Posts Tagged ‘butuh naskah drama’

Riwayat Pulau Paku

Konon, tersebutlah riwayat perkawina Opu Daeng Celak Yang Dipertuan Muda Riau II, dengan Tengku Mandak saudara perempuan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Bertempat di istana Dalam Besar kota lama Ulu Bintan. Terlalu ramilah jemputan mudik ke hulu, meyaksikan pertunjukan kesenian, memriahkan malam perkawinan putri raja orang berbangsa itu. bergendang-beregung, tandak-joget wayang topeng menari, sembilan puluh malam lamanya.
Riuh-rendah suara orang ebrsuka-ria di istana Ulu Bintan itu sehingga terdengar hingga ke hilir sungai, muara teluk Bintan. Di situlah pula perahu dan smapan hilir mudik. Ada yang datang dan ada pula yang menyeberang pulang ke kampung halamannya. Kaum bangasawan di istana pun lalu-lalang dari Bintan ke bandar Singapura, untuk berebelanja perlengakapan pesta dan juga berbeli-belah. Emas-perak pakaian pengantin silih berganti, baik mempelai perempuan maupun mempelai laki-lakinya.
Ketika itu pula menurut yang empunya cerita, seangkatan perampok Lanun sedang menunggu-nunggu mangsa rompakannya di perairan barat Pulau Bintan. Mereka bersiap-siap mencegat setiap perahu tumpangan orang, baik yang akan ke udik memenuhi undangan raja maupun ke ilir kembali ke tempat perhelatan besar itu.
“Mereka pasti memakai perhiasan emas-perak, intan-berlian.” kata kepala rombak kepada para pengikutnya, Lanun ganas sedang meraja-lela di laut dan selat-melat pada masa sezaman.
“Yeak, itulah tambang emas kita, heh-huuui…” perampok Lanun itu bersorak-sorak. “Kita akan dapat durian runtuh… heh-huuui,” jerit mereka bila malam tiba.
Konon, disuatu malam, untuk menyambanag dan mengintai orang keluar-masuk dilingkungan Teluk Pulau Bintan itu, perahu perampok Lanun itu berlabuh di beting pasir antara Teluk Keriting dan Pulau Penyengat.

“Yah, hui,” mereka berada di atas angin, tidak ada seorang pun yang berani menghalangai niatnya. Dan memang benar, ketika itu pula kelihatan sebuah perahu pencalang masuk ke Teluk Bintan melewati alur pualu Los, dari arah Galang. Perahu kenaikan Orang Kaya Mepar yang datang dari Daik-Lingga, hendak mengudik ke Ulu Bintan. Karena air tohor untuk ke udik tengah malam, maka sementara menunggu pasang naik di waktu subuh. Berlabuhlah perahu Orang Kaya Mepar itu di pasir Beting berdekatan perahu perampok Lanun yang sedari tadi menunggu disitu.
“Ohoi sahabat! Panggil kepala rampok. “Bolehkah kami minta api?” katanya berpura-pura. “Hendak memasak air tetapi tidak punya api di perahu kami ini.”
“Silahkan himpit ke perahu kami, sahabat,” sahut Orang Kaya Mepar. “Sekedar emminta api apa salanhya. Kemarilah.”
“Husy… ada rezeki, cepat himpit ke perahu yang berlabuh itu, bsiik kepala perampok. Para Lanun itupun memindahkan labuhan perahunya langsung menghimpit ke perahu Orang Kay Mepar.
“Apa memang sebenarnya, Tuan datang selaku sahabat?” tanya Orang Kaya Mepar tatkala melihat perahu orang meminta api untuk memasak air itu merapat. “Benarkah datangs elaku sahabat?”
“Ya kami datang selaku sahabat,” sahut kepala rompak Lanun, seraya naik ke perahu Orang Kaya Mepar. “Yeak, datang kami selaku sahabat Orang Kaya.”
“Kalau datang selaku sahabat, kenapa Tuan-tuan bersuluhkan ulu keris?” tanya Orang Kaya Mepar pula. “Ehm, elok nian adat Tuan.”
“Yeak, minta api,” kepala rompak tertawa menyeringai, terkekeh-kekeh. “Hah-hah… minta api,” ia berkata seraya memilin-milin kumisnya. Bibirnya tebal di bawah kumis melenting kasar, bengis kelihatannya.
Tukang masak di perahu Orang Kaya Mepar jadi ketakutan, dan dengan tangan menggigil ia menununjuk bara api yang sedang menyala setempurung.
“Ini Tuan,” katanya dengan hormat.
“Iyuh!” kepala rompak meraup bara api dalam tempurung itu, dingin-dingin saja kelihatannya. Bara api itu pun padam di telapak tangannya.
“Heh-heh…hiuuuh!” Lanun itu semakin kasar, bangga dengan kekebelan tahan api. “Ehm..dingin ya, api Orang Kaya?”
Orang Kaya Mepar Cuma tersenyum, mengangguk-angguk hormat. Kepala rompak semakin kasar, akrena menyangka sosok di hadapannya itu takut padanya.
“Yeak, kami hendak makan sirih,” kata Lanun itu.
“Tak punya sirih,” sahut Orang Kaya Mepar.

“Tak sirih, minta bakik!” segah Lanun semakin beringas. “Ehm, kami hendak makan bakik!” ia menyeringai.
“Nah…ini bakik di negeri kami,” sahut Orang Kaya Mepar seraya menyerahkan paku kasar, tiga batang banyaknya.
“Ini bakik orang Lingga, makanlah.” Orang Kaya Mepar menyilakan kepala rompak itu mengunyah paku yang disuguhkan. “Silakan.”
Kepala rompak terperangah. Agak gugup ia minta gubik sirih. “Minta gubik. Ehm…minta gubik,”suaranya tertelan-telan gugup.
“Ini gubik kami orang riuh-riau.” kata Orang Kaya Mepar seraya mengunyah-ngunyah paku senggengam di tangannya. “Grup…graaap-griiip…,” hingga paku itu hancur, lumat dalam mulut Orang Kaya Mepar.
“Minta ampun….,” pekik kepala rompak Lanun ketakutan, ketika melihat kekuatan Orang Kaya Mepar sedang menguyah paku itu.
“Berangkat…ohoui….” jerit segala Lanun, dan tiga batang paku ditangan rompak itu pun langsung terlepas. Semua jatuh ke beting pasir tempat perahu-sampan itu berlabuh.
“Sumpah, tujuh keturunan, kami tak hendak ke negeri riuh-riau…,” jerit segala Lanun seraya berkayuh, melayari perahunya ke tengah laut. “Huk-hak..hu-hak…hu-hak kabilak ampuk!”
Sejak itulah beting karang berpasir antara Pulau Penyengat dan Binatn itu disebut Pulau Paku. Pulau yang timbul sebatas permukaan laut ditumbuhi dua-tiga batang pokok perepat, terkadang gundul sama sekali tergantung pada musim. Masyarakat nelayan di lingkungan itu menandainya sebagai beting pasir bertuah. Pulau paku dijadikan pertanda zaman kemenangan.

Naskah Drama Riwayat Pulau Paku

Babak 1
Dahulu kala, hidupalah Opu Daeng Celak , Raja Muda Riau II. Suatu hari, ia meminta izin kepad ibunya untuk mepersunting Tengku Mandak.
Opu Daeng Celak : “Ibunda, adina ingin memperkenalkan calon istri adinda.”
Ratu : “Siapa dia? Kenapa adinda tidak pernah memperkenalkan kepada ibunda sebelumnya?
Opu Daeng Celak : “Maafkan adinda. Adinda terlalu takut untuk memperkenalkannya.”
Ratu : “Mengapa? Apakah dia tidak pantas untuk ibunda kenal?”
Opu Daeng Celak : “Tentu tidak. Adinda hanya takut hubungan kami tidak berjalan lama. Maafkan adinda, ibunda”
Ratu : “Baiklah, ibunda maafkan. Siapa gadis cantik itu?”
Opu Daeng Kelak : “Perkenalkan ibunda, dia Tengku Mandak, saudara perempuan Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah.”
Tengku Mandak : “Perkenalkan ibunda, saya Tengku Mandak.”
Ratu : “Senang mengenal adinda.”
Tengku Mandak : “Terima kasih ibunda.”
Opu Daeng Kelak : “Ibunda, bolehkan saya memeperistri Tengku Mandak?”
Ratu : “Tentu boleh. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah berasal dari keluarga terpandang dan berpendidikan.”
Opu Daeng Kelak : “Terima kasih ibunda.”
Tengku Mandak : “Ibunda, adinda permisi pulang.”
Ratu : “Hati-hati dijalan.”

Babak 2
Setelah Tengku Mandak pulang, Opu Daeng Kelak dan Ratu membicarakan persiapan melamar Tengku Mandak.
Opu Daeng Kelak : “Ibunda, kapan ibunda akan mempersunting Tengku Manda untuk adinda.”
Ratu : “Tiga hari lagi. Ibunda akan mempersiapkan semuanya terlebih dahulu untuk mempersunting Tengku Mandak.”
Opu Daeng Kelak : “Baiklah. Apakan ada yang bisa adinda bantu.”

Ratu : “Tidak, ibunda akan mempersiapkannya sendiri. Pelayan.”
Pelayan : “Ada apa ratu?”
Ratu : “Tiga hari lagi, saya akan melamar Tengku Mandak untuk Tuan Muda. Siapkan semuanya!”
Pelayan : “Baik ratu.”

Babak 3
Sejak itu, istanapun menjadi sibuk. Semua orang mempersiapkan segala sesuatu untuk melamar Tengku Mandak. Tiga hari pun berlalu tanpa terasa. Hari ini, tibalah saat untuk me;amar Tengku Mandak.
Ratu : “Sultan Sulaiman, saya hendak melawar adik Anda untuk putra saya.”
Sultan Sulaiman : “Hamba senang dengan lamaran ini. Tapi semuanya tetap ada ditangan
adik hamba. Bagimana dinda?”
Tengku Mandak : “Dinda setuju kakanda. Apakah kakanda mengizinkan?”
Sultan Sulaiman : “Tentu saja dinda. Jika itu memang membuat dinda senang.”
Ratu : “Baiklah, kita tentukan hari baiknya.”
Sultan Sulaiman : “Hamba terserah pada ratu. Tentulah ratu akan mencari hari yang terbaik.”
Ratu : “Baiklah, saya telah mencari ahri baik. Hari itu satu minggu dari sekarang. Apakah kalian semua setuju?”
Sultan Sulaiman : “Hamba setuju. Bagaimana Tuan Muda dan dinda?”
Opu Daeng Kelak : “Saya juga setuju.”
Tengku Mandak : “Dinda juga setuju kakanda.”

Babak 4
Pernikahan Opu Daeng Kelak dengan Tengku Mandak diselenggarak besar-besaran selama sembilan puluh malam. Keluarga dari mempelai pria maupun manita banyak yang hilir mudik ke Singapura untuk membeli baju dan perhiasan. Kemeriahan pesta pernikahan itu, terdengar hingga ke hilir dungai, muara teluk Bintan. Di situ, terdapat perampok yang hendak merampok.
Perampok 1 : “Terdengar kabar, keluarga mempelai hilir mudik ke Singapura. Kita akan mencari waktu yang tepat untuk merampok.”

Perampok 2 : “Saya menurut saja pada kakak. Kakak lebih berpengalaman.”
Perampok 3 : “Saya juga demikian.”
Perampok 1 : “Baiklah. Kita harus mengawasi mereka dari sini.”

Babak 5
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya para perampok itu menemukan kesempatan untuk menjalankan aksinya.
Perampok 1 : “Lihat, mereka sedang menepi. Cepat dekati mereka! Saya akan berpura-pura meminta api.”
Perampok 3 : “Baiklah.”
Perampok 1 : “Ohoi sahabat, bolehkah kami minta api. Hendak memasak air tetapi tidak punya api di perahu kami.”
Orang Kaya Mepar: “Silahkan himpit ke perahu kami. Sekedar meminta api apa salahnya. Kemarilah!”
Perampok 1 : “Cepat himpit.”
Perampok 2 : “Mangsa sudah di depan mata.”
Perampok 3 : “Benar, kita tinggal menunggu saat yang tepat.”

Babak 6
Perahu perampok segera mendekati perahu Orang Kaya Mepar. Mereka dilayani dengan baik oelh Orang Kaya Mepar. Hal ini membuat perampok besar kepala.
Tukang Masak : “Tuan, hamba memiliki firasat tidak baik dengan mereka.”
Orang Kaya Mepar: “Tenang, ada Tuan disini. Benarkah Tuan datang selaku sahabat?”
Perampok 1 : “Benar.”
Orang Kaya Mepar: “Kalau Tuan datang selaku sahabat, mengapa Tuan bersuluhkan ulu-keris? Elok niat adat Tuan.”
Perampok 1 : “Oh ini memang biasa kami pakai.”
Tukang Masak : “Tuan, silahkan ambil apinya.”
Perampok 1 : “Api orang kaya begitu dingin.”
Tukang Masak : “Maaf, mengapa Tuan matikan apinya? Apakah tangan Tuan tidak panas?”

Perampok 1 : “Tentu tidak. Sudah biasa bagi kami. Minta sirih. Kami ingin makan.”
Orang Kaya Mepar: “Tak punya sirih.”
Perampok 1 : “Tak sirih, minta bakik.”
Orang Kaya Mepar: “Pelayan, ambilkan bakik.”

Babak 7
Pelayan segera menyiapkan bakik khas negeri Riuh-Riau. Bakik itu bukan sirih, melainkan paku. Perampok terkejut melihat bakik paku dimakan dengan renyah oelh Orang Kaya Mepar. Mereka ketakukan dan melarikan diri.
Orang Kaya Mepar: “Ini bakik di negeri kami.”
Perampok 1 : “Minta gubik sirih.”
Orang Kaya Mepar: “Tidak ada. Ini lah gubik orang Lingga. Makanlah!”
Perampok 2 : “Kak, sebaiknaya kita segera pergi.”
Perampok 1 : “Ampun. Cepat kabur.”

Babak 8
Perampok 2 segera mengkayuh perahu. Paku yang dipegang perampok 1 terjatuh di beting pasir. Sejak itu, para perampok itu tidak datang lagi ke Riau.
Perampok 1 : “Sumpah, tujuh keturunan, kami tak hendak ke negeri riuh-riau.”
Perampok 2 : “Benar. Mereka kelihatannya ramah, ternyata mereka lebih benggis daripada kita.”
Perampok 1 : “Harta belum dapat, kita justru ketemu mereka.”
Perampok 3 : “Sudah, sudah. Untung saja nyawa kita masih selamat.”
Sejak itulah beting karang berpasir antara Pulau Penyengat dan Binatn itu disebut Pulau Paku. Pulau yang timbul sebatas permukaan laut ditumbuhi dua-tiga batang pokok perepat, terkadang gundul sama sekali tergantung pada musim. Masyarakat nelayan di lingkungan itu menandainya sebagai beting pasir bertuah. Pulau paku dijadikan pertanda zaman kemenangan.

(SELESAI)

Naskah drama

Putri Pandan Berduri, Asal-Mula Persukuan di Pulau Bintan

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Pulau Bintan terdapat sekelompok orang Sampan atau orang Suku Laut. Pemimpin Suku Laut atau Suku Sampan ini sangat gagah perkasa, Batin Lagoi namanya.

Babak 1
Suatu hari, ketika Batin Lagoi sedang menyusuri pantai dengan berjalan santai, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara tangisan bayi dari arah semak-semak pandan.

Bayi :”oek….oek….oek…”
Batin Lagoi :”Suara apa itu? Saya mendengar seperti ada bayi yang sedang menangis. Apakah mungkin cuma perasaan Saya saja? Sepertinya mustahil jika ada bayi di sekitar sini.”

Tapi, suara bayi menangis yang terdengar itu semakin kuat dan histeris.

Bayi :”oek..oek…oek….(dengan suara yang lebih keras)”
Batin Lagoi :”Sepertinya memang benar ada bayi di sekitar sini. Suaranya terdengar jelas di telingaku. Lebih baik saya mencari sumber suaranya saja untuk memastikan.”

Batin Lagoi mencari sumber suara itu.

Batin Lagoi :”Hm.. Sepertinya suara tangisan bayi itu terdengar dari semak-semak pandan ini.”

Ternyata firasat Batin Lagoi benar, ia menemukan seorang bayi perempuan tergeletak di antara semak pandan dengan beralaskan daun.

Batin Lagoi :”Anak siapa gerangan? Mengapa berada di sini? Orang tuanya ke mana?”

Setelah melihat ke sekelilingnya, Batin Lagoi tidak melihat tanda-tanda ada orang di sekitarnya.

Batin Lagoi :”Daripada anak ini dibiarkan di semak-semak pandan ini, lebih baik Saya bawa saja ia pulang ke rumah dan Saya akan mengangkatnya sebagai anak. Mungkin ini adalah petunjuk dari Tuhan karena Saya tidak mempunyai anak. Sebelum Saya membawa anak ini pulang, Saya akan memberinya nama terlebih dahulu. Karena Saya menemukannya di antara semak-semak pandan, maka Saya akan memberi nama anak ini Putri Pandan Berduri.”

Lalu, dengan hati-hati diambilnya bayi itu dari semak-semak Pandan dan dibawanya pulang. Ia merawat dan menjaga Putri Pandan Berduri dengan penuh kasih sayang seperti layaknya membesarkan putri raja.

Babak 2
Setelah Putri Pandan Berduri beranjak dewasa, Batin Lagoi memberinya pelajaran budi pekerti yang luhur kepada Putri Pandan Berduri.

Batin Lagoi :”Pandan, kamu harus mengingat baik-baik apa yang Ayah ajarkan kepadamu ini.”
Putri Pandan :”Apakah kiranya yang akan hendak Ayah ajarkan kepadaku?”
Batin Lagoi :”Sebelum ayah memulainya, hendaknya kamu mengingat dan melaksanakan dengan baik apa yang Ayah katakan.”
Putri Pandan :”Tentu saja Ayah. Ayah tidak perlu kuatir akan hal tersebut.”
Batin Lagoi :”Tapi bukan hanya hal itu saja anakku. Engkau juga harus bertutur kata sopan dan bertingkah laku baik kepada semua orang, baik itu kepada orang tua bahkan orang yang sebaya denganmu.”
Putri Pandan :”Baik ayah. Nasehat ayah akan selalu Pandan laksanakan.”

Putri Pandan Berduri tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Tutur bahasa dan sopan-santunnya seperti sifat para putri-putri raja.

Babak 3
Kecantikan dan keelokan tingkah laku daripada Putri Pandan Berduri mengundang kekaguman dari para pemuda di Pulau Bintan.

