Riwayat Pulau Paku
Konon, tersebutlah riwayat perkawina Opu Daeng Celak Yang Dipertuan Muda Riau II, dengan Tengku Mandak saudara perempuan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Bertempat di istana Dalam Besar kota lama Ulu Bintan. Terlalu ramilah jemputan mudik ke hulu, meyaksikan pertunjukan kesenian, memriahkan malam perkawinan putri raja orang berbangsa itu. bergendang-beregung, tandak-joget wayang topeng menari, sembilan puluh malam lamanya.
Riuh-rendah suara orang ebrsuka-ria di istana Ulu Bintan itu sehingga terdengar hingga ke hilir sungai, muara teluk Bintan. Di situlah pula perahu dan smapan hilir mudik. Ada yang datang dan ada pula yang menyeberang pulang ke kampung halamannya. Kaum bangasawan di istana pun lalu-lalang dari Bintan ke bandar Singapura, untuk berebelanja perlengakapan pesta dan juga berbeli-belah. Emas-perak pakaian pengantin silih berganti, baik mempelai perempuan maupun mempelai laki-lakinya.
Ketika itu pula menurut yang empunya cerita, seangkatan perampok Lanun sedang menunggu-nunggu mangsa rompakannya di perairan barat Pulau Bintan. Mereka bersiap-siap mencegat setiap perahu tumpangan orang, baik yang akan ke udik memenuhi undangan raja maupun ke ilir kembali ke tempat perhelatan besar itu.
“Mereka pasti memakai perhiasan emas-perak, intan-berlian.” kata kepala rombak kepada para pengikutnya, Lanun ganas sedang meraja-lela di laut dan selat-melat pada masa sezaman.
“Yeak, itulah tambang emas kita, heh-huuui…” perampok Lanun itu bersorak-sorak. “Kita akan dapat durian runtuh… heh-huuui,” jerit mereka bila malam tiba.
Konon, disuatu malam, untuk menyambanag dan mengintai orang keluar-masuk dilingkungan Teluk Pulau Bintan itu, perahu perampok Lanun itu berlabuh di beting pasir antara Teluk Keriting dan Pulau Penyengat.
“Yah, hui,” mereka berada di atas angin, tidak ada seorang pun yang berani menghalangai niatnya. Dan memang benar, ketika itu pula kelihatan sebuah perahu pencalang masuk ke Teluk Bintan melewati alur pualu Los, dari arah Galang. Perahu kenaikan Orang Kaya Mepar yang datang dari Daik-Lingga, hendak mengudik ke Ulu Bintan. Karena air tohor untuk ke udik tengah malam, maka sementara menunggu pasang naik di waktu subuh. Berlabuhlah perahu Orang Kaya Mepar itu di pasir Beting berdekatan perahu perampok Lanun yang sedari tadi menunggu disitu.
“Ohoi sahabat! Panggil kepala rampok. “Bolehkah kami minta api?” katanya berpura-pura. “Hendak memasak air tetapi tidak punya api di perahu kami ini.”
“Silahkan himpit ke perahu kami, sahabat,” sahut Orang Kaya Mepar. “Sekedar emminta api apa salanhya. Kemarilah.”
“Husy… ada rezeki, cepat himpit ke perahu yang berlabuh itu, bsiik kepala perampok. Para Lanun itupun memindahkan labuhan perahunya langsung menghimpit ke perahu Orang Kay Mepar.
“Apa memang sebenarnya, Tuan datang selaku sahabat?” tanya Orang Kaya Mepar tatkala melihat perahu orang meminta api untuk memasak air itu merapat. “Benarkah datangs elaku sahabat?”
“Ya kami datang selaku sahabat,” sahut kepala rompak Lanun, seraya naik ke perahu Orang Kaya Mepar. “Yeak, datang kami selaku sahabat Orang Kaya.”
“Kalau datang selaku sahabat, kenapa Tuan-tuan bersuluhkan ulu keris?” tanya Orang Kaya Mepar pula. “Ehm, elok nian adat Tuan.”
“Yeak, minta api,” kepala rompak tertawa menyeringai, terkekeh-kekeh. “Hah-hah… minta api,” ia berkata seraya memilin-milin kumisnya. Bibirnya tebal di bawah kumis melenting kasar, bengis kelihatannya.
Tukang masak di perahu Orang Kaya Mepar jadi ketakutan, dan dengan tangan menggigil ia menununjuk bara api yang sedang menyala setempurung.
“Ini Tuan,” katanya dengan hormat.
“Iyuh!” kepala rompak meraup bara api dalam tempurung itu, dingin-dingin saja kelihatannya. Bara api itu pun padam di telapak tangannya.
“Heh-heh…hiuuuh!” Lanun itu semakin kasar, bangga dengan kekebelan tahan api. “Ehm..dingin ya, api Orang Kaya?”
Orang Kaya Mepar Cuma tersenyum, mengangguk-angguk hormat. Kepala rompak semakin kasar, akrena menyangka sosok di hadapannya itu takut padanya.
“Yeak, kami hendak makan sirih,” kata Lanun itu.
“Tak punya sirih,” sahut Orang Kaya Mepar.
