok sekali unutuk bercocok tanan.”
Jilumoto : “Baguslah jika Dinda senang,Bagaimana jika kita beri nama bukit ini Huntu lo Ti`opo atau Bukit Kapas?”
Mbu`i Bungale : “Nama yang bagus Kanda.”

Babak5

Pada suatu hari, Mbu`i Bungale mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika sebesar telur itik dari Kahyangan. Bimelula itu ia simpan di dekat mata air Tupalo dan menutupinya dengan sehelai tolu atau tudung.Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah timur yang melintas..

Pemimpin pelancong : “Hei,di sana ada air yang jernih,dan kelihatannya sangat segar.Mari kita ke sana.”
Salah seorang dari pelancong : “Wah,air ini segar sekali.Namun apa gerangan benda yang tergeletak itu? Bukankah itu tudung?”
Pelancong lainnya : “Benar, kawan! Itu adalah tudung.”
Pelancong lainnya : “Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini?”

Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud untuk menangkatnya. Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu, tiba-tiba badai dan angin topan sangat dahsyat datang menerjang, kemudian disusul dengan hujan yang sangat deras.

Pemimpin pelancong : “Cepat cari tempat perlindungan!”

Setelah badai dan hujan berhenti, keempat pelancong itu kembali ke mata air Tupalo. Mereka masih penasaran dengan tudung itu dan bermaksud untuk mengangkat tudung itu lagi.

Salah seorang pelancong : “Sebentar,sebaiknya kita ludahi dulu tudung ini dengan sepah pinng yang sudah dimantrai,untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi badai dan topan lagi.”

Betapa terkejutnya mereka ketika mengangkat tudung itu. Mereka melihat sebuah benda bulat, yang tak lain adalah mustika Bimelula. Mereka pun tertarik dan berkeinginan untuk memiliki mustika itu.

Babak6

Namun begitu mereka akang mengambil mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale datang bersama suaminya, Jilumoto.

Mbu`i Bungale : “Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk mengambilnya, karena benda itu milik kami!”
Pemimpin pelancong : “Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika ini!”
Mbu`i Bungale : “Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil mustika itu”
Pemimpin pelancong : “Hai, Mbu`i Bungale! Tempat ini adalah milik kami. Jadi, tak seorang pun yang boleh mengambil barang-barang yang ada di sini, termasuk mustika ini!”
Mbui`i Bungale : “Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik kalian?”
Pemimpin pelancong : “Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu! Kamilah yang telah memberinya”
Mbu`i Bungale : “Hai, aku ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama makhluk di dunia ini. Bukan diberikan kepada orang-orang tamak dan rakus seperti kalian. Tapi, jika memang benar kalian pemilik dan penguasa di tempat ini, perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan kalian, aku siap untuk menantang kalian!”

Babak7

Para pelancong itu pun memnerima tantangan Mbu`i Bungale.

Pemimpin pelancong : “Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah.”

Berkali-kali pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun tak sedikit pun menunjukkan adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan membesar. Melihat pemimpin mereka sudah mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah menyatukan kekuatan dan kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun. Lama-kelamaan keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat mereka kelelahan dan bercucuran keringat, Mbu`i Bungale hanya tersenyum.

Mbu`i Bungale : “Hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu milik kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!”
Pemimpin pelancong : “Diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya pandai bicara! Jika kamu pemilik mata air ini, buktikan pula kepada kami!”
Mbu`i Bungale : “Baiklah, Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Tuhan Maha Tahu mana hambanya yang benar, permintaannya akan dikabulkan!”

Mbu`i Bungale segera duduk bersila di samping suaminya seraya bersedekap.

Mbu`i Bungale : “Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari…. membesarlah….!!!”

Babak8

Seusai berdoa..

Mbu`i Bungale : Ayo kanda,kita naik ke pohon.Hai,kalian para pelancong,naiklah ke pohon yang paling tinggi, karena sebentar lagi kawasan ini akan tenggelam.”