Pemuda 1:”Lihatlah betapa cantiknya Putri Pandan Berduri itu. Tak hanya cantik Ia juga sangat sopan. Alangkah bahagianya pria yang dapat meminangnya.”
Pemuda 2 :”Setiap pria pasti akan mengagumi Putri Pandan Berduri itu. Namun, mengapa sampai sekarang tidak ada seorang pria pun yang berani mendekatinya?”
Pemuda 1 :”Tidakkah engkau berpikir bahwa sosok sempurna seperti Putri Pandan Berduri itu jugalah yang menyebabkan tidak ada pemuda yang berani mendekatinya?”
Pemuda 2 :”Mengapa demikian?”
Pemuda 1 :”Karena tentunya tidak ada pemuda yang merasa dirinya pantas untuk wanita seperti Putri Pandan Berduri itu. 1 hal lagi penyebabnya, yaitu karena ada kabar bahwa Batin Lagoi menginginkan agar Putri Pandan Berduri itu menjadi istri seorang anak raja atau anak Megat.”

Babak 4
Sementara itu, di Pulau Galang, terdapat seorang Megat yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak yang tua bernama Julela dan yang muda bernama Jenang Perkasa. Dari mereka kecil, Megat itu mendidik kedua anaknya agar saling membantu dan saling menghormati satu dengan yang lain.

Setelah keduanya beranjak dewasa, Megat menginginkan Julela yang menjadi pemimpin di Galang. Hal ini kemudian membuat Julela menjadi sombong dan angkuh. Ia sudah tidak lagi peduli dengan adiknya, hal ini menyebabkan hubungan mereka menjadi tidak harmonis dan rukun lagi. Lalu, mereka pun menjalani hidup masing-masing secara terpisah. Dari hari ke hari kesombongan Julela semakin menjadi-jadi. Ia sering mencaci dan memusuhi adiknya tanpa sebab.

Julela :“Hai, adikku yang bodoh! Engkau tahu bahwa kelak yang akan menjadi pemimpin di kampung ini adalah aku. Jadi sekarang aku mengingatkan kamu bahwa kamu harus mematuhi segala perintahku. Jika kamu tidak melakukan apa yang aku perintahkan kepada kamu, maka aku tidak akan ragu-ragu untuk mengusir kamu dari kampung ini! Kamu mengerti?”

Jenang Perkasa yang mendengar hal tersebut dari kakaknya menjadi sangat sedih.

Jenang P:”Mengapa kakak kandungku sendiri mengatakan hal sekejam itu terhadapku? Apa salahku kepadanya? Mengapa sikapnya berubah semenjak dia ditunjuk untuk menjadi pemimpin di Pulau Galang ini? Apakah aku ini tidak lagi dianggapnya sebagai adik? Mengapa aku merasa terasing di keluarga kandungku sendiri? Daripada seperti ini, lebih baik aku meninggalkan Pulau Galang ini secara diam-diam agar aku tidak mendapat cacian dari kakak kandungku.”

Babak 5
Keesokan harinya, secara diam-diam, Jenang Perkasa berlayar dengan arah yang tidak menentu. Setelah berhari-hari Ia mengarungi lautan yang luas, akhirnya sampailah ia di Pulau Bintan.

Penduduk 1 :”Engkau sepertinya bukan penduduk kampung ini. Kalau boleh tahu darimanakah engkau?”
Jenang P :”Saya dari Pulau Galang di seberang sana.
Penduduk 2 :”Mengapa anda bisa sampai ke pulau ini?
Jenang P :”Itu karena Saya sedang bermaksud untuk bertualang mengarungi lautan. Lalu, setelah berhari-hari Saya berada di lautan, tiba-tiba Saya melihat Pulau ini. Oleh karena itu saya tertarik pada keindahan Pulau ini dan bermaksud untuk tinggal beberapa saat di pulau ini.”

Sikap dan perilaku Jenang Perkasa itu telah menarik perhatian Batin Lagoi.

Babak 6
Pada suatu hari, Batin Lagoi mengadakan perjamuan makan dengan mengundang orang-orang Suku Sampan, tidak ketinggalan Batin Lagoi juga mengundang Jenang Perkasa untuk datang dalam perjamuan itu.

Batin Lagoi :”Wahai Jenang Perkasa, besok malam di rumahku akan diadakan perjamuan makan bersama orang-orang Suku Sampan Lainnya. Aku ingin engkau juga datang, karena aku sudah menganggapmu sebagai bagian dari suku ini.”
Jenang P :”Baik tuanku. Besok malam hamba akan datang ke rumah tuanku untuk memenuhi undangan dari tuanku.”
Batin Lagoi :”Baiklah, sampai bertemu besok malam. Kutunggu kedatanganmu.”
Jenang P :”Baik tuanku. Terima kasih akan undangan dari tuanku.”

Babak 7
Esoknya, Jenang Perkasa datang untuk memenuhi undangan tersebut. Saat jamuan makan akan dimulai, Jenang Perkasa memilih tempat yang agak jauh dari teman-temannya. Ia melakukan hal itu agar air cuci tangannya tidak jatuh di hidangan yang akan ia makan. Tanpa disadarinya, sejak ia datang sepasang mata telah memerhatikan perilakunya, yang tak lain dan tidak bukan adalah Batin Lagoi. Tingkah laku dan budi pekerti Jenang Perkasa itu sungguh mengesankan hati Batin Lagoi.

Usai perjamuan, Batin Lagoi menghampiri Jenang Perkasa.

Batin Lagoi :“Wahai, Jenang Perkasa! Sungguh,aku sangat terkesan dan kagum dengan kesopanan dan keelokkan budi pekertimu. Apakah Engkau bersedia apabila aku menikahkan kamu dengan putriku, Pandan Berduri?”
Jenang P :“Permintaan tuan dengan segala kerendahan hati saya terima. Saya bersedia menerima putri tuan sebagai istri saya.”
Batin Lagoi :”Baik sekali. Kapan kiranya engkau akan meminang putriku?”
Jenang P :”Terserah tuanku. Kapan hari baik yang menurut tuanku layak untuk dilaksanakan pernikahan?”
Batin Lagoi :”Bagaimana apabila kita melaksanakan pernikahannya minggu depan, anak muda?”
Jenang P :”Pilihan tuanku memang sangat tepat. Baiklah tepat minggu depan saya akan meminang putri tuanku.”
Batin Lagoi :”Tapi Jenang, karena Putri Pandan Berduri merupakan putriku satu-satunya, aku ingin pesta pernikahannya dilaksanakan dengan meriah. Apakah engkau keberatan?”
Jenang P :”Tentu saja saya tidak keberatan tuanku. Namun, pesta seperti apa yang tuanku inginkan jika hamba boleh tahu?”
Batin Lagoi :”Pesta dengan minuman dan makanan yang beranekaragam, dan dengan menampilkan segala macam tari-tarian daerah untuk menghibur para tamu undangan.”
Jenang P :”Baik tuanku, dengan senang hati akan hamba adakan acara pernikahan seperti yang tuanku harapkan.”

Seminggu kemudian, Jenang Perkasa pun dinikahkan dengan Putri Pandan Berduri. Pernikahan mereka dilangsungkan sangat meriah. Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri pun hidup bahagia.

Babak 8
Tak berapa lama kemudian, Batin Lagoi berfikir untuk segera mengangkat Jenang Perkasa sebagai Pemimpin di Bintan untuk menggantikan dirinya.

Batin Lagoi :”Wahai menantuku ada hal penting ingin aku bicarakan kepadamu.”
Jenang P :”Apakah hal penting itu,jika boleh saya tahu ayahanda?”
Batin Lagoi :”Aku ingin agar kamu segera mengantikan aku untuk menjadi pemimpin di Pulau Bintan ini. Aku merasa saat ini adalah saat yang tepat untuk mengangkat engkau menjadi pemimpin Pulau ini. Apakah kamu bersedia?”
Jenang P :”Dengan segala kerendahan hati hamba bersedia ayahanda.”
Batin Lagoi :”Keputusan yang baik, acara pengangkatanmu akan segera kita laksanakan. Namun, aku ingin agar engkau memimpin rakyat Bintan dengan bijaksana sesuai dengan adat yang berlaku di Bintan. Apakah engkau mengerti, Jenang?”
Jenang P :”Baik saya mengerti, ayah. Semua nasehat ayah akan saya ingat selalu.”

Setelah Jenang Perkasa diangkat menjadi pemimpin di Pulau Bintan, Ia memimpin rakyat Bintan dengan sangat bijaksana.

Babak 9
Pada suatu siang ketika Jenang Perkasa sedang beristirahat di kamarnya, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.Jenang Perkasa yang mendengar pintu kamarnya diketuk segera membukakanya.

Pelayan :”Maaf mengganggu istirahat tuanku.”
Jenang P :”Tidak apa-apa. Ada hal apa gerangan yang membuat engkau datang kepadaku?”
Pelayan :”Begini tuanku, di luar ada sekelompok orang yang ingin bertemu dengan tuanku.”
Jenang P :”Siapakah kiranya sekelompok orang tersebut? Tentunya engkau sudah menanyai mereka bukan?”
Pelayan :”Tentu saja tuanku. Mereka berkata bahwa mereka adalah masyarakat dari Pulau Galang. Mereka juga mengatakan bahwa ada hal penting yang ingin mereka bicarakn dengan tuanku. Apakah tuanku ingin bertemu dengan mereka, atau tuanku sedang tidak ingin diganggu ?”
Jenang P :”Saya akan menemui mereka. Tolong katakan kepada mereka untuk menunggu saya sebentar lagi.”
Pelayan :”Baik tuanku, hamba permisi dulu.”

Babak 10
Jenang perkasa menemui para tamunya.

Orang 1 :”Selamat siang. Maaf kiranya kami telah mengganggu istirahat tuanku Jenang Perkasa.”
Jenang P :”Tidak apa-apa. Kiranya ada perlu apa yang membuat kalian datang ke sini? Apakah telah terjadi sesuatu hal yang buruk di Pulau Galang sehingga kalian datang ke tempatku?”
Orang 2 :”Tenang saja Tuanku, tidak terjadi sesuatu hal yang buruk di Pulau Galang.”
Jenang P :”Kalau begitu, hal apakah yang membuat kalian datang kemari?”
Orang 3 :“Kami datang kesini karena kami mendengar bahwa Tuanku menjadi pemimpin di Pulau Bintan ini. Selain itu, kami juga mengetahui tentang cara kepemimpinan tuanku di Pulau ini. Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk mengajak tuanku kembali ke Galang, dan mengggantikan kakak tuanku yang sombong itu sebagai Pemimpin di Galang. Apakah kiranya tuanku bersedia?”
Jenang P :”Maaf, bukan maksudku untuk menolak maksud baik kalian. Namun, sekarang aku sudah menjadi pemimpin di Pulau Bintan ini. Aku tidak dapat meninggalkan pulau ini begitu saja.”
Orang 2 :”Apakah tuanku tidak merasa kasihan kepada penduduk Pulau Galang karena kepemimpinan kakak tuanku? Kami tahu Tuanku dahulu adalah penduduk dari Pulau kami, oleh karena itu hendaknya Tuanku bersedia membantu kami dengan cara menjadi pemimpin Pulau Galang.”
Jenang P :”Dahulu aku memang penduduk dari Pulau Galang, tetapi kini aku sudah menjadi penduduk Pulau Bintan ini. Lagipula sudah menjadi tanggung jawabku untuk memimpin Pulau Bintan yang sangat kucintai ini. Aku tidak bisa melepaskan tanggung jawabku begitu saja. Sekali lagi maafkan aku,tapi aku tidak bisa menerima permintaak kalian.”

Akhirnya sekumpulan orang dari Galang itu pun kembali dengan tangan hampa. Sementara Jenang Perkasa hidup berbahagia bersama Putri Pandan Berduri. Mereka mempunyai tiga orang putra, yang sulung dinamakan Batin Mantang, yang tengah Batin Mapoi, dan yang bungsu Batin Kelong.

Babak 11
Jenang Perkasa mendidik ketiga anaknya agar mereka tidak menjadi orang yang sombong.

Jenang P :”Anak-anakku yang kukasihi. Aku selalu ingatkan kepada kalian nantinya kalian akan memimpin Pulau ini menggantikan Aku. Aku berharap kelak kalian akan menjadi pemimpin suku yang bertanggungjawab dan tidak sombong. Karena masa depan rakyat ada di tangan kalian, maka kalian harus benar-benar menjadi anak yang bertanggungjawab.”

Maka pada ketiga anaknya diadatkannya dengan adat suku Laut, dan dinamakan dengan adat Kesukuan.

Setelah beranjak dewasa, ketiga anaknya tersebut memimpin suku mereka masing-masing. Batin Mantang membawa berhijrah ke bagian utara Pulau Bintan, Batin Mapoi dengan sukunya ke barat, dan Kelong dengan sukunya ke timu Pulau Bintan. Ketiga suku tersebut kemudian menjadi suku terbesar dan termasyhur di daerah Bintan. Jika mereka mengalami kesulitan, mereka kembali kepada yang pertama, yaitu kepada adat Kesukuan.

Tak lama kemudian, Jenang Perkasa meninggal dunia, disusul Putri Pandan Berduri. Walaupun keduanya telah tiada, tetapi anak-cucu mereka banyak sekali, sehingga adat Kesukuan terus berlanjut. Hingga kini, Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri tetap dikenang karena dari merekalah lahir persukuan di Teluk Bintan. Suku Laut atau Suku Sampan ini masih banyak ditemukan berdiam di perairan Pulau Bintan.

(SELESAI)

Lampiran teks Legenda Danau Toba:

Ini adalah kisah tentang terjadinya Danau Toba. Orang tak akan menyangka, ada kisah sedih dibalik danau yang elok rupawan itu.
Tersebutlah seorang pemuda yatim piatu yang miskin. Ia tinggal seorang diri di bagian Utara Pulau Sumatra yang sangat kering. Ia hidup dengan bertani dan memancing ikan.
Suatu hari, ia memancing dan mendapatkan ikan tangkapan yang aneh. Ikan itu besar dan sangat indah. Warnanya keemasan. Ia lalu melepas pancingnya dan memegangi ikan itu. Tetapi saat tersentuh tangannya, ikan itu berubah menjadi seorang putri yang cantik! Ternyata ia adalah ikan yang sedang dikutuk para dewa karena telah melanggar suatu larangan. Telah disuratkan, jika ia tersentuh tangan, ia akan berubah bentuk menjadi seperti makhluk apa yang menyentuhnya. Karena ia disentuh manusia, maka ia juga berubah menjadi manusia.
Pemuda itu lalu meminang putri ikan itu. Putri ikan itu menganggukan kepalanya tanda bersedia.
“Namun aku punya satu permintaan, kakanda.” katanya.
“Aku bersedia menjadi istri kakanda, asalkan kakanda mau menjaga rahasiaku bahwa aku berasal dari seekor ikan.”
“Baiklah, Adinda. Aku akan menjaga rahasia itu.” kata pemuda itu.
Akhirnya mereka menikah dan dikaruniai seorang bayi laki-laki yang lucu. Namun ketika beranjak besar, si Anak ini selalu merasa lapar. Walapun sudah banyak makan-makanan yang masuk kemulutnya, ia tak pernah merasa kenyang.
Suatu hari, karena begitu laparnya, ia makan semua makanan yang ada di meja, termasuk jatah makan kedua orang tuanya. Sepulang dari ladang, bapaknya yang lapar mendapati meja yang kosong tak ada makanan, marahlah hatinya. Karena lapar dan tak bisa menguasai diri, keluarlah kata-katanya yang kasar.
“Dasar anak keturunan ikan!”
Ia tak menyadari, dengan ucapannya itu, berarti ia sudah membuka rahasia istrinya.
Seketika itu juga, istri dan anaknya hilang dengan gaib. Ia jadi sedih dan sangat menyesal atas perbuatannya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Ia tak pernah bisa bertemu kembali dengan istri dan maupun anaknya yang disayanginya itu.
Di tanah bekas pijakan istri dan anaknya itu, tiba-tiba ada mata air menyembur. Airnya makin lama makin besar. Lama-lama menjadi danau. Danau inilah yang kemudian kita kenal sampai sekarang sebagai Danau Toba.
Sumber Referensi :
Dea Rosa, 2007, Seri Mengenal Indonesia – Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua, Indonesiatera

Naskah drama
LEGENDA DANAU TOBA

BABAK 1
Terdapatlah seorang pemuda miskin yatim piatu bernama Tuba. Tuba tinggal seorang diri di sebelah utara Pulau Sumatera. Ia hidup dengan bertani dan memancing ikan.
Pada suatu hari, ketika ia memancing, ia mendapatkan ikan tangkapan yang aneh. Tuba yang kaget , lalu berseru dengan logat bataknya yang masih kental.
Tuba : “Wah, besar kali ikan ini bah! Cantik kali.”
Tuba lalu melepas pancingnya dan memegangi ikan itu. Namun saat tersentuh tangannya, ikan itu berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Lalu, Tuba pun terlibat perbincangan menegangkan dengan wanita sang jelmaan ikan.
Tuba: “Kau? Kau ikan yang tadi aku pancing?
Wah… cantiknya! Tapi, kamu tak mungkin seorang manusia biasa.
Beritahu aku siapa kamu sebenarnya!”
Putri ikan: “Aku adalah seekor ikan mas yang dikutuk olah para dewa karena telah melanggar sebuah aturan. Dan jika tubuhku tersentuh oleh tangan, maka aku akan berubah wujud menjadi sama seperti wujud makhluk apa yang telah menyentuhku. Kearena aku telah kau sentuh, aku berubah menjadi sama seperti kamu, manusia.”
Tuba: “Begitu rupanya nasib kau. Cantik-cantik tapi kena kutuk. Berarti kau tak punya tempat tinggal kan?”
Putri ikan: (mengangguk sambil tersenyum)
Tuba: “Ya, kau ikut sajalah ke gubuk milikku, kebetulan aku tinggal sendirian.” (sambil seraya menggandeng tangan putri ikan)
Putri ikan: (berjalan mengikuti Ucok)
Sejak saat itu, wanita itu pun tinggal bersama Tuba di gubuk milik Tuba. Tuba terlihat sangat bahagia karena sang wanita ikan itu sudah sangat membantunya dalam berbagai pekerjaan rumah
Hingga pada suatu hari Tuba berkeinginan untuk meminang sang Putri Ikan.

Tuba: “Inang, maukah kau menjadi istriku? Aku merasa senang apabila kau ada disini, dan aku akan lebih senang lagi bila kau mau menjadi istriku.”
Putri Ikan: (mengangguk) “Aku mau menjadi istrimu, bang. Tapi, aku mau abang berjanji untuk tetap merahasiakan kepada siapapun bahwa aku adalah seekor ikan.”
Tuba: “Gampang lah itu Inang. Akan aku jaga rahasiamu itu kepada siapapun.” (tersenyum gembira)
Lalu merekapun menikah.