“Tak sirih, minta bakik!” segah Lanun semakin beringas. “Ehm, kami hendak makan bakik!” ia menyeringai.
“Nah…ini bakik di negeri kami,” sahut Orang Kaya Mepar seraya menyerahkan paku kasar, tiga batang banyaknya.
“Ini bakik orang Lingga, makanlah.” Orang Kaya Mepar menyilakan kepala rompak itu mengunyah paku yang disuguhkan. “Silakan.”
Kepala rompak terperangah. Agak gugup ia minta gubik sirih. “Minta gubik. Ehm…minta gubik,”suaranya tertelan-telan gugup.
“Ini gubik kami orang riuh-riau.” kata Orang Kaya Mepar seraya mengunyah-ngunyah paku senggengam di tangannya. “Grup…graaap-griiip…,” hingga paku itu hancur, lumat dalam mulut Orang Kaya Mepar.
“Minta ampun….,” pekik kepala rompak Lanun ketakutan, ketika melihat kekuatan Orang Kaya Mepar sedang menguyah paku itu.
“Berangkat…ohoui….” jerit segala Lanun, dan tiga batang paku ditangan rompak itu pun langsung terlepas. Semua jatuh ke beting pasir tempat perahu-sampan itu berlabuh.
“Sumpah, tujuh keturunan, kami tak hendak ke negeri riuh-riau…,” jerit segala Lanun seraya berkayuh, melayari perahunya ke tengah laut. “Huk-hak..hu-hak…hu-hak kabilak ampuk!”
Sejak itulah beting karang berpasir antara Pulau Penyengat dan Binatn itu disebut Pulau Paku. Pulau yang timbul sebatas permukaan laut ditumbuhi dua-tiga batang pokok perepat, terkadang gundul sama sekali tergantung pada musim. Masyarakat nelayan di lingkungan itu menandainya sebagai beting pasir bertuah. Pulau paku dijadikan pertanda zaman kemenangan.
Naskah Drama Riwayat Pulau Paku
Babak 1
Dahulu kala, hidupalah Opu Daeng Celak , Raja Muda Riau II. Suatu hari, ia meminta izin kepad ibunya untuk mepersunting Tengku Mandak.
Opu Daeng Celak : “Ibunda, adina ingin memperkenalkan calon istri adinda.”
Ratu : “Siapa dia? Kenapa adinda tidak pernah memperkenalkan kepada ibunda sebelumnya?
Opu Daeng Celak : “Maafkan adinda. Adinda terlalu takut untuk memperkenalkannya.”
Ratu : “Mengapa? Apakah dia tidak pantas untuk ibunda kenal?”
Opu Daeng Celak : “Tentu tidak. Adinda hanya takut hubungan kami tidak berjalan lama. Maafkan adinda, ibunda”
Ratu : “Baiklah, ibunda maafkan. Siapa gadis cantik itu?”
Opu Daeng Kelak : “Perkenalkan ibunda, dia Tengku Mandak, saudara perempuan Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah.”
Tengku Mandak : “Perkenalkan ibunda, saya Tengku Mandak.”
Ratu : “Senang mengenal adinda.”
Tengku Mandak : “Terima kasih ibunda.”
Opu Daeng Kelak : “Ibunda, bolehkan saya memeperistri Tengku Mandak?”
Ratu : “Tentu boleh. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah berasal dari keluarga terpandang dan berpendidikan.”
Opu Daeng Kelak : “Terima kasih ibunda.”
Tengku Mandak : “Ibunda, adinda permisi pulang.”
Ratu : “Hati-hati dijalan.”
Babak 2
Setelah Tengku Mandak pulang, Opu Daeng Kelak dan Ratu membicarakan persiapan melamar Tengku Mandak.
Opu Daeng Kelak : “Ibunda, kapan ibunda akan mempersunting Tengku Manda untuk adinda.”
Ratu : “Tiga hari lagi. Ibunda akan mempersiapkan semuanya terlebih dahulu untuk mempersunting Tengku Mandak.”
Opu Daeng Kelak : “Baiklah. Apakan ada yang bisa adinda bantu.”
Ratu : “Tidak, ibunda akan mempersiapkannya sendiri. Pelayan.”
Pelayan : “Ada apa ratu?”
Ratu : “Tiga hari lagi, saya akan melamar Tengku Mandak untuk Tuan Muda. Siapkan semuanya!”
Pelayan : “Baik ratu.”
Babak 3
Sejak itu, istanapun menjadi sibuk. Semua orang mempersiapkan segala sesuatu untuk melamar Tengku Mandak. Tiga hari pun berlalu tanpa terasa. Hari ini, tibalah saat untuk me;amar Tengku Mandak.
Ratu : “Sultan Sulaiman, saya hendak melawar adik Anda untuk putra saya.”
Sultan Sulaiman : “Hamba senang dengan lamaran ini. Tapi semuanya tetap ada ditangan
adik hamba. Bagimana dinda?”
Tengku Mandak : “Dinda setuju kakanda. Apakah kakanda mengizinkan?”
Sultan Sulaiman : “Tentu saja dinda. Jika itu memang membuat dinda senang.”
