Legenda Perang Bubat

Posted: 13 Maret 2015 in cerita rakyat dan legenda
Tag:,

Perang Bubat

Perang Bubat adalah perang yang kemungkinan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M. Sumber-sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang ini terutama adalah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

Rencana pernikahan
Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Kesalah-pahaman

Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda, sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut, maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan sundalah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan makksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Gugurnya rombongan Sunda

Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.

Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali – yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka – untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).

Komentar
  1. iwan berkata:

    Gajah mada si licik dengan ambisinya. Bukan mempersatukan, tapi menjajah daerah2 di yang sekarang dia namakan nusantara, karena kalau mempersatukan, apa untungnya daerah2 itu harus bersatu, apakah mereka saling berperang sebelumnya? Tapi kalau alasannya menjajah adalah sudah jelas, demi ambisi menggenapkan sumpahnya dan mengeruk kekayaan kerajaan2 di sekitarnya dengan mewajibkan membayar upeti ke majapahit.

    Suka

  2. hamba Allah berkata:

    Setidaknya ada bbrrp hal yg patut dicontoh dari orang sunda dari cerita bersejarah ini :
    1. Orang sunda tangguh dan tidak pernah kalah dalam berperang pada masa itu (merupakan satu2nya kerajaan yang tidak takluk kepada majapahit), namun meskipun hebat dalam berperang, orang sunda lebih suka berdamai, tidak mau mencari masalah dengan menginvasi kerajaan lain.
    2. Orang sunda berpikir positif dan mengedepankan rasa persaudaraan (ketika mengantarkan mempelai wanita ke pihak pria, padahal biasanya menurut adat sudah selazimnya pihak prialah yg seharusnya datang melamar).
    3. Orang sunda berniat tulus dan menepati janji, walaupun setelah berlayar berhari2 dan akhirnya tiba di tempat yg ditentukan (lapangan bubat), mereka ditipu dan dihabisi oleh kelicikan dan ambisi gajahmada.
    4. Orang sunda pemberani dan ksatria (walaupun jumlah mereka sedikit namun mereka pantang mundur demi menjaga martabat dan harga diri bangsa)
    5. Orang sunda berpikir ke depan dan berjiwa besar, walaupun merasa disakiti dan dipermalukan karena perang bubat, namun para penerus kerajaannya, Bunisora dan Wastukancana, tidak mau membalas dendam, tetapi hanya ingin dituliskan dalam prasasti atau kidung (sundayana), karena peperangan tidak akan menyelesaikan masalah dan lebih baik dibuatkan dalam sebuah karya abadi, agar dikenang dan diambil hikmahnya bagi generasi selanjutnya.

    Suka

Tinggalkan komentar