BABAK 2
Lima tahun berlalu sudah. Mereka dikaruniai seorang anak yang lucu dan lincah, bernama Ucok.
Namun anak mereka selalu merasa lapar.
Walaupun sudah banyak makanan yang masuk ke dalam mulutnya, ia tak pernah
merasa kenyang.
Suatu hari, karena begitu laparnya ia menghabiskan semua maakanan yang ada di meja,
termasuk jatah makanan kedua orang tuanya. Ayahnya pun pulang dari ladang.
Tuba: “Bah, lapar kali aku. Enak kali kalau aku makan masakan istriku.” (berharap)
Tuba: (membuka tudung saji lalu mengerenyitkan dahi)
“Ucok!!!! Kau kemanakan semua makanan masakan Inang kau?”
Ucok: “Sudah Ucok habiskan lah, Amang. Lapar kali Ucok habis main di ladang”
Tuba: “Dasar anak ikan! Rakus kali kau!” (geram)

Ucok menangis, lalu berlari pergi menemui ibunya di ladang.
Putri ikan: “Mengapa kau menangis anakku?” (bingung melihat anaknya menangis)
Ucok: “Inang, benarkah aku ini adalah seorang anak ikan?”
Putri ikan: “Siapa yang bierkata padamu, Nak?” (terkejut)
Ucok: (diam sambil tersedu-sedu)
Putri ikan: “Jawab ibu, Nak!”
Ucok: “Amang yang berkata itu padaku, Inang. Amang bilang aku adalah seorang anak ikan, makanya aku rakus. Benarkah itu Inang? Amang bohongkah Inang?”
Putri ikan: (diam dan mulai menitikkan air mata)
Ucok: “Jawab Ucok, Inang! Amang hanya berbohong kan, Inang?”
Putri Ikan: “Iii…ya Ucok, Amangmu itu benar sekali. Aku adalah anak ikan. Inangmu ini adalah seekor ikan sebelum Inang menikah dengan Amang.”
Ucok yang mendengar jawaban dari ibunya, semakin menangis tersedu-sedu. Ia tak mengira
bahwa selama ini dirinya adalah anak ikan.

BABAK 3
Jauh di rumahnya, Tuba baru tersadar bahwa ia sudah melanggar janjinya kepada sang Putri Ikan.
Ia sangat menyesali perkataanya terhadap anaknya bahwa anaknya adalah anak ikan.
Lalu, ia cepat-cepat bergegas pergi mencari anaknya ke ladang. Sesampainya di ladang
Tuba: “Inang…..”
Putri Ikan: “Kau sudah melanggar janjimu kepadaku. Sekarang aku dan anakmu akan pergi. Selamat tinggal.” (berdiri menatap ke langit)
Tuba: “Jangan Inang, maafkan aku. Aku memang salah, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun, tolong Inang dan Ucok jangan pergi tinggalkan aku. Aku sangat menyayangi Ucok dan Inang.”
Namun, semuanya sudah terlambat, sang Putri Ikan dan anaknya perlahan naik ke atas langit dan
kemudian menghilang dari pandangan suaminya. Tuba pun berusaha memanggil istri dan anaknya.
Tapi, istri dan anaknya tetap terbang menuju langit biru dan kemudian menghilang.
Tuba: “Inang…………. Ucok………..” (berteriak)

Di tanah bekas pijakan istri dan anaknya itu, tiba-tiba ada mata air yang menyembur.
Makin lama makin besar. Air itupun menenggelamkan Tuba yang tak peduli lagi dengan apapun karena kehilangan istri dan anaknya. Lalu, air itu lama-lama menjadi sebuah kumpulan air yang luas yang biasa disebut danau. Oleh rakyat sekitar, danau ini disebut Danau Tuba yang namanya berasal dari nama laki-laki yang tenggelam itu. Namun, karena rakyat sekitar sulit menyebut Tuba, maka nama danau tersebut sekarang berubah menjadi Danau Toba.

Batu Menangis

Babak 1
Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua dengan seorang putrinya yang cantik jelita bernama Darmi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung desa. Sejak ayah Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah Darmi tidak meninggalkan harta warisan sedikit pun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan. Sementara putrinya, Darmi, seorang gadis yang manja. Apapun yang dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang gadis yang malas. Kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin. Setiap sore ia selalu hilir-mudik di kampungnya tanpa tujuan yang jelas, kecuali hanya untuk mempertontonkan kecantikannya. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.

Ibu : “Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah.”

Darmi : “Tidak, Bu! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor
terkena lumpur.”

Ibu : “Apakah kamu tidak kasihan melihat Ibu, Nak?”

Darmi : “Tidak! Ibu saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena tidak mungkin lagi ada laki-laki yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah keriput itu.”

Babak 2
Mendegar jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat berkata-kata lagi. Dengan perasaan sedih, ia pun berangkat ke sawah untuk bekerja. Sementara si Darmi tetap saja tinggal di gubuk, terus bersolek untuk mempecantik dirinya. Setelah ibunya pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yang diperoleh Ibunya untuk dibelikan alat-alat kecantikan.

Darmi : “Bu! Mana uang upahnya itu!”

Ibu : “Jangan, Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini.”

Darmi : “Tapi, Bu! Bedakku sudah habis. Saya harus beli yang baru.”

Ibu : “Kamu memang anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang, tapi tidak mau bekerja.”

Babak 3
Meskipun marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada Darmi. Keesokan harinya, ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yang diperoleh ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan demikian terjadi hampir setiap hari. Pada suatu hari, ketika ibunya hendak ke pasar, Darmi berpesan agar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi, ibunya tidak tahu alat kecantikan yang dia maksud. Kemudian ibunya mengajaknya ikut ke pasar.

Ibu : “Kalau begitu, ayo temani Ibu ke pasar!”

Darmi : “Aku tidak mau pergi ke pasar bersama Ibu!”

Ibu : “Tapi, Ibu tidak tahu alat kecantikan yang kamu maksud itu, Nak!”

Namun setelah didesak, Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke pasar.

Darmi : “Aku mau ikut Ibu ke pasar, tapi dengan syarat Ibu harus berjalan di belakangku,” kata Darmi kepada Ibunya.”

Ibu : “Memang kenapa, Nak!”

Darmi : “Aku malu kepada orang-orang kampung jika berjalan berdampingan dengan Ibu.”

Ibu : “Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?”

Darmi : “Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakaian ibu sangat kotor itu! Aku malu punya Ibu berantakan seperti itu!”

Babak 4
Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan Ibunya mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan keluarga yang sama. Sang Anak terlihat cantik dengan pakaian yang bagus, sedangkan sang Ibu kelihatan sangat tua dengan pakaian yang sangat kotor dan penuh tambalan. Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.

Teman Darmi 1: “Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?”

Darmi : “Ke pasar!”

Teman Darmi 1 : “Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?”

Darmi : “Tentu saja bukan ibuku! Dia adalah pembantuku.”

Babak 6
Laksana disambar petir orang tua itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. Tidak berapa lama berjalan, mereka bertemu lagi dengan seseorang.

Teman Darmi 2 : “Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?”

Darmi : “Hendak ke pasar.”

Teman Darmi 2 : “Siapa yang di belakangmu itu?”

Darmi : “Dia pembantuku.”

Jawaban yang dilontarkan Darmi itu membuat hati ibunya semakin sedih. Tapi, sang Ibu masih kuat menahan rasa sedihnya. Begitulah yang terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang Ibu berhenti, lalu duduk di pinggir jalan.

Darmi : “Bu! Kenapa berhenti?”

Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, Darmi melihat mulut ibunya komat-komit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.

Darmi : “Hei, Ibu sedang apa?”

Sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia tetap berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu.

Ibu : “Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!”

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan, kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai panik.

Darmi : “Ibu…! Ibu… ! Apa yang terjadi dengan kakiku, Bu? Maafkan Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan mengulanginya lagi, Bu!”

Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat lagi dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki, badan, hingga ke kepala. Gadis durhaka itu hanya bisa menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala. Seluruh tubuh Darmi telah menjelma menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dengan baik, sehingga masih dapat kita saksikan hingga sekarang.

Naskah Drama Komedi
“PERANG BUBAT”

  1. PROLOG

Sang surya telah keluar dari bilik persembunyiannya. Seperti biasanya awan putih dan biru bagaikan kapas lembut, menjadi paduannya untuk menghiasi angkasa supaya terlihat terang dan meninggalkan kegelapan. Si kecil sedang bersantai ria sambil bernyanyi dengan suaranya yang merdu seirama dengan lagu Michael Jacson yaitu ‘You Are Not Alone’. Bahkan ada juga yang menari kesana kemari untuk mencari santapan pagi bagi anak-anak mereka yang mengeluh kelaparan. Bukan hanya teman kecil ini saja, namun serangga lain turut mengikuti jejak langkah si kecil merdu ini. Tetes embun dingin dan segar telah membasahi hijauan dedaunan dan batang pohonnya, terlihat sangat segar, bahkan layaknya sesegar kita apabila kita telah mandi. Suasana pagi yang amat menyenangkan.

Seseorang yang berwibawa, tegas, ramah, sedang duduk di singgasana yang sangat megah. Terlihat dari benda yang bertengger manis dan pas dikepalanya itu. Sebuah mahkota emas dua puluh empat karat yang diukir sebagus mungkin dan seindah mungkin sehingga menampilkan kesan mewah dan mahal. Didampingi oleh mahapatihnya yang mahasetia, mahaganteng, maharahim dan apa lagi yah? Mahabaik deh pokoknya.

Terlihat sebuah meja berukuran sedang yang terdapat berbagai buah-buahan yang tidak dapat disebutkan satu per satu bahkan dalam hitungan detik. Dan buah yang dapat di hitung dalam hitungan satu detik tanpa koma adalah ‘RUJAK’. Benar, rujak makanan khas Indonesia yang lezat itu memasuki daftar menu meja itu, bukan hanya rujak saja, namum berbagai makanan lainnya juga memenuhi meja tersebut untuk disantap seperti pecel, nasi uduk, tumpeng, opor ayam dan lainnya.

Yah… Beliau adalah Hayam Wuruk. Raja dari kerajaan terkenal dan terhebat pada masa itu, yaitu Kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk tidak sendiri, namun ditemani oleh seorang mahapatihnya bernama Kuda Mada, eh… salah! Maksudnya adalah Gajah Mada. Baru kali ini kita mendengar bahwa ada seorang gajah yang menjadi mahapatih kerajaan. Sepertinya perbincangan mereka ini sangat menarik untuk diperdengarkan…
Hayam Wuruk : Mahapatih… Mahapatih… Mahapatih… (Ucapnya berteriak sambil menatap kanan kiri menunggu mahapatih)
Gajah Mada : Ada apa yang mulia? (Sambil membungkukkan badan berlari kearah Hayam Wuruk). Mohon maaf yang mulia, tidak perlulah berteriak seperti itu, soalnya malu atuh didengerin kucing tetangga kerajaan kita. (Dengan raut muka heran. Protes dengan tangan berselempangkan didada).

Hayam Wuruk : Terserah saya dong patih, suka-suka saya dong. Mau teriak kek, apa kek, kan semua itu hak-hak saya, kok malah kamu yang rebut? (Hayam Wuruk mengerutkan keningnya tanda heran dan berjalan kesana kemari).
Gajah Mada : Oke, maaf deh! Ampun seribu ampun. Ampun deh baginda. (Dengan raut muka bersalah dan memejamkan mata serta menunduk hormat kepada Hayam Wuruk). Ngomong-ngomong, yang mulia mau berbicara apa dengan saya? (Kembali bersikap tenang).
Hayam Wuruk : Saya dengar kalau masih ada kerajaan yang belum tunduk kepada kita. (Mengerutkan alis dan berkacak pinggang dengan muka serius)
Gajah Mada : Memangnya yang mulia tahu informasi itu dari mana? Saya kan belum sempat memberi tahu yang mulia! (Terkejut dengan alis terangkat).
Hayam Wuruk : Kamu itu gaptek banget sih. Alias gagap teknologi. Sekarang kan sudah jaman modern. Semua serba ada. Saya tau mengenai berita itu dari internet yang saya buka dari laptop saya. (Menyombongkan diri dengan tangan menepuk dada dan bertepuk tangan).
Gajah Mada : Dia itu Inu Kencana, Noordin M. Top, atau soal UAN yang bocor? (Geleng-geleng kepala memikirkan sesuatu).
Hayam Wuruk : Marshanda makan lodeh. Pokoknya ada deh. (Tertawa pelan dan melambaikan tangan).
Gajah Mada : Kalau begitu, saya percaya deh dengan semua perkataan Yang Mulia Hayam Wuruk. By the way, berita itu memang benar yang mulia. Ada kerajaan yang belum tunduk pada kita yaitu Kerajaan Sunda di West Java itulah. (Suara keras dan merentangkan tangan).
Hayam Wuruk : Apa?? (Terkejut dan melototkan mata). Kerajaan Sunda?
Gajah Mada : Benar begitu baginda (Gajah Mada tersenyum tipis).
Hayam Wuruk : Ngomong-ngomong West java apa itu? (Bingung). Apa obat masuk angin?
Gajah Mada : Bukan baginda yang mulia, tapi Jawa Barat. Raja gimana sih, mengakunya raja terhebat sepanjang masa ini, dasar raja gak pernah ikut kursus bahasa inggris nih! Padahalkan Bahasa Inggris itu kan penting sekarang (mengejek dengan tersenyum sinis kepada Hayam Wuruk).
Hayam Wuruk : Kamu ini gimana sih patih, aku saja belum lulus dari kursus Bahasa Jawa dari sepuluh tahun yang lalu. Gimana mau mengambil Kurusus bahasa apa tuh tadi? (Geleng-geleng kepala sambil duduk di kursinya yang megah itu).

Gajah Mada : Yasudah kalau begitu yang mulia, Yang Mulia Hayam Wuruk tidak perlu khawatir, karena saya akan menundukkan kerajaan itu sesuai dengan sumpah saya (Mengajukkan tangaan dengan percaya diri).
Hayam Wuruk : Sumpah yang mana? (Bingung). Kamu kan hobi sumpah-sumpah.
Gajah Mada : Ah yang mulia masa gak ngerti sih? (Menatap heran sang raja).
Hayam Wuruk : Yang mana ya? (Berfikir). Yes… I ingat kok. Jangan membuang sumpah sembarangan kan? Ya kan? (Menunjuk dengan tersenyum puas).
Gajah Mada : Junjungan hambaku ini guanteng, teng, teng, (geleng-geleng kepala sambil menundukkan kepala) tapi kok buolot sih? Itu mah sampah, bukan sumpah raja! (Ucapnya berapi-api).
Hayam Wuruk : Maksud kamu? (Tidak mengerti dan berdiri)
Gajah Mada : Sumpah Palapa, aku tidak akan amukti palapa sebelum dapat menyatukan nusantara dibawah kaki Majapahit. Dan yang kedua…
Gajah Mada hanya tersenyum tipis sambil menaikturunkan alisnya yang tebal itu. Sedangkan Hayam Wuruk yang disenyuminya hanya mengerutkan keningnya, hanya menganggukkan sesekali kepalanya.
Hayam Wuruk : Yang kedua apa? Pasti Maya Puspita Sari kan? Ketua Umum OSIS/PPSK SMA Xaverius 1 yang cantik dan pintar itu kan? (Menebak dengan tawa yang lebar)
Gajah Mada : Ya ammppuuunnnn!!!!! (Sambil menjerit) Ini raja agak telmi yah? Alias telat mikir. Maksudnya itu fullus (uang dalam Bahasa Arab). Yang mulia ini bodoh atau pura-pura gak tahu sih? (Mencibir dengan muka kesal).
Hayam Wuruk : Oke, dua-duanya deh. Buat kamu apa sih yang enggak. (Tersenyum). Lebih baik kamu sekarang berusaha untuk menundukkan kerajaan itu. Dan kalau berhasil kamu akan mendapatkan Maya, Luna Maya, bahkan Marshanda pun akan kuserahkan padamu! (Menyolek lengan mahapatih).
Gajah Mada : Baiklah yang mulia. Saya akan mencoba lagi walaupun kemarin saya telah menundukkan dengan cara diplomatik tidak berhasil alias gagal maning, saya akan mencobanya untuk terakhir kali. (Membusungkan dada tertawa dengan percaya diri).

Hayam Wuruk : (Terkejut melihat gigi mahapatihnya dan menutup hidungnya). Amboiiii….. gigi lo kuning banget sih? (Berteriak dan jijik). Sikat gigi berapa kali sehari sih? (Heran).
Gajah Mada : Aduh ampun baginda, kalau masalah sikat gigi saya lupa berapa kali sehari. Tidak perlu ditanya deh! (Merasa malu). Baiklah yang mulia, Saya akan melakukan tugas tersebut demi kejayaan kerajaan kita, Kerajaan Majapahit terbaik sepanjang masa! (Bersemangat dengan tangan kanan diangkat).
Hayam Wuruk : Ya sudah kalau begitu, segera laksanakan amanat saya! (Menyuruh Gajah Mada pergi).
Gajah Mada : Kalau begitu yang mulia, sebelum saya pergi, saya akan melakukan persiapan terlebih dahulu (Beranjak pergi namun tertahan oleh Hayam Wuruk).
Hayam Wuruk : Memangnya persiapan apa sih? Bukannya persenjataan kita sudah sampai dari Amerika? Kan semuanya sudah lengkap! (Penasaran).
Gajah Mada : Yang mulia, bukan itu, tapi facial, manicure, pedicure, cukur, mendengkur, supaya siap tempyur! (Dengan gaya centil meninggalkan Hayam Wuruk).
Hayam Wuruk : Mau perang saja seperti mau ikutan lomba cover boy (Melambaikan tangan dan menyengrit heran kearah Gajah Mada).
Gajah Mada : Ikan hiu melambai-lambai, See you bye-bye (Pergi)
Pertemuan antara mahapatih dan rajanya pun berakhir. Sementara mahapatih melakukanpersiapannya seperti facial, manicure, pedicure, cukur, mendengkur, sang raja hanua sibuk membuka situs internet dilaptopnya untuk mendengarkan musik, yaitu lagu ‘Tak Gendong Kemana-mana’ Mbah Surip dan mengotak-atik google untuk mencari tahu mengenai Kerajaan Sunda, kerajaan yang akan ditakhlukannya. Namun, tiba-tiba ekspresi muka raja itu berubah karena melihat sesuatu yang ada dilaptopnya itu. Lalu ia tersenyum tipis (Namun perlu dikonfirmasikan bahwa Hayam Wuruk tidak melihat situs yana aneh-aneh). Kira-kira apakah yang sedang di lihatnya?