Ratu : “Baiklah, kita tentukan hari baiknya.”
Sultan Sulaiman : “Hamba terserah pada ratu. Tentulah ratu akan mencari hari yang terbaik.”
Ratu : “Baiklah, saya telah mencari ahri baik. Hari itu satu minggu dari sekarang. Apakah kalian semua setuju?”
Sultan Sulaiman : “Hamba setuju. Bagaimana Tuan Muda dan dinda?”
Opu Daeng Kelak : “Saya juga setuju.”
Tengku Mandak : “Dinda juga setuju kakanda.”
Babak 4
Pernikahan Opu Daeng Kelak dengan Tengku Mandak diselenggarak besar-besaran selama sembilan puluh malam. Keluarga dari mempelai pria maupun manita banyak yang hilir mudik ke Singapura untuk membeli baju dan perhiasan. Kemeriahan pesta pernikahan itu, terdengar hingga ke hilir dungai, muara teluk Bintan. Di situ, terdapat perampok yang hendak merampok.
Perampok 1 : “Terdengar kabar, keluarga mempelai hilir mudik ke Singapura. Kita akan mencari waktu yang tepat untuk merampok.”
Perampok 2 : “Saya menurut saja pada kakak. Kakak lebih berpengalaman.”
Perampok 3 : “Saya juga demikian.”
Perampok 1 : “Baiklah. Kita harus mengawasi mereka dari sini.”
Babak 5
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya para perampok itu menemukan kesempatan untuk menjalankan aksinya.
Perampok 1 : “Lihat, mereka sedang menepi. Cepat dekati mereka! Saya akan berpura-pura meminta api.”
Perampok 3 : “Baiklah.”
Perampok 1 : “Ohoi sahabat, bolehkah kami minta api. Hendak memasak air tetapi tidak punya api di perahu kami.”
Orang Kaya Mepar: “Silahkan himpit ke perahu kami. Sekedar meminta api apa salahnya. Kemarilah!”
Perampok 1 : “Cepat himpit.”
Perampok 2 : “Mangsa sudah di depan mata.”
Perampok 3 : “Benar, kita tinggal menunggu saat yang tepat.”
Babak 6
Perahu perampok segera mendekati perahu Orang Kaya Mepar. Mereka dilayani dengan baik oelh Orang Kaya Mepar. Hal ini membuat perampok besar kepala.
Tukang Masak : “Tuan, hamba memiliki firasat tidak baik dengan mereka.”
Orang Kaya Mepar: “Tenang, ada Tuan disini. Benarkah Tuan datang selaku sahabat?”
Perampok 1 : “Benar.”
Orang Kaya Mepar: “Kalau Tuan datang selaku sahabat, mengapa Tuan bersuluhkan ulu-keris? Elok niat adat Tuan.”
Perampok 1 : “Oh ini memang biasa kami pakai.”
Tukang Masak : “Tuan, silahkan ambil apinya.”
Perampok 1 : “Api orang kaya begitu dingin.”
Tukang Masak : “Maaf, mengapa Tuan matikan apinya? Apakah tangan Tuan tidak panas?”
Perampok 1 : “Tentu tidak. Sudah biasa bagi kami. Minta sirih. Kami ingin makan.”
Orang Kaya Mepar: “Tak punya sirih.”
Perampok 1 : “Tak sirih, minta bakik.”
Orang Kaya Mepar: “Pelayan, ambilkan bakik.”
Babak 7
Pelayan segera menyiapkan bakik khas negeri Riuh-Riau. Bakik itu bukan sirih, melainkan paku. Perampok terkejut melihat bakik paku dimakan dengan renyah oelh Orang Kaya Mepar. Mereka ketakukan dan melarikan diri.
Orang Kaya Mepar: “Ini bakik di negeri kami.”
Perampok 1 : “Minta gubik sirih.”
Orang Kaya Mepar: “Tidak ada. Ini lah gubik orang Lingga. Makanlah!”
Perampok 2 : “Kak, sebaiknaya kita segera pergi.”
Perampok 1 : “Ampun. Cepat kabur.”
Babak 8
Perampok 2 segera mengkayuh perahu. Paku yang dipegang perampok 1 terjatuh di beting pasir. Sejak itu, para perampok itu tidak datang lagi ke Riau.
Perampok 1 : “Sumpah, tujuh keturunan, kami tak hendak ke negeri riuh-riau.”
Perampok 2 : “Benar. Mereka kelihatannya ramah, ternyata mereka lebih benggis daripada kita.”
Perampok 1 : “Harta belum dapat, kita justru ketemu mereka.”
Perampok 3 : “Sudah, sudah. Untung saja nyawa kita masih selamat.”
Sejak itulah beting karang berpasir antara Pulau Penyengat dan Binatn itu disebut Pulau Paku. Pulau yang timbul sebatas permukaan laut ditumbuhi dua-tiga batang pokok perepat, terkadang gundul sama sekali tergantung pada musim. Masyarakat nelayan di lingkungan itu menandainya sebagai beting pasir bertuah. Pulau paku dijadikan pertanda zaman kemenangan.
(SELESAI)