Beberapa saat kemudian, perut bumi tiba-tiba bergemuruh, tanah bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar dan meluas, kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap, tempat itu tergenang air.

Sala seorang pelancong : Mengapa bisa begini?
Pelancong lainnya : Lihat!Genangan air itu hampir mencapai tempat kita!”
Pemimpin pelancong : “Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik tempat ini dan seisinya!”

Mbu`i Bungale adalah bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada Tuhan agar semburan mata air Tupalo dikembalikan seperti semula, sehingga genangan air itu tidak semakin tinggi dan menenggelamkan keempat pelancong tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air pada mata air Tupalo kembali seperti semula. Mereka pun turun dari pohon.

Babak9

Mbu`i Bungale segera mengambil tudung dan mustika Bimelula. Ajaibnya, ketika ia meletakkan di atas tangannya, mustika yang menyerupai telur itik itu tiba-tiba menetas dan keluarlah seorang bayi perempuan.

Mbu`i Bungale : “Wah..cantiknya dirimu.Wajahmu bercahaya bagaikan cahaya bulan.Akan kuberi kau nama Tolango Hula yang berarti cahaya bulan.”
Mbu`i Bungale : “Mari kita pulang Kanda.”
Jilumoto : “Baiklah.Kalian para pelancong ikut saja ke rumah kami.”
Para pelancong : “iya.”

Ketika hendak meninggalkan tempat itu…

Mbu`i Bungale : “Hai, benda apa itu?”
Mbu`i Bungale : “Bukankah ini buah jeruk?(mencubit dan mencium buah itu).”
Mbu`i Bungale : “Kanda, ini adalah buah jeruk seperti yang ada di Kahyangan.Yolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa pepohonan di sekitar danau ini. Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon jeruk yang tumbuh.”

Babak10

Mbu`i Bungale pun menemukan beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat.

Mbu`i Bungale : “Kanda, kemarilah sebentar!”
Jilumoto : “Ada apa Dinda?”
Mbu`i Bungale : “Coba perhatikan pohon jeruk ini! Bukankah buah ini seperti jeruk Kahyangan, Kanda?”
Jilumoto : “Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini seperti yang ada di Kahyangan.”
Mbu`i Bungale : “Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh di sekitar danau ini?”
Mbu`i Bungale : “Kanda,Dinda tahu bahwa keberadaan pohon jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa.Kanda,bagaimana jika danau ini kita beri nama
Bulalo lo limu o tutu untuk memperingati peristiwa ini?”
Jilumoto : “Apa artinya itu Dinda?”
Mbu`i Bungale : “Bulalo lo limu o tutu bararti danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan.Bagaimana menurut Kanda?”
Jilumoto : “Kanda setuju dengan usul Dinda.”

Lama-kelamaan, masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.

Si Lancang (lebih…)

Perang Bubat

Perang Bubat adalah perang yang kemungkinan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M. Sumber-sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang ini terutama adalah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

Rencana pernikahan
Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Kesalah-pahaman

Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda, sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut, maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan makksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Gugurnya rombongan Sunda

Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.

Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali – yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka – untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).

Batu Gantung (Legenda Kota Parapat)

Alkisah, di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa. “Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni.
Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu. Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong.
Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosok ke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.
“Toloooonggg……! Toloooonggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.

Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa. Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya. “Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu. “Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
Sepasang suami istri itu pun menyimpulkan bahwa Seruni sedang dalam bahaya. Mereka memutuskan untuk mengikuti si Toki mencari Seruni. Ibu Seruni mencari obor, sedangkan ayah Seruni mencari bantuan ke tetangga. Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu. Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
Ayah dan ibu Seruni mendengar suara anaknya dari dalam lubang batu. Ibu Seruni heran mendengar teriakan anak gadisnya itu. Mereka pun menjadi sangat cemas dan khawatir. Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni. “Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.
Akan tetapi, istri dan para tetangganya mencegahnya. Mereka bilang lubang itu sangat dalam dan gelap, sehingga sangat berbahaya. Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.

Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.
Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”
Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”. Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.