Hayam Wuruk : Numpung sedang tidak ada patih yang koplo itu, lebih baik aku buka internet ah… (Membuka laptop dan mengetik sesuatu). Aku akan mencari situs kerajaan sundel bolong ini… (Terkejut dan tersenyum). Wow, kok ada gadis cantik disini. Siapa ya? (Mengutak-atik tombol). DI, di, YA h, yah. Diyah. PI pi, TA ta, LO lo, KA ka. Jadi Diyah Pitaloka. Wah… namanya bagus sekali. Anak siapa ya? (mengerutkan keningnya). Ku coba untuk cari biodatanya ah… (mengetik kembali). Tempat tanggal lahirnya, Sunda, tanggalnya gak jelas. Hobinya makan kemplang, semur jengkol, dan sambal calok (sambal terasi). (Menggeleng-gelengkan kepalanya). Wah… Cantik-cantik kok selera makannya ndeso begini. Hahaha (tertawa). Cowok idolanya raja ganteng, kuat nyalinya dan panajang akalnya juga bisa menyanyi seperi Raja Hayam Wuruk. (Terkejut dan mata melotot).
Hayam Wuruk : Yaampun ternyata ia menyukai aku. Bagus kalau begitu. Tapi kayaknya dia memiliki syarat terakhir yang agak susah aku pecahkan nih (manggut-manggut dengan mengelus-elus dagunya). Biarkan aku pergi… Untuk cari istri… (Bernyanyi).
***

Babak kedua :

Setelah kejadian tersebut, Hayam Wuruk mengirimkan sebuah SMS kepada mahapatihnya yaitu Gajah Mada yang sedang pergi Kerajaan Sunda ditemani oleh para pengawalnya dari Majapahit. Dia datang tentunya untuk menakhlukan kerajaan tersebut, karena itu sudah menjadi tugas Gajah Mada. Kalau tidak dilaksanakan oleh Gajah Mada ia jelas bisa rugi besar, soalnya Gajah Mada sudah diberi sogokan berupa fullus. Ditengah perjalanan tepatnya di Daerah Garut, Gajah Mada dan rekannya membeli oleh-oleh berupa dodol garut untuk diberikannya kepada Sri Baduga Maharaja, Raja Kerajaan Sunda.
Sri Baduga Maharaja sedang duduk di singgasananya yang tak kalah megah dengan singgasana Hayam Wuruk di Majapahit. Kemudian ia menoleh ke sekitar ruangannya.
Sri Baduga : Dyah … Dyah Pitaloka anakku… (Memanggil Dyah dengan lembut. Namun tidak ada jawaban dari anaknya).
Sri Baduga : Dyah Pitaloka sayang…
Dyah Pitaloka : Naon papa? Kumaha atuh? (Ada apa papa?). (Berjalan mendekati ayahnya dengan tersenyum cantik).
Sri Baduga : Papa perhatiin kamu daritadi kamu ini kok melamun terus sih! Kumaha sayang? Damang? (Ada apa sayang? Baik?).
Dyah Pitaloka : Teh naon-naon pa (tidak ada apa-apa pa). (Sambil menggelengkan kepalanya).
Sri Baduga : Kucing kurus kecebur di kolam. Kolam pancing banyak batu. Anak gadis kalau banyak diam. Pastilah dia memikirkan sesuatu. (Mengusapkan kepala Dyah).
Dyah Pitaloka : Jalan-jalan ke pondok gede, tidak lupa membawa acar. Aku ini sudah gede, ngapo papa dak carikan aku pacar? (Merengut dan ngambek muka ditekuk).
Sri Baduga : Hahahaha… (Tertawa). Kau ini rupanya sudah pingin pacar toh?
Dyah Pitaloka : Iya dong pa, aku kan sudah sweet seventeen (muka ditekuk).
Sri Baduga : Kamu ini persis sekali dengan mamamu neng jelis, kalau meminta seseuatu pasti cemberut. Namun, walaupun begitu, kamu tetan cantik neng jelis. (Merangkul Dyah dan tersenyum). Sudah kalau begitu kamu pilih siapa? David, Rio, Yofan, atau Joko? (Menaikkan kedua tangannya).
Dyah Pitaloka : Pa… (Bergelanyut manja).
Sri Baduga : Apa sayang? (tersenyum).
Dyah Pitaloka : Semalam aku mimpi, ketemu dengan ayam jago, dia itu gagah perkasa dan ayam itu selalu mengikutiku pa… (merengek dengan manja).
Sri Baduga : Jam berpa kau mimpi? (Membelakkan matanya)
Dyah Pitaloka : Sekitar jam empat pagi
Sri Baduga : Menurut para dukun, kalau mimpi jam empat pagi itu pertanda baik (mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum menggoda).
Dyah Pitaloka : Maksud papa? (Mengerutkan kening).
Sri Baduga : Ya, mimpimu akan menjadi kenyataan.
Dyah Pitaloka : Jadi aku akan pacaran sama ayam, pa? Ih… Ogah deh! (terkejut dan merinding).
Sri Baduga :Yah, gak tahulah. Kita lihat saja nanti sayang.

Tiba-tiba ditengah percakapan antara Sri Baduga Maharaja dan putrinya Dyah Pitaloka, pengawal kerajaan mereka mengatakan bahwa mereka, khususnya Kerajaan Sunda terlah kedatangan tamu dari Keraajaan besar lain yaitu Kerajaan Majapahit. Kedatangan itu membuat Sri Baduga Maharaja dan Dyah Pitaloka kagum, takjub, sekaligus senang dan heran. Karena ini bukan biasanya dan tanpa perjanjian terlebih dahulu. Diliputi rasa penasaran dan heran, Sri Baduga Maharaja pun mempersilahkan tamunya untuk bertemu dengannya. Dan Dyah Pitaloka sendiri hanya bisa mengedipkan mata.
Gajah Mada : Assalamwuaallaaiikuumm, permisi, excuse me, kulua nuon… (Berteriak histeris dan tertawa).
Sri Baduga : Ya, sepatu… Siapa tu? (Terheran-heran sambil melirik putrinya).
Gajah Mada : Perkenalkan, nama saya adalah Gajah Duduk (kemudian ia tersenyum. Setelah itu Sri Baduga beserta Dyah Pitaloka hanya menatapnya).
Sri Baduga : Jadi kamu ini penjual sarung ya? (Masih merasa heran sambil menggeleng-gelengkan kepalanya).
Gajah Mada : Tentunya bukan. Saya adalah Gajah Mada, patih dari Kerajaan Majapahit yang tempo hari datang kesini (mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat Sri Baduga).
Sri Baduga : Oh iya (tersenyum akan teringat sesuatu, lalu menjabat tangan Gajah Mada). Aku lupa, sekarang Gajah Mada tambah ganteng saja. Kalau begitu, mari atuh masuh, and sit down please (mempersilahkan Gajah Mada masuk keruangannya dan duduk bersama)
Gajah Mada : Oh, oke. Gak masalah. Beli genteng di Kota Banuayu alias thanks you (sambil melirik-lirik sekitar ruangan dan melirik Dyah Pitaloka yang ternyata putri kerajaan yang cantik).
Sri Baduga : Patih Majapahit ini pasti lulusan SMA Xaverius 1 ya?
Gajah Mada : Memangnya kenapa? (Menyengrit heran).
Sri Baduga : Bisa Bahasa Inggris dan pintar membuat pantun (lagi-lagi ia tersenyum).
Gajah Mada : Pastinya, aku kan diajari oleh Mr. Novian dan Pak Kasdi, (Gajah Mada melihat sekeliling ruangan itu kembali)

Terlihat mewah sekali kerajaan ini. Atap yang besar, dan hampir semua perabotan kerajaannya ini terbuat dari kayu jati asli. Keraton ini juga lumayan besar dengan halaman yang begitu luas, bahkan dapat untuk kesebelasan petandingan sepak bola dalam negeri, dan pentas seni. Super canggih memang, apalagi dengan desain ruangtamunya yang classic, bahkan tiap pintu dipasangi alaram juga ada laptop yang yang selalu on karena Kerajaan Sunda ini ternyata berlangganan internet. Belum lagi letaknya yang strategis dilihat dari letak geografisnya yaitu dekat Batavia dan Selat Sunda. Pokoknya top sekali. Namun yang menjadi sikap positif Gajah Mada, di Majapahit atau tempat mengabdinya ia pada Hayam Wuruk, tidak kalah megah dengan Kerajaan Sunda ini. Namun ia cukup senang kembali ke Kerajaan Sunda ini karena ia dijamu oleh banyak pelayan dari Kerjaan Sunda. Dengan berbagai makanan enak dan minuman segar pastinya.
Gajah Mada : Tuan raja, pisangnya uenak tenan deh. Di Majapahit pisang sekecil ini sudah enggak ada (sambil menikmati dengan enak pisang itu).
Sri Baduga : Kenapa ya?
Gajah Mada : Alasannya, kepasar membeli tahu, aku tidak tahu (menggelengkan kepala dengan cueknya menikmati pisang itu). Maksud saya kemari untuk… (bersikap was-was).
Sri Baduga : (Berdiri). Minta saya supaya untuk tunduk kepada Majapahit? Oh, No way, sekali saya berkata tidak tetap selamanya tidak!!!! (berapi-api dan hendak mengusir Gajah Mada keluar).
Gajah Mada : Jangan naik darah dulu gitu raja, sabar-sabar… Saya kesini ingin menyampaikan puisi karya saya Raja Hayam Wuruk (Mengelus dada).
Sri Baduga : Bagaimana itu bunyinya? Cepat bacakan! (berteriak, masih tidak terima dengan perkataan Gajah Mada).
Gajah Mada : (Berdiri dengan tegas sambil memegang sebuah kertas). Pagi-pagi ayam jago berkokok, bagunkan putri nan ayu, sudah sebulan aku gak bisa jongkok, resah mencari permaisuri nan ayu (sambil tersenyum menatap Dyah Pitaloka).
Sri Baduga : Tepuk tangan dong! (Menyuruh pengawalnya dan pelayan-pelayannya untuk bertepuk tangan). PLOK… PLOK… PLOK…
Gajah Mada : Gadis kecil membeli boneka, sudah besar pandai menari, bolehkah hamba meminang Dyah Pitaloka, kan kujadikan permaisuri! (tersenyum kembali).
Sri Baduga : Jadi Raja Hayam Wuruk yang kekuasaannya dari Jambi sampai Bali itu akan meminang putriku? (takjub dan tidak percaya dan Dyah Pitaloka pun tersenyum tersipu-sipu).

Gajah Mada : Ya paduka, kalau tidak pecaya ini ada sms dari rajaku dan ini ada oleh-oleh dodol garut asli (menyerahkan dodol garut tersebut dan menunjukkan blackberry handphonenya ke Sri Baduga Maharaja).
Gajah Mada memberikan kotak bingkisan dan Sri Baduga pun menerimanya dengan senang.
Sri Baduga : Hmm… anda membawa apa lagi? (mengelus dagunya).
Gajah Mada : Saya membawa pensil sekotak (memberikan kotak itu).
Sri Baduga : Anakku sudah lulus UAN. Buat apa pensil itu? (menunjuk kotak itu).
Gajah Muda : (Tertawa) Ya, untuk menulis undangan! Jangan lupa guru-guru SMA Xaverius 1 diundang ya?
Sri Baduga : (Mengangguk-angguk) lha itu celana jeans untuk apa? (menunjuk celana Jeans disamping sekotak pensil itu ).
Gajah Mada : Itu celana legendaries raja kami. Dengan celana inilah Hayam Wuruk awet muda (menaik-naikkan alisnya). Kalau tuan mau ambil saja (tersenyum).
Sri Baduga : Cuaaauuaaappppeeee Ddddeeehhh!!! (menepuk keningnya). Dyah Pitaloka… (Berteriak).
Dyah Pitaloka : Apa pa? (menghampiri ke Sri Baduga).
Sri Baduga : Kau sudah mendengar sendiri kalau kamu akan menjadi seorang permaisuri Majapahit. Terima atau tidak. Kalau tidak rugi dong, soalnya papa akan punya menantu raja besar dan cucuku nanti akan menjadi raja besar juga (berdiri dengan semangat dan merentangkan tangan).
Dyah Pitaloka : Aku belum pernah melihat orangnya, pa! mana fotonya? (Mengulurkan tangannya).
Gajah Mada : Ini (menyerahkan sebuah foto dan melihatnya dengan seksama).
Dyah Pitaloka : Hmm ganteng sekali (tersenyum sendiri dan bahagia). Mau deh, Pa. ayo kita berangkat pa… (beranjak pergi).
Sri Baduga : Hey nanti dulu (menahan putrinya). Mentang-mentang sudah cocok, nyosor melulu! (menyengrit kepada Dyah).
Sri Baduga : Gajah, eh sorri… Patih Gajah Mada, kalau memang itu kehendak Hayam Wuruk, aku sih oke-oke saja. Yang penting anakku menjadi permaisuri, bukannya menjadi cleaning service ( menepuk pundak Dyah).
Gajah Mada : Saya tahu paduka. Kapan berangkat? (mengangkat tangan).
Sri Baduga : Yah, setelah satu bulan lagya, soalnya menunggu anakku lulus UAN.
Gajah Mada : Baiklah (beranjak berdiri), kalau begitu saya mohon pamit. Hanya pesan saya kalau mengantar pengantin jangan membawa prajurit banyak. Namun cukup satu saja. (menunjukkan telunjuknya dengan sinis).
Sri Baduga : Mengapa? (membelakkan mata).
Gajah Mada : Kalau pengantin bawa prajurit banyak kok seperti mau perang? Kita kan sudah damai (tersenyum sambil mengacungkan jarinya berbentuk V).
Sri Baduga : Oke, kalau begitu aku setelah enam ( mengangguk).
Gajah Mada : Maksudnya?
Sri Baduga : Setujuh begok! (mengibaskan tangan).
Gajah Mada : Baiklah tuan, kalau begitu assalamwualaikum dan good bye.. see you again okay? (pergi meninggalkan Sri Baduga dan Dyah Pitaloka).
Sri Baduga : Tha… (melambaikan tangannya).

Babak ketiga :

Akhirnya lamaran Hayam Wuruk diterima oleh Sri Baduga Maharaja. Spanduk, iklan dipasang dimana-mana. Mulai dari Jalan Tol Jogorawi sampai Porong, Jawa Timur. Kala itu PT Lapindo belum berdiri dan masih berupa sumur kecil untuk mandi penduduk sekitar. Penyelenggaraan pesta pun telah dipersiapkan, mulai dari tanggal, baju pengantin, akad nikah, resepsi, makan yang akan disugujkan untuk para tamu, dan segalanya. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja.
Setelah menimbang, memutuskan, merasakan, mendengkur dan akhirnya menyelenggarakan, menurut UUK (Undang-Undang Kerajaan) yang telah diputuskan oleh kedua belah pihak, maka berangkatlah Sri Baduga Maharaja bersama putrinya Dyah Pitaloka, para pembesar, pengirirng kerajaan, dan menuju Majapahit.
Sri Baduga : Sekarang kita telah berada di Desa Bubat (melihat sekitar).
Dyah Pitaloka : Papa, aku sudah kepingin banget buat ketemu sama calon suamiku disana ( mengelus-elus tangan dan tersenyum).
Sri Baduga : Sabar nak ( menepuk pelan pundak Dyah). Kalau jodoh juga pasti ketemu.
Dyah Pitaloka : Bulan madunya dimana pa?
Sri Baduga :Bali saja. Disana kan asyiik dan kamu bisa ketemu dengan orang bule. (merangkul Dyah Pitaloka).
Terlihat rombongan Mahapatih Gajah Mada yang sedang menuju kearah mereka…
Dyah Pitaloka : Pap, itu siapa sih? (menunjuk kerah Gajah Mada). Mahapatihnya Hayam Wuruk ya? (terkekeh dan tersenyum kecil).
Sri Baduga : iya kayaknya (mengaanggukan kepalanya).
Dyah Pitaloka : Waaawww!! Gila, cakep banget uy! (tergagap melihat Gajah Mada yang sedang berose).
Sri Baduga : Udah, gak usah bawel (mengibaskan tangannya). Hayam Wuruk juga ganteng kok. Gak kalah deh sama papa kegantengannya itu. Papimu ini kan lebih ganteng dari calon suamimu itu! (menepuk pelan dadanya). Maklum, Coverboy 2008.
Dyah Pitaloka : Tapi… (menggaruk kepalanya).
Sri Baduga : Yaudahlah, gak usah pusing gitu.

Dyah Pitaloka tersenyum penuh arti. Menandakan bahwa yang dibilang oleh papanya itu sangat benar. Bijak dan diplomatis. Gajah Mada, Mahapatih Majapahit yang super keren itu medekati Sri Baduga Maharaja dan Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk sesekali tersenyum melihat putrid nan ayu yang cantik jelita itu bak bidadari yang turun dari atas lemari.
Gajah Mada : What’s up man? How are you? (bertos ria dengan Sri Baduga).
Sri Baduga : Fine, baek-baek.
Gajah Mada : How are you, Pit? (mengulurkan tangan kanannya kearah Dyah Pitaloka).
Dyah Pitaloka : I’m fine, thank you (tersenyum lebar).
Sri Baduga : Mana menantu saya? (melihat sekeliling mencari Hayam Wuruk).
Gajah Mada : Well, yang mulia, begini (was-was).
Sri Baduga : Well? Apaan tuh? Kain pel? Dikerajaan kami banyak tuh kain pel. Ada sepuluh. (Mengacungkan kesepuluh jarinya).
Gajah Mada : Ye… telat mikir ya raja. Itu Bahasa Prancis tau! (mengibaskan tangan). Begini yang mulia, Putri Dyah Pitaloka tetap akan menikah dengan raja kami, Hayam Wuruk.
Sri Baduga : Lha iya dong. Kan sudah kubilang kemarin. Dyah Pitaloka akan menjadi permaisuri Majapahit. (tertawa).
Gajah Mada : Posisi Dyah Pitaloka bukan sebagai permaisuri yang mulia, melainkan putri persembahan.
Sri Baduga menjadi marah, ia gusar karena anaknya dinikahkan dengan Hayam Wuruk sebagai persembahan semata-mata untuk menundukkan Kerajaan Sunda. Kerajaan yang dipimpinnya.
Sri Baduga : Itu artinya Raja Sunda telah mengaku kalah terhadap Majapahit? (marah).
Gajah Mada : Ya kayaknya begitu (santai).
Sri Baduga : Jadi kau ini ingkar janji (menunjuk Gajah Mada dengan telunjuknya).
Gajah Mada : Mau gimana lagi? Nasi sudah dicampur sayur, sudah jadi bubur (mengangkat kedua tangannya).
Sri Baduga : Tidak, aku tidak terima (marah dengan berteriak).
Gajah Mada : Terserah yang jelas kau sekarang berada di Bubat, wilayah Majapahit. Jadi kau harus tunduk pada Majapahit (mengacungkan telunjuk kearah bawah).
Prajurit Sunda : Gila atuh, masa neng putri harus dijadikan persembahan? Kumaha atuh kang iyek? Tidak terima kita mah! Nooo Waaayyy! (berteriak histeris).
Prajurit Majapahit : Wah, perang dunia ketiga sudah akan dimulai (geleng-geleng kepala).
Sri Baduga : SAYA TIDAK AKAN TERIMA, PRAJURIT… MMMAAAAJJJUUUU!!!!

Babak keempat :

Prajurit Sunda akhirnya bertempur dengan Prajurit Majapahit. Kemudian, pertanrungan itu sangat tidak terelakkan lagi. Keduanya telah bertumpah darah membentuk pro masing-masing. Setelah mengalami pertempuran yang panjang, Prajurit Sunda pun kalah. Dan Gajah Mada beserta Sri Baduga Maharaja pun turun kemedan perang. Tanpa disadari, Sri Baduga Maharaja pun mati.
Dyah Pitaloka : Paaaaapppppaaaaaa!!! (berteriak histeris dan menangis). Gajah Mada kau ini kejam dan licik sekali. Kau ganteng, tapi hatimu licik sekali. Daripada aku menjadi putri persembahan, lebih baik aku mati saja! Kau punya tali gak? (mengulurakan tangannya ke Gajah Mada).
Gajah Mada : Oh ada, nih! (menyerahkan talinya).
Dyah Pitaloka mencoba bunuh diri… Namun tidak berhasil.
Dyah Pitaloka : Aduh, kok gak mati-mati sih? (kesal dan membuang talinya). Gajah, ada alat lain gak?
Gajah Mada : Aduh, tempe tahu beli di Tegal, kapan sih kamu meninggal? Kok lama banget? (melipatkan tangannya). Nih ada pisau! (menyerahkan sebuah pisaunya).
Dyah Pitaloka : Bye semuanya, sampai ketemu di surga (melambaikan tangannya).
Gajah Mada : Titi Dj ya! Alias, hati-hati di jalan!
Kemudian, Dyah Pitaloka menancapkan pisau itu ke perutnya dan seketika ia tewas.
Hayam Wuruk : Oh… (berlari kearah Dyah Pitaloka). Dyah sayang, kenapa kau mati secepat ini sayang? (menangis).
Dyah Pitaloka : (Bangun lagi) Selamat tinggal Hayam Wuruk, aku sayang kamu! (kembali tidur).

  1. Epilog

Sepeninggal semuanya, Hayam Wuruk merasa begitu sedih. Karena ia telah kehilangan cinta pertamanya, Dyah Pitaloka. Apalagi, ia tidak jadi menikah dengan Dyah Pitaloka. Pupus sudah harapannya untuk memiliki istri dan sebuah keluarga dalam istananya. Bahkan harapan terbesarnya adalah untuk memiliki seorang keturunan atau anak. Karena keturunannyalah nanti yang akan meneruskan kejayaan Majapahit ini.
Sebaliknya, dengan matinya Sri Baduga Maharaja dan Dyah Pitaloka, justru membuat Gajah Mada senang. Karena, Kerajaan Sunda telah berhasil dikuasainya berkat rencananya menjadikan Dyah Pitaloka putri persembahan bagi Majapahit. Peristiwa ini tejadi di Desa Bubat, sebelah utara Kerajaan Majapahit yang menimbulkan peperangan tragis. Sehingga dinamakan ‘Perang Bubat’.
TAMAT

LEGENDA KEN DEDES

BABAK I
Sebuah Sungai di desa Wonopati, kabupaten Tumapel. Perempuan-perempuan mandi dan mencuci pakaian. Pagi buta itu adalah kegiatan mereka ngerumpi.
Seiring lampu Fade in, terdengar tawa renyah mereka.
Ken Memey : (menepuk pantat) Nih… panjat Jelo!
Ken Siti : Alah. Ken memey ini, segitu aja bangga. Nih… Mungil, lincah dan seksi (menggerai rambut, lalu berpose) Paris Hilten, sang penggoda.
Ken Taki : (datang) Spada… enibadi Hom…?
Ken Siti segera mencipratkan air ke arah Ken Taki yang baru datang.
Ken Taki : Ini apa-apaan ini, ada yang jelo ada yang Paris Hilten. Wong saya yang mirip Karmen Elektra aja nggak somby kok.
Ken Memey : Heh,,, body kaya gitu Karmen Elektra? Bolam Elektra tahu nggak sih?
Semua tertawa…
Ken Royah : Eh. Mbak Ken Memey, gimana jadi nggak nikah sama pak Lurah.. udah 2 tahun janda lho kok tenang—tenang saja.
Ken Memey : Hus! Sapa yang tenang Roy, tiap malem aku tuh menggelinjang sendiri. Nggak ada yang mau nangkep…
Ken Taki : Alah.. pas kapan itu saya liat Pak Lurah baru mengendap-endap kaya mengetuk jendela Mbak Ken Memey. Kaya Agen CIA aja, nggak tahunya agen tabloid porno.
Ken Memey : Heyy..heyy.. heyy.. are you speaking? Please deh.. yang agen-agenan gitu jangan di sebut. Itu karena pak Lurah perhatian sama rakyat. Jangan sampe aku yang janda semok ini digosipkan yang enggak-enggak. Aksi intip pak Lurah itu, Cuma buat mastiin, kalo Ik baik-baik aja dan terselimuti dengan hangat. just that. Itu aja… jangan dibesar-besarin dong.
Ken Taki : Emang punya pak Lurah udah besar, nggak boleh dibesarin lagi…
Semua tertawa ngikik…
Ken Siti : sebenarnya gimana sih hubungan mbak Ken Memey sama Pak Lurah baru?
Ken Memey : Hubungan kami? Ouugghh.. ya jelas hot berguling-guling. Dia kwalahan terus terima seranganku.. (terdiam) maksudmu hubungan…
Ken Siti : maksud saya, serius pacaran apa cuma TTM aja?
Ken Memey : Duuhh.. gimana ya? Dia tuh oke, tapi…
Eh.. udah pada lihat si sales kuda itu belum?
Ken Royah : Sales Kuda?
Ken Memey : Sales Kuda. Itu tuh yang sekarang nginep di rumah Pak Lohgawe. Dia itu penjual Kuda. Sekarang dia jadi menejer pemasaran kuda di daerah Tumapel. Ngekos di rumah pak Lohgawe.
Ken Taki : Oo.. si rambut pirang itu
Ken Memey : Iya.. wuiihh cuakep banget. Perut nya six pack lho. Rambutnya pirang, bule Amrik, keren Boo…

Ken Dedes Muda datang…
Ken Siti : Nah.. ini nih yang cocok ama Kang sales Kuda. Siapa namanya ?
Ken Taki : Ken Arok.
Ken Royah : Dedes-Arok, cocok ya..
Ken Taki : Wow… se level ama Rama-Sinta tapi ada yang lebih cocok lagi
Ken memey : siapa?
Ken taki : Taki-Arok
Semua sigap menimpuki taki dengan baju-baju basah…
Ken Memey : siapa tadi yang bilang Dedes cocok ma Arok? Alasannya apa?
Ken Siti : Lho. Ya jelas yang cowok ganteng, yang cewek cantik.
Ken Memey : denger ya! Belum ada undang-undang yang menyatakan cowok paling ganteng harus jodoh sama cewek paling cantik. And…Belum ada survey yang valid soal siapa yang paling cantik di Tumapel. You jangan menghembuskan gossip sembarang gossip okeyyy…?!!

BABAK II
Ken memey memandang Ken Dedes dengan sinis, Ken Dedes Cuma senyum dan melanjutkan kegiatan.
Ken Arok diiringi penari berkuda. Mereka memasuki desa Wonopati dan hendak menemui Empu Purwa.

Penunggang Kuda memarkir kudanya, lalu bergerombol berubah menjadi kumpulan gadis-gadis yang mengagumi kegantengan Ken Arok.
Gadis-gadis tertawa cekikikan. Ken Arok jadi salah tingkah. Lalu Ken Dedes dan Ken Taki pulang dari sungai.
Ken dedes : maaf, cari siapa?
Ken Arok : Kamu,.. ehh.. kamu. Eeee.. cari.. kuda.. ya kuda.. eh saya punya kuda.. pria.. pria.. bapak.. ee siapa saja orang pria yang ada di rumah.. saya mau jualan kuda.
Ken Taki : oo,,.. situ sales kuda to? Kok ga pake dasi. Sales-sales barang elektronik pada make dasi lho mas. Yang nggak pake dasi biasanya mendreng. Jualan alat-alat rumah tangga dengan bayaran dicicil.
Ken Dedes : Taki!. Sebentar mas, saya panggilkan.
Ken Dedes masuk rumah.
Ken Taki : (pada gadis-gadis) stop! The End. Pertunjukan bule ini selesai. Dia ke sini bertamu. Otomatis harus masuk ruang tamu. End you-you semua harus off dari sini. Atau you baris jadi satu sama kuda?
Ken Taki masuk rumah. Gadis-gadis pergi. Mpu Purwa keluar
Mpu Purwa : OO.. mas …
Ken Arok : Arok. Ken Arok.
Mpu Purwa : Mangga-mangga ken Samrock.
Ken Arok : What? Arok. Bukan Samrock. Samrock itu preman suka gulat.
Mpu Purwa : Oo ya.. mari silakan duduk. Pak Lurah sudah cerita tentang kedatangan Anda.

Ken Dedes keluar dengan minuman
Mpu Purwa : di Texas sekarang musim apa Mas?.
Ken Arok : Di tempat saya punya asal, sekarang sedang musim tembak-tembakan. Cowok menembak cewek. Dan sekarang cewek mulai berani menembak cowok. Di sini pak?
Mpu Purwa : Di sini musim tenda. Di mana-mana banyak tenda mas. O ya. Kenalkan ini ken Dedes, putri saya semata wayang.
Ken Arok : what?! Matanya kaya wayang?
Mpu Purwa : bukan matanya kaya wayang. Semata wayang. Ontang-anting.
Ken Arok : o.. I see- I see. Ontang anting. Boleh, boleh.
Ken Taki : (menyusul dengan piring snack) boleh apanya mister koboi?
Ken Arok : maksud saya, boleh saja beranak satu, dua juga boleh, tiga juga boleh. Sepuluh juga boleh.
Mpu Purwa : Dedes… tolong ditemani sebentar. Romo mau ke lurah sebentar. Ngobrol sama anak saya dulu mas Ken Arok.
Ken Arok. : Siap Romo.

Mereka duduk ngobrol dari mulai canggung sampai sangat akrab. Bersamaan dengan itu musik mengalun. Penari bersliweran.

Di rumah Ken Memey, rupanya semalam Pak Lurah menginap di rumah Ken Memey. Pagi ini Pak Lurah bersiap berangkat bekerja.
Lurah Baru : Tapi… kanapa sih. Kamu jadi sibuk ngurusin mereka. Biar saja. Ken Arok itu cuma penjual kuda. Dan kamu juga sudah janji sehidup-semati sama aku. Untuk apa ribut soal pacarannya Ken Arok dan Ken Dedes?
Ken Memey : O my god! Sayangku. Sayanngku lupa ya. Yu itu lurah. Harus paham politik, harus paham spionase, harus paham tips dan trik. Lagian saya ini spionase. Ken Dedes adalah potensi yang harus diketahui Tunggul Ametung. Cewek se seksi Ken Dedes tidak boleh jatuh ke tangan pemuda berwatak jahat. En.. aku masih cukup manusiawi. Kalo sampe Ken dedes diambil Tunggul Ametung ketika dia sudah punya pacar, Yu bisa bayangin sendiri, gimana rasanya kalo pacar yu diambil orang. Nah, karena sampe hari ini Tunggul Ametung belum merespon. Tugasku adalah mengawasi supaya Ken Dedes tetap dalam status single.
Lurah Baru : tapi apa mereka beneran pacaran?
Ken memey : apapun itu. Yang jelas aku harus lakukan pencegahan. Aku juga dapet info kalo Ken Arok itu buronan di negaranya. Ada potensi dia ke sini untuk menggalang kekuatan dan merebut pemerintahan.
Lurah : kamu terlalu jauh berpikir sayangku! Janga banyak nonton 007.
Ken Memey : ney..ney..ney! ik tidak sedang menghayal. Ini bener-bener kenyataan sayangku.

BABAK III

Di rumah, Ken Dedes melamun, lalu Taki datang.
Ken Taki : Kok keliatannya nggak ada smilenya nih, kenapa ndes? Eh Ken dedes.
Ken Dedes : nggak tahu ki, rasanya nggak mood aja.
Ken Takli : Huhuyy… jatuh cinta….
Ken dedes : dah dari kemaren-kemaren (tersenyum simpul)
Ken Taki : Rindu-rindu
Ken dedes : dah dari kemaren-kemaren!
Ken taki : Horny-horny…
Ken dedes : (melempar sandal ke pantat ken Taki).
Ken Taki : wow… anarkis! Knapa sih?
Ken dedes tidak menjawab. Ia melanjutkan sesuatu yang sepertinya berputar di otaknya.
Ken Dedes : Kok aku bisa suka sama dia ya? Menurutmu dia jahat nggak sih?
Ken Taki : liat aja alis sama hidungnya. Itu jenis orang-orang bandel.
Ken Dedes : bukan cuma bandel. Dia pemberontak. Pembangkang.
Ken Taki : oh ya. Saya denger slenthingan, pak Lurah sedang mengawasi Ken Arok. Katanya dia dicurigai mata-mata dari negeri Sebrang.
Ken dedes : Kurang kerjaan.
Ken Taki : kenapa dia jauh-jauh ke sini. Hanya untuk jualan kuda.
Ken Dedes : dia buron.
Ken Taki : Buronan?! Pelecehan seksual?.
Kan dedes : dia perampok,
Ken Taki : Jabang bayi henpon mati! Ken dedes, kanapa suka sama orang buahaya kaya gitu? Perampok itu busyet keni…
Ken Dedes : tapi dia perampok baik. Dia merampas orang-orang kaya lalu mengembara dan duitnya dibagi-bagi ke rakyat miskin. Dia sendiri bahkan tak pernah memikirkan punya rumah sendiri.
Ken Taki : oo. I see, dia itu yang bernama Robinhood?
Ken Dedes : Billy The Kid. Dia diburu dan satu persatu teman-temannya telah tewas.
Ken Taki : Cinta memang aneh. Apa yang kamu suka dari dia.
Ken Dedes : Dia pembangkang. Kelihatannya itu seksi. Keren. Dia nggak mudah nurut sama penguasan sekalipun. Toh penguasa juga nggak mesti bijak, banyak enggaknya malah.
Ken Taki : Apa sih yang billy the kid itu sukai dari kamu.
Mpu Purwa : (datang tiba-tiba) Karena putriku cantik.
Dan itu juga kadang-kadang membuat aku khawatir.
Ken Dedes : Kenapa Romo?
Mpu Purwa : aku inget cerita-cerita jaman dulu. Dari Nefertiti istri Fir’aun, Yulaikha istri Yusuf, dan juga Cleopatra. Wanita agung seringkali membuat perselisihan. Kadang-kadang Negara bisa terguncang hanya karena seorang wanita. Dan pembunuhan pertama di muka bumi ini. Juga karena rebutan wanita.
Ken dedes : wanita, memang selalu diukur dari sensual atau tidak, warna kulit, halus kasarnya, cara berjalannya, tutur katanya, lengak-lenggoknya, bahkan bau tubuhnya. Semua adalah segala yang bisa diindera. Semua itulah yang dibentuk oleh kaum lelaki kepada perempuan. Aku tunduk. Dan lebih dari itu, aku tunduk pada kodrat alam.
Ken Taki : Apa ada yang mau ngrebut Ken Dedes?
Mpu Purwa : Yang datang padaku belum ada. Tapi mungkin sudah ada rencana.
Kern Dedes : Kalo memang harus begitu, bukan salah kami para wanita Romo. Jelas kami nggak bisa membelah diri jadi dua. Sementara orang-orang kuno memberi contoh laki-lakilah yang dibagi dengan beristri lebih dari satu. Tapi wanita? Dan kalo mereka para pria sampai berebut, tentu bukan salah kami. Kami memang harus tetap memilih salah satu. Sekali lagi, lebih dari sekedar tunduk pada kepemimpinan lelaki, aku tunduk pada kodrat alam.
Mpu Purwa : ya…
Ken dedes : Sebenernya itu sangat menyakitkan. Tapi apa boleh buat. Kami cuma wanita. Diperebutkan bukan sebagai junjungan, tetapi sebagai barang milik. Alangkah senangnya mereka yang tidak cantik. Yang kulitnya biasa-biasa aja. Yang dadanya tidak mencolok. yang wajahnya biasa-biasa aja. Mereka jauh dari ancaman ini.
Ken Taki : tapi ada ancaman lain, seret jodoh…

BABAK IV
Tunggul Ametung : Bakar rumahnya, bunuh bapaknya dan bawa Ken dedes segera!

Rombongan Tunggul Ametung pergi. Mpu Purwa baru saja pulang dari bertapa dan mengutuk Tunggul Ametung.
Mpu Purwa : Tak akan tenang hidupmu nanti Tunggul Ametung. Kamu akan dibayang-bayangi ketakutan dari kecantikan anakku. Kau akan mati juga karena kecantikkan anakku Ken dedes. Tunggulah hari itu. Tunggulah Tunggul Ametuuuung…
Tunggul Ametung : Untuk apa menunggu sampai esok hari. Sekarangpun waktu itu akan datang. Tapi sayang, kutukan itu justru jatuh padamu. (Tunggul Ametung menusuk Mpu Purwa. Lalu bergegas pergi)
Ken Arok datang bersama Mpu Loh Gawe.
Ken Arok : Romo…
Mpu Purwa : Tunggul Ametung membawa Ken Dedes.
Ken Arok : Romo, selamatkan empu Purwa.
Mpu Purwa : Tidak perlu nak. Sia-sia. Racun keris ini sudah menjalar ke seluruh tubuh. Aku titipkan Ken Dedes padamu… Siapa temanmu ini?
Ken Arok : Dia ayah angkatku.
Mpu Lohgawe : Aku empu Lohgawe, Ken Arok anak angkatku. Salam hormatku mpu Purwa. Kedatanganku karena anakku ini memintaku untuk melamarkan putrimu.
Mpu Purwa : Aku sudah merasa sejak pertama bertemu anak ini. Seorang pemuda sebrang yang akan mempersunting putriku. Aku terima nak. Tapi kau harus mengambilnya sendiri. (Mpu Purwa melepas kalung dari lehernya). Ini kalung ibunda Ken Dedes. Bawalah ini saat kau menemui Ken Dedes. Itu sebagai tanda kau telah memegang amanatku untuk membimbing hidupnya.
Ken Arok : Ini pasti kalung sakti, fungsinya seperti surat sakti.
Mpu Lohgawe : Trima kasih Mpu, aku dan anakku akan menjalankan amanatmu.
(Mpu Purwa meninggal)
Ken Arok : Romo! Romo!…
Mpu Lohgawe : Pergilah ke istana Tunggul Ametung.
Ken Arok : Tapi dia juga memburuku.
Mpu Lohgawe : Ubah penampilanmu, ganti namamu. Namamu Ra Bumi. Menghadaplah ke Tunggul Ametung, lalu tantanglah pimpinan prajurit kabupaten. Kalo kamu menang, Tunggul Ametung akan menerimamu.

BABAK V
Taman Boboji. Tempat wisata khusus Ken Dedes yang sudah menjadi isteri Tunggul Ametung. Suatu pagi, mereka berdua tampak mesra berjalan mengitari taman.
Ken Dedes : (menyanyi)
Bunga Indah, segar sang angin
Kadang aku tak mau pulang
Seperti kasih memelukku
Taman ini begitu damai

Tunggul Ametung : (menyanyi)
Ribuan bunga ku semai di sini
Hanya untuk permaisuri
Sampai kapanpun engkau mau
Tak seorang berani mengusik

Ken Dedes : Tapi Kanda akan pergi ke Pangjalu, berapa lama.
Tunggul Ametung : Tak sampai hitungan bulan.
Ken Dedes : Jika boleh, aku minta kanda di sini saja. Tak ada bedanya kita takluk atau tidak pada Pangjalu. Negara itu tak mampu memberi pengayoman rakyat Tumapel. Sebaliknya, kanda Tunggul Ametunglah raja kecil di sini.
Tunggul Ametung : Aku hanya tidak ingin Pangjalu curiga. Kita memang tak pernah lagi mengirim upeti. Dan para brahmana yang dimusuhi Kertajaya banyak tinggal di pegunungan-pegunungan Tumapel.
Ken Dedes : Apakah kanda juga ingin memusuhi para brahmana?
Tunggul Ametung : Tidak. Aku tidak ingin memusuhi keduanya.
Ken Dedes : Aku sedang mengandung, jangan sampai bayiku terpengaruh rasa permusuhan di hati kanda.
Tunggul Ametung memeluk perut Ken Dedes, Kebo ijo menjatuhkan pistol ke lantai. Tunggul Ametung menoleh.
Tunggul Ametung : Kenapa Kebo Ijo?
Kebo Ijo : Nggak apa-apa boss. Heheh.. ngantuk.
Tunggul Ametung : semalem ngapain aja kamu.
Kebo Ijo : Anu.. anak saya ospek boss. Minta dibantu buat macem-macem tugas. Tugasnya aneh-aneh boss. Masa….
Tunggul Ametung : Wiss.wiss.. itu bukan urusanku. Yang penting kamu digaji disuruh kerja. Jangan lengah, istriku sedang mengandung, dan besok aku berangkat ke Pangjalu beberapa hari. Cuma kamu yang kuandalkan untuk keamanan Tumapel.
Kebo Ijo : Saya paham Gusti. Jangan khawatir.]
Tunggul Ametung : Oh, ya. Gimana si Ra Bumi. Kalian nggak ada masalah kan?
Kebo Ijo : oo.. netral boss.
Tunggul Ametung : Ra Bumi itu berbahaya sekaligus berguna. Kamu bantu aku bikin dia tetap jinak.
Kebo Ijo : Siap boss. Pokoknya dijamin netral.
Tunggul Ametung : Sekarang, menyingkirlah sebentar. Kami ingin berdua dulu sebentar.
Kebo Ijo : (Diam menunduk, lalu pelan-pelan mengangkat kepala menatap Ken Taki)
Tunggul Ametung : Ke mana telingamu Kebo Ijo?!
Kebo Ijo : E.. Iya boss. Saya disuruh apa?
Tunggul Ametung : Menyingkir sebentar! Tadi nggak dengar ya?
Kebo Ijo : Maaf gusti. Saya melamun. (bergegas pergi, sambil melirik Ken Taki)
Ken Dedes : Taki, temani Kebo Ijo, kamu kan sahabatnya.
Ken Taki : giliran kebo dikasih aku, kalo pejabat aja diembat sendiri. (sambil berlalu)

BABAK VI
Taman Boboji,Tunggul Ametung sedang ada di Pangjalu, Ra Bumi mengajari Ken Dedes naik kuda. Pada saat turun dari kuda, Kain Ken Dedes tersingkap sehingga Ra Bumi sempat melihat daerah kewanitaan Ken Dedes yang bercahaya.

Ken Arok (Ra Bumi) menemui Empu Lohgawe, menanyakan makna cahaya dari kemaluan Ken Dedes.
Mpu Lohgawe : Kamu lepas dari ibumu sejak kecil. Kamu butuh kasih seorang ibu. Itu tersimpan di alam bawah sadar. Ketika kamu bertemu sama wanita yang punya sifat keibuan, lembut, cantik, dan perangainya halus. Kamu pasti jatuh cinta. Itu adalah untuk memenuhi kehausan kasih ibu.
Ken Arok : Apa jeleknya?
Mpu Lohgawe : Tidak ada jeleknya. Cuma jangan dijadikan istri. Biarkan seperti ini. Jadilah pemuja rahasia saja. Kamu pengawal kabupaten sehingga bisa setiap hari melihatnya. Tak perlu memilikinya.
Ken Arok : Aku minta 2 alasan.
Mpu Lohgawe : Ada sepuluh malah. Tapi oke, akan aku sebut dua.
Ken Arok : Satu
Mpu Lohgawe : Satu. Dia sudah punya suami.
Ken Atok : Dua
Mpu Lohgawe : Dua dia sedang hamil
Ken Arok : Tiga
Mpu Lohgawe : Kamu cuma minta dua.
Ken Arok : Kamu bilang ada sepuluh, tiga.
Mpu Lohgawe : Tiga agak panjang. Cintamu padanya adalah kehausan akan kasoh sayang seorang ibu. Sementara sejak kecil kau hidup tanpa ibu. Maka ada kemungkinan kamu menyalahkan ibumu atas ketidakhadirannya dalam hidupmu. Alam bawah sadarmu membenci kata “ibu”. Kembali ke depan cintamu pada Ken dedes adalah kehausan akan ibu. Jadi kamu bisa menjadi seperti schizoprenia. Separuh dirimu mencintainya, separuh dirimu ingin membalas dendam padanya.
Ken Arok ; Dendam atas apa?
Mpu Lohgawe : Atas ketidakhadiran ibumu dalam hidup masa kecilmu. Understand?
Ken Arok : (tersenyum nyengir karena tak bisa mengerti) ah.. mbuuh…
Hiiii…,hii.. (gemes sambil mengucek-ucek rambutnya).
Mpu Lohgawe : Rok, sebenarnya apa angan-anganmu.
Ken Arok : Nggak tahu
Mpu Lohgawe : Yang kamu tahu saja.
Ken Arok : Aku ingin jadi raja. Suatu hari harus jadi.
Mpu Lohgawe : Prabu Kertajaya di Pangjalu, sudah…
Ken Arok : Stop. Belum selesai…
Mpu Lohgawe : Apanya?
Ken Arok : Curhatnya.
Mpu Lohgawe : oo yaah… tapi ini kopinya habis, sana bikin lagi.
Ken Arok : Ngakalin! Aku terus. Pingsut.
Ken Arok kalah Pingsut, dia masuk mengejok kopi. Dari dalam ia melanjutkan curhatnya.
Ken ARok : Kemaren aku melihat sesuatu yang aneh Pak Dhe Empu.
Mpu Lohgawe : Di mana
Ken Arok : Di taman Baboji.
Mpu Lohgawe : Keanehan apa?
Ken Arok : Waktu aku ngajarin Ken Dedes naik kuda keliling taman. (muncul lagi) lalu selesai dan aku turun duluan untuk membantu ken Dedes turun dari kuda. Waktu itu, dia mengangkat kakinya dan aku melihat…
Mpu Lohgawe : Ahh… Ndesoo..!!
Ken Arok : Sebentar Pak Dhe…
Mpu Lohgawe : Kamu lihat kulitnya to?
Ken ARok : Iya
Mpu Lohgawe : Lihat pahanya to?
Ken Arok : Iya
Mpu LOhgawe : Lihat kemaluannya to?
Ken Arok : Iya
Mpu LOhgawe : Trus kamu terangsang to?
Ken Arok : Iya
Mpu Lohgawe : Lha iya itu namanya Mental Ndesso!
Ken Arok : Sebentar pak dhe. Waktu itu..
Mpu Lohgawe : Ra mutu! Kesatria itu ya nggak plotat plotot cari kesempatan nglaba kaya gitu Rok, Rok.
Ken Arok : Anunya itu bersinar Dhe….
Mpu Lohgawe terkejut.
Mpu Lohgawe : Apanya?
Ken Arok : Kemaluannya bersinar. Sumpah! Aku sampe silau. Dhe…
Mpu Lohgawe : (mendadak duduk dan menerawang jauh)
Apa kamu yakin?
Ken Arok : Sumpah! Itu beneran dhe.
Mpu Lohgawe : (mengambil sebuah kitab tebal) Di sini disebutkan. Akan ada seorang putri desa yang dianugrahi wahyu. Ia akan menurunkan raja-raja di nusantara. Tanda-tanda wanita itu adalah kewanitaannya bercahaya.

BABAK VII

Rumah Mr. Gardner. Seorang pendatang yang ahli membuat senjata Api. Ken Arok mengambil pistol yang sudah dipesannya.
Mr gardner : Silahkan duduk Ra Bumi
Ken Arok : Bagaimana Mister. Apakah pistol pesananku sudah jadi.
Mr. Gardner : Bukankah sudah aku jelaskan. Aku tidak mau sembarangan mempercepat pengerjaan dengan taruhan kualitas. Di nota kan juga sudah ada tanggal jadinya. 5 tahun setelah pemesanan. Sekarang baru 5 bulan. Goblok!
Ken Arok : Lho! Mister!, Ini gimana sih?
Mr. Gardner : Gimana apanya?
Ken Arok : Aku juga sudah bilang. Aku ga peduli sama bentuk atau ukirannya. Ga perlu dikrom. Warna juga ga pengaruh. Yang pentiing jangkauan dan kecepatan tembak. Itu saja. Aduuhh.. ! sekarang sampai mana
Mr. Gardner : (memperlihatkan).
Ken Arok : Aduhh… Ya sudah. Ini aku ambil sekarang.
Mr. Gardner : Coba dulu.
Ken Arok : Tentu saja. Dan kepalamu yang akan dibuat percobaan.
Mr. gardner : Ra Bumi… Apa-apaan ini?.
Ken Arok : Ini teguran untuk maen-maen sama Ra Bumi !!
Kamu pikir kamu siapa Ha! Jagoan?! Ya? Bisa bikin pistol trus sembarangan sama orang?!
Mr. Gardner : Pistol itu belum punya karakter. Kalo kau nekat membawanya. Dia akan mendorongmu menjadi rakus…
Ken Arok : Hhahaha.. ada pistol bisa bikin aku rakus… oo jadi dia ini cacing perut, atau obat perangsang?
Mr. gardner : Terserah apa katamu. Pistol itu…
(ken Arok keburu menembaknya. Bahunya tertembus)
Mr. Gardner : Ra Bumi! Dengar anak muda brengsek! Aku bersumpah.
Siapa menabur perbuatan, akan menabur kebiasaan
Menabur kebiasaan, akan menuai karakter
Menabur karakter menuai nasib
Ken Arok : Hua..ha..ha.. Tukang pistol seperti kamu, paham kata-kata itu? Jadi kamu penganut 7 habbit of higly effective people. Terimakasih telah mengingatkan aku. Aku harus menjadi efektif people. Huh.. (ken Arok menembak kepala Gardner)
Mr. Gardner : (bangkit lagi setelah terjatuh) Baiklah.. kau sendiri yang memanggil nasib buruk. Kelak kau akan mati oleh pistol itu. Dan 7 raja akan mengalaminya (gardner mati)

BABAK VIII
Ra Bumi sedang menimang-nimang pistol barunya ketika berjaga di Taman Istana. Kebo Ijo datang.
Kebo Ijo : Wah… barang antik.
Ken Arok : yah.. dari suku Indian.
Kebo Ijo : Ada berapa?
Kern Arok : Satu
Kebo Ijo : Wah.. aku punya kenalan kolektor barang antik. Pasti dibeli mahal.
Ken Arok : (merebut dengan cepat). Nggak dijual.
Kebo Ijo : Buat apa? Mau ikutan jadi kolektor? Buat nembak juga udah ngga bisa.
Ken Arok : (menembakkan ke udara, suaranya menggelegar)
Kebo Ijo : Wow..woo,..woo.. masih jalan. Woooo… great old pistol.
Ken Arok : Kalo kamu suka. Pake aja.
Kebo Ijo : Ha? Buat aku?
Ken Arok : Cuman titip. Itu tetap pistolku, tapi kalo kamu suka. Pake aja dulu. Kapan-kapan aku ambil kalo aku butuh.

(ken Dedes datang)
Ken Dedes : Ada apa?
Ken Arok : Tidak ada apa-apa. Emangnya ada apa?
Ken Dedes : Aku sih ngga ada apa-apa. Makanya aku yang nanya? Di sini ada apa?
Kebo Ijo : Tidak ada apa-apa di sini, apa di sana ada apa-apa?
Ken Dedes : Di sana nggak ada apa-apa juga. Aku ke sini karena kupikir di sini yang ada apa.
Ken Arok : Di sini juga nggak ada apa-apa.
Ken Dedes : Aku denger suara ledakan
Kebo Ijo : ooo… Kami sedang…
Ken Arok : Latihan tembak.
Ken Dedes : Latihan tembak?
Ken Arok : Setahun lebih tak pernah ada huru-hara. Itu berarti setahun lebih kami tidak pernah menembak. Jadi kalo kami nggak sering latihan, bisa-bisa kami lupa cara menembak.
Kebo Ijo : O ya Boss Putri, Kenapa Boss Tunggul Ametung belum juga pulang Boss putri?
Ken Taki : Kan masih ada aku. Jangan khawatir Bo. Kamu tetap akan mendapat perintah setiap hari.
Ken Dedes : Mungkin Kanda Tunggul Ametung banyak urusan. Dia mampir ke kabupaten lain juga mungkin.
Ken Arok : Kami jadi kasihan. Mbak Dedes pasti kesepian.
Ken Dedes : Ah.. istri pejabat harus siap seperti ini. Ehh.. boleh aku minta diajarin menembak.
Kebo ijo : Boleh
Ken Arok : Maaf.. lebih baik jangan.
Ken Dedes : (dengan senyum penuh charisma) Maaf, kamu bekerja untuk suamiku. Jadi lebih baik menurut. Atau kamu bosan dengan pekerjaanmu?
Ken Arok : Ya… Nggak. Ya.. baiklah.
Ken Dedes tersenyum. Dia mulai memegang pistol dan Ken Arok Ken Arok memberi petunjuk. Pelan-pelan Ken Taki dan Kebo Ijo keluar. Ken Dedes dan ken Arok terlihat sangat mesra.

BABAK IX

Ken Dedes berhadapan dengan Ken Arok.
Ken Dedes : Kamu hebat, ganteng, energik. Gadis-gadis pasti tertarik.
Ken Arok : O ya? Apa mbak juga?
Ken Dedes : Heh! Jangan kurang ajar kamu! Aku hanya berusaha akrab sama anak buah suamiku. Itu saja. Menganggap kalian bukan semata-angka-angka jumlah tenaga kerja, tetapi sebagai manusia.
Ken Arok : Kalo saja semua cewek seperti mbak Ken Dedes. Aku sudah bersumpah, Kelak, aku nggak akan menikah kalo nggak ketemu cewek seperti mbak.
Ken Dedes : (tersenyum), Entah kenapa, aku memang suka mengamati kamu. Ketika begini pun, aku merasa seperti sudah mengenal kamu sejak lama.
Ken Arok : (menerawang) barangkali memang begitu.
Ken Dedes : Maksudnya?
Ken Arok : (mengeluarkan kalung pemberian Mpu Purwa) yang sudah kamu kenal sejak lama adalah ini.
Ken Dedes : Ya ampun, ini..? ini kalung…
Ken Arok : Ya. Itu kalung ibumu kan?
Ken Dedes : (menangis) Tapi Buat apa? Tanpa kamu jelaskan seperti inipun aku sudah tahu, bahwa kalian pasti membunuh bapakku waktu itu. Aku pikir Tunggul Ametung yang membunuh. Tapi apa bedanya? Meski kamu yang membunuh toh juga atas satu sumber perintah. Tapi buat apa kamu pamerkan kalung ini?
Ken Arok : Dedes! Kalo aku yang membunuh bapakmu, buat apa aku simpan kalung ini? Apa kamu nggak berpikir bapakmu akan menitipkan kalung ini pada seseorang?
Ken Dedes : (berpikir) maksudnya… bapakku…, ya ampun!, ken… Arok? Apa kamu?,…
Ken Arok : Ya.. ya.. . Aku Ken Arok.
Ken Dedes : Nggak mungkin, gimana bisa?
Ken Arok : Tunggul Ametung juga memburu Ken Arok kan? Tapi prajuritnya tak pernah ada yang bisa melawan aku, hanya Tunggul Ametung yang sanggup.
Mpu Purwa menyuruhku mengejarmu supaya bisa tetap mengawasimu. Lalu aku melamar menjadi pengawal keraton ini. Aku mengecat rambutku jadi hitam. Aku ganti namaku menjadi Ra Bumi.
Ken Dedes : Terima kasih, kamu memenuhi perintah bapakku. Tapi… lalu mau apa sesudah mengawasiku. Aku bahagia kok di sini. Tunggul Ametung tidak pernah sekejam ketika dia menyeretku dari rumah.
Ken Arok : Des… Aku… masih Ken Arok yang dulu.
Ken Dedes : Yang mana? Yang jualan kuda? Yang Playboy?
Ken Arok : Aku bukan Playboy!
Ken Dedes : Trus apa?
Ken Arok : Biasa aja. Mereka cewek-cewek itu aja yang gatelan. Aku sama sekali nggak bermaksud mendekati mereka dan aku juga nggak pernah memanfaatkan mereka!.
Mereka terdiam.
Ken Arok : Aku masih Arok yang dulu. Arok yang memimpikan hidup bersamamu…
PLAK! Ken Dedes menampar muka Ken Arok.
Ken Dedes : Sopan! Kamu pikir kamu bakal jadi pria sempurna dengan begini? Iya?. Dengerin! Aku tidak termasuk cewek-cewek gatel itu.
Ken Arok : Kenapa? Aku cuma menyampaikan amanat bapakmu untuk memberikan kalung itu. Dan sekarang aku cuma menyampaikan isi hatiku apa salahnya?
Ken Dedes : Kamu pikir kamu jadi pria sempurna dengan cara seperti itu. Menyampaikan isi hati yang sudah kadaluarsa. Yang sudah berlalu giliranya. Arok, kamu cuma menyakiti diri sendiri dengan ngomong kaya gitu sekarang. Aku sudah bersuami, punya bayi, hidup mapan dan terhormat. Apa lagi? Aku nggak mau menghianati suamiku, menodai perkawinan suci hanya karena tergiur tampang macho. Tunggul Ametung juga macho. Ia juga ganteng, dia juga gagah dan cerdas karena kalo nggak kaya gitu dia nggak bakalan jadi Bupati. See?
Ken Arok : Aku ngga pernah bisa menghilangkan angan-angan hidup sama kamu Des.
PLAK! Ken Dedes menampar lagi.
Ken Dedes : Apa harus dua kali? Atau tiga kali?

BABAK X

Di taman, Ken Taki sedang menghibur Ken Dedes yang murung. Nampaknya mereka sedang membicarakan perihal lamaran Ra Bumi.
Ken Taki : Mbok sudah, mau saja. Wong dulu juga situ cinta to?
Ken Dedes : Sekarang lain Taki. cinta itu wajahnya buram seiring bertambahnya umur.
Ken Taki : Wajah cinta itu nggak berubah Jeng. Yang berubah itu cara kita memandangnya. Buktinya, dari dulu sampe sekarang yang namanya istilah “bercinta” itu ya tetap sama saja. Dalam bahasa Inggris, Making Love itu ya gitu, pengertiannya tetap sama.
Ken Dedes : Aku sudah pernah bersuami, punya anak. Ada hal yag lebih dari sekedar cinta yang kualami.
Ken Taki : Apa itu?
Ken dedes : Kasih sayang, pengertian, kesepahaman, pengabdian.
Ken Taki : Apa Ra Bumi nggak bisa memberi itu.
Ken Dedes : Tunggul Ametung mambawaku dengan paksa, bisa dikatakan itu pemerkosaan, tapi toh dengan penerimaan pada nasib. Aku bisa membaliknya menjadi pengabdian. Dia suamiku, dan selagi dia menjagaku setelah perkawinan, aku juga akan memberikan diriku.
Ken Taki : Yup! Itu berarti Ra Bumi juga bisa gitu.
Ken Dedes : Belum tentu. Tunggul Ametung jelas-jelas memburu kekuasaan. Ia ingin membunuh ayahku demi memperkuat pengaruhnya di Tumapel. Hasilnya, ia memperlakukanku sebagaimana halnya istri yang paling dia banggakan. Tetapi Ra Bumi, ia membunuh Tunggul Ametung hanya karena ingin merebutku. Jangan-jangan berakhir sebaliknya. Kalo nyawa menjadi murah di mata politik kekuasaan, itu biasa. Tetapi kalo nyawa menjadi murah di mata cinta dan nafsu?
Ken Arok : Apa sedemikian kotor hatiku Des? (ken arok datang tiba-tiba)
Ken Dedes : Untuk apa kesini?
Ken Taki : (berbisik kepada Ra Bumi) Waduh, semprul! Aku kan lagi mengorek keterangan dan mendesaknya dengan lembut, kamu malah ke sini. Dasar pengacau.
Ken Arok : (Berteriak) Biar saja kacau. Sekarang memang semua sudah kacau. Aku membunuh karena bisikan nafsu untuk memiliki Ken Dedes. (kepada Ken Dedes) Aku pertaruhkan semua, demi kebahagian kita. Tapi sekarang… apa ada yang bisa menjawab pertanyaanku?. Untuk apa aku di sini sekarang?. Junjungan tempat aku mengabdi sudah mati. Siapa yang harus kubela?, siapa yang harus kujaga? Lebih baik aku pergi dari sini.
Ken Dedes : Jika kepergianmu tulus, lebih baik begitu.
Ken Arok : (setelah melangkah berhenti lagi melanjutkan bicara dengan nada seperti putus asa) Tapi pergipun percuma, aku masih akan terus dibayangi penyesalan. Pembunuhan yang sia-sia. Cinta yang menipu.
Ken Dedes : Cinta tak pernah menipu. Kamu yang tertipu oleh cinta.
Ken Arok : Daripada pergi dengan penyesalan, lebih baik aku mengaku saja. Temani aku ke alun-alun besok pagi. Aku akan mengumumkan pengakuan. Bahwa aku yang membunuh Tunggul Ametung. Dan aku harus dirajam sampe mati. Malam ini aku akan menemui satu persatu orang yang pernah aku rugikan. Aku harus minta maaf sebelum aku mati besok pagi. PermISI

BABAK XI

Ken Arok bercengkerama dengan Ken dedes di dalam kamar pribadi raja. Tiba-tiba Anusapati masuk mendobrak pintu.

Ken dedes : Anusapati. Kau lancang! Berani masuk kamar ayahmu tanpa permisi!
Anusapati : Dia bukan ayahku
Ken Arok : Anusapati! bicara apa kamu?
Anusapati : Ayahku Tunggul Ametung. Dan kau pembunuhnya,
Ken Dedes : Anusapati!
Ken Arok : Anusapati, siapa yang meberimu berita busuk itu? Ken Dedes! Apa yang sudah kamu katakan? (Ken Arok Mencengkeram leher Ken Dedes)
Ken Dedes : Aku nggak tahan Arok. Dia terus mendesak. Dia anakku, anak Tunggul Ametung, dia berhak mendengar kenyataan keluarganya.
Ken Arok : Bangsat! (menampar Ken dedes)
Anusapati : Kukembalikan peluru dari mayat ayahku. Ken Arok, Sang Amurwabhumi, Legenda yang menjijikkan.
Ken Arok tewas tertembak. Anusapati duduk di singgasana. Toh joyo masuk.
Anusapati : Bukan hakmu duduk di situ. Itu warisan Ken Arok, sang amurwabhumi, ayah kandungku. Pergilah!
Ken dedes : Toh joyo, dia saudaramu…
Anusapati tertembak dengan pistol yang sama.
Anusapati tewas. Toh Joyo Duduk di singgasana
Rangga wuni dan Mahesa Cempaka masuk.
Toh Jaya : Ranggawuni, mahesa cempaka. Kenapa datang tanpa aku mengundangmu. Ada apa?
Ranggawuni : Ada sesuatu yang harus diluruskan baginda.
Mahesa Cempaka : Sesuatu yang telah membuat negara ini melenceng.
Toh jaya ; Apa itu? Bagaimana bisa melenceng?
Ranggawuni : Karena susutu telah duduk di tempat yang bukan seharusnya.
Mahesa Cempaka : Dan itu adalah kamu paman. Maafkan kami. Ini semua demi negara
Mahesa Cempaka membunuh Toh Jaya.
Ken dedes menjerit dalam tangis yang tak pernah berhenti. Lalu merebut Pistol itu dan menembak kepalanya sendiri.
Ken Dedes : Semoga kalian tidak berebut di alam kubur.

KISAH LORO JONGGRANG

Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tentram dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso. Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya.

Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita sedang berjalan seorang diri di hutan. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.

Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang yang berada didalam istananya. “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”. Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan.

Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso. “Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah.

Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bisa membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!” Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing.

Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah. Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.

Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin. Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”.

Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut Candi Loro Jonggrang.

Sumber : http://alkisah.ateonsoft.com/2008/12/kisah-loro-jonggrang.html

Naskah Drama :
Kisah Loro Jongrang

Babak 1
Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tentram dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso. Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam.
Bandung Bondowoso : “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!” (ia berkata pada rakyatnya).

Babak 2
Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang sedang berjalan seorang diri di hutan, ia adalah putri Raja Prambanan yang cantik jelita.
Bandung Bondowoso : “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku.Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang.

Babak 3
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang yang berada didalam istananya.
Bandung Bondowoso : “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?”
Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso.
Loro Jongrang : “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya.” (ia bergumam dalam hati).
Loro Jongrang : “Apa yang harus aku lakukan ?”(Loro Jonggrang menjadi kebingungan).
Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan.
Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso : “Bagaimana, Loro Jonggrang ?”
Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide.
Loro Jongrang : “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya.
Bandung Bondowoso : “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”.

Babak 4
Loro Jongrang ingin dibuatkan 1000 candi di halaman belakang rumahnya.
Loro Jongrang : “Bukan itu. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah .”
Bandung Bondowoso : “Seribu buah?”(ia terkejut).
Loro Jongrang : “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.”
Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah.
Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi.

Babak 5
Setelah sampai di istananya, Bandung Bondowoso akhirnya bertanya kepada penasehatnya.
Penasihat Bandung Bondowoso : “Saya percaya tuanku bisa membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”
Bandung Bondowoso: “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”

Babak 6
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu yang berada di tengah-tengah istananya, kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar.
Bandung Bondowoso : “Pasukan jin, Bantulah aku!” (teriaknya dengan suara menggelegar). Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso
Pemimpin Jin : “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”
Bandung Bondowoso : “Bantu aku membangun seribu candi.”

Babak 7
Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing di halaman belakang istana Loro Jongrang. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah. Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin.
Loro Jongrang : “Wah, bagaimana ini?”
Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami.
Loro Jongrang : “Cepat bakar semua jerami itu!”
Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing. Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing.
Pemimpin Jin : “Wah, matahari akan terbit!, Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari.”
Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin. Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi.
Bandung Bondowoso : “Candi yang kau minta sudah berdiri!”.
Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!.
Loro Jongrang : “Jumlahnya kurang satu!, Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”.
Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu.
Bandung Bondowoso : “Tidak mungkin…,Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!” Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut Candi Loro Jonggrang.

NASKAH DRAMA

TELAGA WARNA

Babak 1
Narator : Dahulu kala, terdapat sebuah kerajaan yang sangat tentram dan makmur di Jawa Barat. Kerajaan itu di pimpin oleh seorang raja yang baik dan bijaksana. Tak heran, kalau negeri itu makmur dan tenteram. Tak ada penduduk yang lapar di negeri itu. Raja itu dipanggil Raja Prabu. Tetapi keluarga kerajaan itu tidak memiliki seorang anakpun. Penasehat Prabu menyarankan agar raja dan ratu untuk mengangkat seorang anak.
Panasehat : “ Yang mulia, hamba sarankan agar Yang Mulia mengangkat seorang anak saja.”
Raja Prabu : “ Tidak! Bagi kami anak kandung adalah lebih baik daripada anak angkat.”

Babak 2
Narator : Sang Ratu sering murung dan menangis di balkon istana. Sang Rajapun ikut sedih melihat istrinya menangis.
Raja Prabu : “ Sudahlah bu kita akan memiliki seorang anak kelak nanti.”
Ratu : “ Ya tentu saja Tuanku.”

Babak 3
Narator :Sehingga, suatu hari Raja Prabu hendak pergi ke hutan untuk berdoa agar dikaruniai seorang anak.
Raja Prabu : “ Aku akan pergi ke hutan untuk berdoa.”
Ratu : “ Baiklah. Hati- hati di hutan tuanku. ”

Babak 4
Narator : Setelah beberapa bulan kemudia semenjak Raja Prabu berdoa di hutan, permohonan sang Rajapun terkabul, Sang Ratu mulai hamil.
Ratu : “ Prabu, aku hamil…” (dengan wajah yang berseri- seri).
Raja Prabu : “ Benarkah itu???” ( dengan nada yang sedikit tak percaya).
Ratu : “ Ya benar.. Saya sudah ke tabib istana dan tabib mengatakan bahwa saya hamil.”
Raja : “ Benarkah?? Ini akan menjai kabar yang paling indah di kerajaan kita.”

Babak 5
Narator: Setelah 9 bulan lamanya Ratu mengandung, Ratupun melahirkan seorang Putri yang sangat cantik Putri itu diberi nama Nirwarna. Pndudukpun banyak mengiriminya mainan untung sang putrid.
Ratu : “ Lihatlah anak kita dia sangat lucu dan cantik, saya berharap agar dia tumbuh menjadi seorang putri yang cantik dan baik hati seperti wajahnya.”
Raja Prabu : “ Ya.. Saya yakin putri kita akan tumbuh menjadi putri yang sangat cantik dan baik hati.”

Babak 6
Narator : Kasih saying Raja dan Ratu yang selalu memberikan apapun yang diingini oleh Sang putri telah membuat anak itu tumbuh menjadi seorang Putri yang sangat manja. Bila keinginan sang Putri tak dikabulkan maka ia akan marah dan tak jarang dia berkata kasar kepada orang tuanya. Tetapi masyarakat dan orang tuanya masih tetap mencintainya.
Purti : “Bunda aku mau seekor kuda!!”
Ratu : “ Kita sudah memiliki banyak kuda di peternakan sayang.”
Putri : “ Tidak aku tidak mau yang ada di peternak! Aku mau kuda berwarna putih dengan bulu yang indah.”
Ratu : “ Kau sudah memilki 54 kuda. Bermainlah dengan kudamu yang sudah ada sayang.”
Putri : “ tidak aku tidak mau, dasar kau orang tua pelit.”
Ratu : “ Ahhh… Sayang apa yang kau katakan.”
Putri : “ Huh, dasar orang tua yang tak berguna.”

Babak 7
Narator : Putripun meningggalkan ibunya yang menangis sambil terduduk setelah melihat perilaku anaknya itu. Tak terasa sudah 17 tahun umur sang putri, dia tumbuh menjadi seorang putri yang paling cantik di negeri itu. Seluruh rakyat pergi ke istana untuk memberikan hadiah kepada sang putri. Hadiah itu begitu banyak dan dikumpulakan di dalam istana. Sang raja mengambil sdikit emas dan permata dan pergi ke tempa ahli perhiasan untuk di buatnya menjadi kalung.
Sesampainya di tempat ahli perhiasan.
Raja : “ Pak, bisakah anda membuat sebuah kalung yang paling indah untuk puriku yang tercinta.”
Ahli perhiasan : “ Tentu saja tuanka, dengan senang hati hamba akan melakukannya, silakan Tuanku menunggu sebentar kalung pesanan Tuan akan segera hamba buat.”
Raja : “ Terima kasih banyak.”
Ahli perhiasan : “ Sama- sama Tuanku.”
Narator : Setelah beberapa saat menunggu akhirnya kalung itu selesai dibuat kalung itu sangat indah.
Raja : “ Wah. Ini adalah kalung terindah yang pernah saya lihat, kau membuatnya dengan sangat baik.”
Ahli perhiasan : “ Terima kasih Tuanku, untuk sang putrid hamba akan melakukan yang terbaik.”

Babak8
Narator : Setelah itu Raja kembali ke dalam istana dan menyimpannya untuk diberikan kalung yang sangat indah itu kepada putri tercintanya saat dia ulan tahun esok. Keesokkan harinya, hari ulang tahun sang putripun tiba. Raja Prabu segera mengambil kalung yang sangat inah itu, dan segera memberikannya kepada anaknya.
Raja Prabu : “ Anakku Putri Nirwarna, hari ini adalah hari ulang tahunmu yang ke-17.”
Putri : “ Ya ayah.., aku mengharapkan hadiah yang paling indah pada ulang tahunku yang ke-17 ini.”
Ratu : “ Selamat ulang tahun anakku.”
Putri : “ Ya bunda…”
Raja Prabu : “Anakku, ayah sudah mempersiapkan sebua hadiah yang paling indah, ini dia kalung permata yang paling indah di seluruh dunia hanya untuk putri tercintaku.”

Babak 9
Narator : Raja Prabu segera memberikan kalung itu kepada putrinya, tetapi Putri terlihat tidak menyukai kalung tersebut.
Putri : “ hemm. Kalung apa ini ayah. Kalung ini sangat jelek aku tidak mau mengenakannya di leherku yang cantik ini, kalung itu hanya akan membuat leherku ini menjadi gatal saja nantinya!”

Babak 10
Narator : Tidak ada satu orangpun yang menyangka Sang putri akan mengatakan hal tersebut, semuanya terdiam tak ada satupun yang berbicara, tiba- tiba terdengar isak tangis sang Ratu yang kemudaian diikuti oleh tangisan semua orang.
Ratu : “ hu hu hu hu, ada apa denganmu nak?”
Putri ; “ aku takkan mengenakan kalung itu!”
Narator : Sang putri segera membuang kalung itu ke halaman istana, kalung tersebut menjadi rusak dan permatanya tersebar ke seluruh halaman istana.
Putri : “ Huh dasar kalung jelek.”

Babak 11
Narator : Tiba- tiba sebuah mata air muncul dari halaman istana, percikan airnya membuat sebuah genangan air di halaman istana. Semua orang sangat ketakutan dan menyalahkan hal tersebut kepada sang putri.
Rakyat : “ Apa yang telah kau lakukan Putri jahat! Kau telah membayakan smua rakyatmu lihatlah ulahmu!”
Narator : Sang putri sangat ketakutan dia menyesal atas semua perbuatan jahatnya. Tapi genangan itu telah menjadi sebuah danau yang sangat besar dan menenggelamkan seluruh istana.
Oleh rakyat sekitar, danau itu disebut sebagai “ Telaga Warna”. Danau itu berada di daerah puncak. Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga.

Legenda Pulau Kapal

Dahulu, ada sebuah keluarga miskin bertempat tinggal di dekat sungai Cerucuk. Kehidupan keluarga tersebut sangatlah miskin. Mereka hidup dari mencari dedaunan maupun buah-buahan yang dalam hutan. Hasil pencahariannya dijual di pasar.

Keluarga tersebut mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Kulup. Si Kulup senang membantu orang tuanya mencari nafkah. Mereka saling membantu. Meskipun mereka hidup berkekurangan namun tidak pernah merasa menderita.

Suatu ketika, ayah Si Kulup pergi ke hutan untuk mencari rebung yang masih muda. Rebung itu dijadikan sayur untuk makan bertiga. Saat menebang rebung, terlihatlah oleh ayahnya Si Kulup sebatang tongkat yang berada pada rumpun bambu. Pak Kulup demikian orang menyebut ayah Si Kulup mengamati tongkat tersebut. Semula tongkat itu akan dibuang, tetapi setelah diperhatikan betul tongkat tersebut bertabur dengan intan permata, dan merah delima. Akhirnya tongkat itu diambilnya.

Pak Kulup berucap dalam hati karena gembiranya: “Ini pertanda baik! Apakah ini tongkat Nabi Sulaiman atau harta karun? Aduhai… Saya jadi kaya mendadak sekarang ini.”

Rebung tidak jadi dibawa pulang. Pak Kulup dengan perasaan was-was, takut membawa tongkat pulang ke rumah. Sesampai di rumah, didapatinya Si Kulup sedang tiduran sedang istrinya berada di rumah tetangga.

Si Kulup disuruh memanggil ibunya, tapi pemuda itu tidak mau. Ia baru saja pulang mendorong kereta. Badannya masih terasa lelah. Ia tidak tahu bahwa ayahnya membawa tongkat yang bertabur intan permata.

Pak Kulup pergi menyusul istrinya yang sedang bertandang di rumah tetangga. Pak Kulup dan Mak Kulup terlihat asyik bercerita menuju rumahnya. Sampai di rumah, mereka bertiga berunding tentang tongkat yang ditemukan tadi siang.

Pak Kulup mengusulkan supaya tongkat itu disimpan saja. Mungkin nanti ada yang mencarinya. Mak Kulup menjawab: “Mau disimpan di mana. Kita tidak punya lemari.” Kemudian Si Kulup pun usul: “Lebih baik dijual saja, supaya kita tidak repot menyimpannya.”

Akhirnya mereka bertiga bersepakat untuk menjual tongkat temuannya. Si Kulup ditugasi untuk menjual tongkat tersebut ke negeri lain. Si Kulup pergi meninggalkan desanya. Tidak lama kemudian tongkat itupun telah terjual dengan harga yang sangat mahal.

Setelah Si Kulup menjadi kaya, ia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya. Ia tetap tinggal di rantauan. Karena ia selalu berkawan dengan anak-anak saudagar paling kaya di negeri tersebut.

Si Kulup sudah beristri. Mereka hidup serba berlebihan. Si Kulup sudah lupa akan kedua orang tuanya yang menyuruh menjual tongkat.

Setelah bertahun-tahun mereka hidup dirantau, oleh mertuanya si Kulup disuruh berdagang ke negeri lain bersama istrinya. Si Kulup lalu membeli sebuah kapal besar. Ia juga menyiapkan anak buahnya yang diajak serta berlayar. Mereka berdua minta doa restu kepada orang tuanya agar selamat dalam perjalanan dan berhasil mengembangkan dagangannya.

Mulailah mereka berlayar meninggalkan daerah perantauannya. Saat itu Si Kulup teringat kembali akan kampung halamannya. Ketika sampai di muara sungai Cerucuk mereka berlabuh. Suasana kapal sangat ramai karena suara dari binatang perbekalannya, seperti ayam, itik, angsa, burung.

Kedatangan Si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya. Sangatlah rindu kedua orang tuanya, terlebih-lebih emaknya. Emaknya menyiapkan makanan kesukaan si Kulup. Kedua orang tuanya datang di kapal sambil membawa makanan kesukaan anaknya.

Sesampainya di kapal kedua orang tua itu mencari anaknya Si Kulup. Si Kulup sudah menjadi saudagar kaya melihat kedua orang tuanya merasa malu, maka diusirnyalah kedua orang tuanya. Buah tangan yang dibawa oleh emaknya pun dibuang. Saudagar kaya itu marah sambil berucap “Pergi! Lekas pergi. Aku tidak punya orang tua seperti kalian. Jangan kotori tempatku ini. Tidak tahu malu, mengaku diriku sebagai anakmu. Apa mungkin aku mempunyai orang tua miskin seperti kau. Enyahlah, engkau dari sini!”

Pak Kulup dan istrinya merasa terhina sekali. Mereka cepat-cepat meninggalkan kapal. Putuslah harapannya bertemu dan mendekap anak untuk melepas rindu. Yang mereka terima hanyalah umpatan caci maki dari anak kandungnya sendiri.

Setibanya di darat, emak Si Kulup tidak dapat menahan amarahnya. Ia benar-benar terpukul hatinya melihat peristiwa tadi. Ia berucap “Kalau saudagar itu benar-benar anakku Si Kulup dan kini tidak mau mengaku kami sebagai orang tuanya, mudah-mudahan kapal besar itu karam.”

Selesai berucap demikian itu, ayah dan emak Si Kulup pulang ke rumahnya dengan rasa kecewa. Tidak berapa lama terjadi suatu keanehan yang luar biasa, tiba-tiba gelombang laut sangat tinggi menerjang kapal saudagar kaya. Mula-mula kapal itu oleng ke kanan dan ke kiri, menimbulkan ketakutan yang luar biasa pada seluruh penumpangnya. Akhirnya kapal itu terbalik, semua penumpangnya tewas seketika.

Beberapa hari kemudian di tempat karamnya kapal besar itu, muncul sebuah pulau yang menyerupai kapal. Pada waktu-waktu tertentu terdengar suara binatang bawaan saudagar kaya. Maka hingga sekarang pulau itu dinamakan “Pulau Kapal”.

Naskah Drama

Legenda Pulau Kapal

Alkisah, ada sebuah keluarga miskin bertempat tinggal di dekat sungai Cerucuk. Kehidupan keluarga tersebut sangatlah miskin. Mereka hidup dari mencari dedaunan maupun buah-buahan yang ada di dalam hutan. Keluarga tersebut mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Kulup. Si Kulup senang membantu orang tuanya mencari nafkah.

Babak1
Suatu ketika, Ayah si kulup pergi ke hutan untuk mencari rebung yang masih muda untuk dijadikan sayur. Saat menebang rebung, terlihatlah oleh ayahnya Si Kulup sebatang tongkat yang berada pada rumpun bambu. Semula tongkat ini akan dibuang, tetapi setelah diperhatikan betul tongkat tersebut bertabur dengan intan permata, dan merah delima. Akhirnya tongkat itu ambilnya.

Pak Kulup : “Ini pertanda baik!Apakah ini tongkat Nabi Sulaiman atau harta karun?Aduhai…Saya jadi kaya mendadak sekarang ini.”(sambil berucap sendirian karena gembiranya)

Babak2
Pak Kulup dengan perasaan was-was, takut membawa tongkat pulang ke rumah. Sesampainya di rumah didapatinya Si Kulup sedang tiduran sedangkan istrinya berada di rumah tetangga.

Pak Kulup :”Kulup…Kulup…”
Si Kulup :”Ada apa,pak?”
Pak Kulup :”Ibu lagi kemana?”
Si kulup :”Di rumah tetangga,pak. Memang ada apa?”
Pak Kulup ;”Tidak ada apa-apa. Cepat kamu panggil Ibu kamu.”
Si Kulup :”Aku habis mendorong kereta. Badanku masih terasa lelah. Aku mau istirahat dulu,pak.”
Pak Kulup :”Baiklah, kamu istirahat saja. Bapak sendri yang akan memanggil Ibumu.”

Babak3
Pak Kulup pergi menyusul istrinya yang sedang bertandang di rumah tetangga.

Pak Kulup :”Istriku…Istriku…”
Mak Kulup :”Ada apa,pak?”
Pak Kulup :”Ada yang mau aku bicarakan. Ayo pulang ke rumah.”

Pak Kulup dan Mak Kulup terlihat asyik bercerita menuju rumahnya.

Mak Kulup :”Ada masalah apa,suamiku? sepertinya penting sekali.”
Pak Kulup :”Begini…Ketika aku mencari rebung tadi di hutan, aku menemukan sebatang tongkat yang bertabur intan permata dan merah delima. Tongkat ini semulanya aku akan buang tetapi setelah aku amati tongkat ini sangat berharga.”
Mak Kulup :”Wah…Benar sekali,suamiku,tongkat ini sangat berharga. Ayo cepat kita pulang ke rumah sebelum orang lain melihat tongkat ini.”

Babak4
Sampai di rumah, Pak Kulup, Mak Kulup dan Si kulup berunding tentang tongkat yang ditemukan tadi siang.

Pak Kulup :”Kulup…Kulup…”(teriakan kegembiraan)
Si Kulup :”Ada apa,pak?”(sambil berbicara pelan dan bangun dari istirahatnya.
Pak Kulup :”Begini…Ketika bapak mencari rebung tadi di hutan, bapak menemukan sebatang tongkat yang bertabur intan permata dan merah delima. Tongkat ini semulanya bapak akan buang tetapi setelah bapak amati tongkat ini sangat berharga. Apakah kita lebih baik menyimpan tongkat ini?”
Mak Kulup :”Mau disimpan dimana? Kita tidak punya lemari.”
Si Kulup :”Lebih baik dijual saja, supaya kita tidak repot menyimpannya.”
Pak Kulup :”Ide bagus…Kulup cepat bereskan barang-barangmu dan pergi ke negeri lain untuk menjual tongkat ini.”

Akhirnya mereka bertiga sepakat untuk menjual tongkat temuannya. Si Kulup ditugasi untuk menjual tongkat tersebut ke negeri lain. Si Kulup pergi meninggalkan desa dan tak lama kemudian tongkat itu terjual dengan harga yang sangat mahal.

Babak5
Setelah Si Kulup menjadi kaya, ia tidak pulang ke rumah orang tuanya. Ia tetap tinggal di rantaun dan berkawan dengan saudagar-saudagar kaya. Si kulup pun sudah beristri. Mereka hidup serba berlebihan. Setelah mereka bertahun-tahun hidup dirantau, oleh mertuanya Si Kulup disuruh berdagang ke negeri lain bersama istrinya.

Mertua Kulup :”Kulup, sini kamu!”
Si Kulup :”Ada apa,bu?”
Mertua Kulup :”Aku tugaskan kamu untuk berdagang ke negeri lain bersama istrimu untuk mengembangkan dagangan kita.”
Si Kulup :”Baiklah,bu. Aku akan mengikuti perintah Ibu dan aku akan menyiapkan sebuah kapal besar dan anak buah untuk diajak berlayar.

Babak6
Keesokan harinya, setelah Si Kulup dan istrinya sudah siap untuk berdagang.

Si Kulup :”Bu, kami pergi dulu. Kami meminta doa restu agar selamat dalam perjalanan dan berhasil mengembangkan dagangan.”
Mertua Kulup :”Baiklah kalau begitu. Ibu akan selalu berdoa untuk kalian. Berhati-hatilah.”

Babak7

Mulailah mereka berlayar meninggalkan daerah perantauannya. Saat itu Si Kulup teringat kembali akan kampung halamannya. Ketika sampai di muara sungai Cerucuk mereka berlabuh. Kedatangan Si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya.

Mak Kulup :”Pak, Si Kulup pulang.”
Pak Kulup :”Akhirnya dia pulang juga. Kirain dia sudah lupa dengan kita, orang tua kandungnya sendiri.”
Mak Kulup :”Sudahlah,pak. Jangan berpikiran seperti itu. Aku akan menyiapkan makanan kesukaan Si Kulup dulu.”

Kedua orang tuanya datang ke kapal sambil membawa makanan kesukaan anaknya. Sesampainya di kapal, kedua orang tua itu mencari anaknya Si Kulup. Si Kulup sudah menjadi saudagar kaya. Dia melihat kedua orang tuanya merasa malu, maka diusirnyalah kedua orang tuanya. Buah tangan yang dibawa oleh emaknya pun dibuang.

Si Kulup :” Pergi! Lekas pergi. Aku tidak punya orang tua seperti kalian. Jangan kotori tempatku ini. Tidak tahu malu, mengaku diriku sebagai anakmu. Apa mungkin aku mempunyai orang tua seperti kau. Enyalah, engkau dari sini!”
Pak Kulup :”Kurang ajar kamu. Anak tidak tahu diri.”
Si Kulup :”Pengawal…Cepat usir kedua gembel itu.”

Setibanya di darat, emak Si Kulup tidak dapat menahan amarahnya. Ia benar-benar terpukul hatinya melihat peristiwa tadi.

Mak Kulup :”Kalau saudagar itu benar-benar anakku Si Kulup dan kini tidak mau mengaku kami sebagai orang tuanya, mudah-mudahan kapal besar itu karam.
Pak Kulup :”Sudahlah istriku. Ia akan menerima karmanya sendiri atas perbuatan yang telah ia lakukan.

Selesai berucap demikian itu, ayah dan mak Si Kulup pulang ke rumahnya. Tidak berapa lama terjadi keanehan yang luar biasa, tiba-tiba gelombang laut sangat tinggi menerjang kapal saudagar kaya. Akhirnya, kapal itu terbalik, semua penumpangnya tewas seketika.
Beberapa hari kemudian di tempat karamnya kapal besar itu, muncul sebuah pulau yang menyerupai kapal. Maka hingga sekarang pulau itu dinamakan “Pulau Kapal”.

Bawang Merah & Bawang Putih

Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.

Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikahi saja ibu Bawang merah supaya Bawang putih tidak kesepian lagi. Maka ayah Bawang putih kemudian menikah dengan ibu Bawang merah. Mulanya ibu Bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada Bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.

Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.

Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwa salah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.

“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”

Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.”
“Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri tepi sungai.
Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.
Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba.
“Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.

Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.

Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.

Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.

Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.

Sumber :
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/bawang-merah-bawang-putih.html

Naskah Drama

Bawang Merah dan Bawang Putih

Babak 1 :

Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.

Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol.

Ibu Bawang Merah : ”Ini ada sedikit makanan. Dimakan, ya.”
Ayah : ”Oh, terima kasih. Baik sekali anda.”

Inilah awal pertemuan dari Ayah Bawang Putih dan Janda, Ibu dari Bawang Merah. Sejak saat itu mereka menjadi pasangan mengobrol yang sangat dekat.

Babak 2 :

Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikahi saja ibu Bawang merah supaya Bawang putih tidak kesepian lagi. Maka ayah Bawang putih kemudian menikah dengan ibu Bawang merah. Mulanya ibu Bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada Bawang putih. Tapi lama kelamaan sifat asli mereka muncul.
Mereka kerap memarahi Bawang Putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayahnya sedang berdagang.

Bawang Merah : ”Cepat bersihkan kamarku!” (dengan berteriak)
Ibu Bawang Merah : ”Setelah itu kuras bak mandi sana!”
Bawang Putih : ”Baik, Ibu.” (dengan tergesa-gesa)

Tentunya sang Ayah tidak mengetahuinya karena Bawang Putih diancam untuk tidak memberitahukan kepada ayahnya. Semakin lama mereka semakin terbiasa dengan semua hal itu dengan membebankan semua pekerjaan rumah kepada Bawang Putih dan mereka hanya duduk-duduk saja di dalam rumah dengan santai.

Babak 3 :

Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.

Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya.

Bawang Putih : ”Aku adalah anak gembala selalu riang………”

Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwa salah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.

Ibu Tiri : ”Dasar ceroboh. Pasti kau tadi sengaja, kan, membuang baju kesayanganku itu ke sungai. Pokoknya aku tidak mau tahu. Harus kau cari hingga dapat! Jangan pernah pulang bila kau belum mendapatkannya!” (sembari mengusir Bawang Putih dan menutup pintu dengan kerasnya)

Babak 4 :

Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibu tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya.

Bawang Putih : ”Paman. Boleh saya bertanya?”
Penggembala : ”Ada apa anakku?”
Bawang Putih : ”Apa paman melihat baju merah yang hanyut di sungai tadi? Aku harus membawanya pulang, karena kalau tidak aku tidak bisa pulang ke rumahku.”
Penggembala : ”Ya, tadi saya lihat, nak. Mungkin kau akan menemukannya apabila kau mengejarnya cepat-cepat, nak.”
Bawang Putih : ”Baiklah. Terima kasih, pak” (lalu berlari menyusuri pinggir sungai)

Babak 5 :

Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih melihat dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.

Bawang Putih : ”Permisi.” (sembari mengetuk pintu)
Nenek : ”Siapa kamu, nak? Ada apa?” (membuka pintu yang reot)
Bawang Putih : ”Saya Bawang Putih, Nek. Saya tadi mencari baju ibuku yang hanyut di sungai, tapi sekarang sudah malam. Bolehkah saya menginap di tempat Nenek ini?” (dengan muka kelelahan)
Nenek : ”Boleh, Nak. Apakah baju yang kamu cari tadi itu berwarna merah?”
Bawang Putih : ”Ya, Nek. Apa….. Emmm, apa Nenek menemukannya?” (kembali bersemangat dengan penuh harapan)
Nenek : ”Ya, tadi tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku sangat menyukai baju itu. Baiklah, aku akan mengembalikannya, tapi dengan satu syarat.”
Bawang Putih : ”Apa syaratnya, Nek?”
Nenek : ”Kamu harus menemaniku di sini selama seminggu. Sudah lama aku tidak punya teman untuk mengobrol.”
Bawang Putih : ”Emmm.” (berpikir sejenak dan melihat Nenek yang terlihat kesepian itu)
Nenek : ”Bagaimana, Nak?”
Bawang Putih : ”Baiklah, Nek. Asal Nenek tidak bosan denganku saja.” (tersenyum kecil)

Babak 6:

Selama seminggu ini Bawang Putih tinggal dengan Nenek itu. Selama seminggu itu pula Bawang Putih mengerjakan semua pekerjaan rumah Nenek itu. Tentu saja dia sangat senang. Hingga akhirnya genap seminggu sudah Bawang Putih tinggal bersama Nenek itu. Lalu Nenek itu memanggil Bawang Putih.

Nenek : ”Bawang Putih.”
Bawang Putih : ” Iya, Nek. Ada apa?”
Nenek : ”Hari ini sudah genap seminggu kau tinggal denganku dan kau sudah sangat rajin dan berbakti. Untuk itu aku akan mengembalikan baju ibumu itu.” (mengeluarkan baju merah milik ibu Bawang Putih itu)
Bawang Putih : ”Terima kasih, Nek.” (sambil menerima baju merah dari Nenek itu)
Nenek : ”Ah, tunggu sebentar. Aku ada tanda terima kasih untukmu”. (ke belakang dan kembali dengan membawa dua buah labu)
Bawang Putih : ”Apa itu, Nek?”
Nenek : ”Pilihlah satu, Nak.” (menyodorkan dua buah labu)
Bawang Putih : ”Tidak perlu, Nek. Saya ikhlas membantu Nenek.” (menolak dengan halus)
Nenek : ”Ambilah satu, Nak.”
Bawang Putih : ”Baiklah, Nek. Saya pilih yang kecil saja. Saya takut tidak kuat mengangkatnya. Terima kasih, Nek.” (mengambil labu yang kecil)
Nenek : ”Baiklah, Nak. Selamat tinggal.”

Babak 7 :

Tibalah akhirnya Bawang Putih di rumahnya dan langsung menyerahkan baju merah milik Ibu Tirinya itu.

Ibu Tiri : ”Bagus. Apa yang kau bawa itu?! Sepertinya lezat. Cepat buatkan aku sesuatu dengan labu itu. Aku lapar!”
Bawang Merah : ”Ya, aku juga lapar! Cepat sedikit!” (dengan nada tinggi)
Bawang Putih : ”Baik, Bu, Kak.” (segera ke dapur)

Saat sampai di dapur Bawang Putih langsung membelah labu itu dan alangkah terkejutnya dengan yang didapati dari dalam labu itu. Langsung memekik karena saking senangnya.

Bawang Putih : ”ASTAGA! Ibu… Kakak… (berteriak)
Bawang Putih & Ibu Tiri : ”Ada apa? Mengapa kau berteriak-teriak!” (marah-marah)
Bawang Putih : ”Ibu! Kak! Lihat apa yang aku temukan dalam labu ini. Emas! Permata!
(mata berbinar-binar)
Bawang Merah : ”WAW. Indah sekali pasti permata-permata ini. Pasti cocok denganku! (langsung mengambil permata-permata indah itu)
Ibu Tiri : ”Ya. Betul. Pasti cocok denganmu anakku yang cantik. Emasnya pun akan lebih cocok dengan kita berdua daripada denganmu Bawang Putih. Berikan pada kami! (merampas emas dan permata dari Bawang Putih)
Bawang Putih : ”Baik, Ibu, Kak.” (tetap tersenyum)
Bawang Merah : ”Lalu yang aku ingin tahu, darimana kau mendapatkan semua itu?! Cepat beritahu!” (memaksa)
Bawang Putih : ”Baiklah, Kak.” (menceritakan sejujur-jujurnya)

Babak 8:

Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Lalu setelah seminggu dia bekerja, dia bertanya.

Bawang Merah : ”Bukankah kalau aku sudah menemanimu di sini aku akan mendapatkan hadiah! Mana hadiahku?”
Nenek : ”Ini. Pilihlah.” (dengan muka tidak terlalu senang)
Bawang Merah : ”Aku pilih ini.” (mengambil labu yang paling besar dan langsung berlari pulang)

Babak 9 :

Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai.

Bawang Merah : ”Bawang Putih!!! Cepat pergi ambil air ke sungai!”
Bawang Putih : ”Bukankah masih ada persediaan air di belakang, Kak?”
Bawang Merah : ”Sudahlah! Tadi aku pakai untuk mandi. Kau ambil lagi sana di sungai.”
Bawang Putih : ”Baiklah, Kak.”

Lalu, setelah Bawang Putih pergi ke sungai. Bawang merah lalu segera memanggil Ibunya untuk membelah labu besar yang mereka anggap berisikan emas dan permata.

Bawang Merah : ”Ibu! Kemarilah. Aku akan segera membelah labu yang baru aku dapat dari Nenek Tua itu.”
Ibu Tiri : ”Ahahahahhhaha! Kita akan kaya raya.” (tertawa keras dengan angkuh)

Ternyata saat membelah labu yang mereka dapati adalah binatang-binatang beracun yang langsung menggigit mereka dan pada saat itu juga mereka langsung mati. Akhirnya Bawang Putih mendapatkan harta itu dan hidup berkecukupan.

Ketamakan akan membawa seseorang ke dalam kesialan sedangkan dengan kita menerima apa adanya dan selalu bersyukur kita akan mendapat kebahagiaan pada akhirnya.

(TAMAT)