Archive for the ‘Naskah Drama’ Category

Timun Mas
Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang janda yang bernama Mbok Sirni, ia menginginkan seorang anak agar dapat membantunya bekerja. Suatu hari ia didatangi oleh raksasa yang ingin memberi seorang anak dengan syarat apabila anak itu berusia enam tahun harus diserahkan keraksasa itu untuk disantap.

Mbok Sirnipun setuju. Raksasa memberinya biji mentimun agar ditanam dan dirawat setelah dua minggu diantara buah ketimun yang ditanamnya ada satu yang paling besar dan berkilau seperti emas. Kemudian Mbok Sirni membelah buah itu dengan hati-hati. Ternyata isinya seorang bayi cantik yang diberi nama timun emas.

Semakin hari timun emas tumbuh menjadi gadis jelita. Suatu hari datanglah raksasa untuk menagih janji Mbok sirni amat takut kehilangan timun emas, dia mengulur janji agar raksasa datang 2 tahun lagi, karena semakin dewasa,semakin enak untuk disantap, raksasa pun setuju.

Mbok Sirni pun semakin sayang pada timun emas, setiap kali ia teringat akan janinya hatinya pun menjadi cemas dan sedih. Suatu malam mbok sirni bermimpi, agar anaknya selamat ia harus menemui petapa di Gunung Gundul. Paginya ia langsung pergi. Di Gunung Gundul ia bertemu seorang petapa yang memberinya 4 buah bungkusan kecil, yaitu biji mentimun, jarum, garam,dan terasi sebagai penangkal. Sesampainya dirumah diberikannya 4 bungkusan tadi kepada timun emas, dan disuruhnya timun emas berdoa.

Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. Timun emaspun disuruh keluar lewat pintu belakang untuk Mbok sirni. Raksasapun mengejarnya. Timun emaspun teringat akan bungkusannya, maka ditebarnya biji mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun memakannya tapi buah timun itu malah menambah tenaga raksasa. Lalu timun emas menaburkan jarum, dalam sekejap tumbuhlah pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah raksasa terus mengejar. Timun emaspun membuka bingkisan garam dan ditaburkannya. Seketika hutanpun menjadi lautan luas. Dengan kesakitannya raksasa dapat melewati. Yang terakhit Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, akhirnya raksasapun mati.
” Terimakasih Tuhan, Engkau telah melindungi hambamu ini ” Timun Emas mengucap syukur. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sirni hidup bahagia dan damai.

Sumber : http://dongeng1001malam.blogspot.com/2005/03/timun-mas.html

Naskah Drama
Timun Emas

Babak 1

Narator : “Alkisah, pada zaman dahulu kala hiduplah seorang janda bernama Mbok Sirni di sebuah desa kecil. Ia bekerja sebagai petani kecil. Ia menginginkan seorang anak agar dapat membantu dan menemani ia bekerja.”

Mbok Sirni : “Akhirnya, pekerjaanku di ladang hari ini sudah selesai. Seandainya saya memiliki seorang anak, pasti saya tidak selelah ini.”

Narator : “Suatu hari, ia didatangi oleh seorang raksasa.”

Raksasa : “Wahai petani kecil, jikalau engkau menginginkan seorang anak, akan kuberikan engkau seorang anak. Akan tetapi, dengan syarat apabila anak itu berusia enam tahun harus diserahkan kepadaku itu untuk disantap.”

Mbok Sirni : “Baiklah tuan, saya setuju dengan persyaratan tuan.”

Raksasa : “Ini biji mentimun , rawatlah biji ini di ladangmu.”

Narator : “Setelah dua minggu, diantara buah ketimun yang ditanamnya ada satu yang paling besar dan berkilau seperti emas.”

Mbok Sirni : “Wah, buah ini besar sekali!. Baiklah, akan ku belah buah itu dengan hati-hati.”

Narator : “Ternyata, isi buah tersebut adalah seorang bayi cantik.”

Bayi : “Oeek…….”

Mbok Sirni : “Wah, cantik sekali kamu, nak. Mulai sekarang, ibu akan memanggilmu Timun Emas karena kamu berasal dari timun yang bewarna emas.”

Babak 2

Narator : “Semakin hari, Timun emas tumbuh menjadi gadis jelita yang rajin membantu ibunya.”

Timun Emas : “Ibu, saya pergi mencari kayu bakar dulu ya.”

Mbok Sirni : “Iya, hati-hati ya nak. Jangan pulang terlalu malam, nanti kamu tersesat.”

Narator : “Beberapa saat kemudian, datanglah raksasa untuk menagih janji Mbok Sirni.”

Raksasa : “Wahai petani kecil, saya datang kesini untuk menagih janjimu 6 tahun. Cepat serahkan anak itu ! Sekarang saya sangat ingin memakan seorang bocah.”

Narator : “Karena Mbok Sirni amat ketakutan, maka ia mengulur janjinya.”

Mbok Sirni : “Begini tuanku, saya punya saran. Maukah anda datang kesini dua tahun kemudian?. Saya yakin, bila semakin dewasa, anak ini pasti semakin enak untuk disantap.”

Raksasa : “Mmm…. , bagus juga saranmu. Baiklah, saya akan datang kesini dua tahun kemudian untuk menagih janjimu.”

Babak 3

Narator : “Hari berganti hari, Mbok Sirni semakin sayang pada timun emas, namun setiap kali ia teringat akan janjinya, hatinyapun menjadi cemas dan sedih.”

Timun Emas : “Bunda, ini sudah larut malam, kenapa bunda belum tidur? Dan, kenapa bunda tampak sedih, apakah bunda memiliki masalah?”

Mbok Sirni : “Tidak, anakku. Bunda tidak memiliki masalah. Mari kita tidur, bunda akan menceritakan sebuah dongeng untukmu.”

Timun Emas : “Hore, terima kasih bunda.”

Babak 4

Narator : “Suatu malam, Mbok Sirni bermimpi, agar anaknya selamat ia harus menemui petapa di Gunung Gundul. Paginya ia langsung pergi ke sana.”

Mbok Sirni : “Timun Mas, bunda akan pergi ke Gunung Gundul untuk beberapa hari. Bila kamu lapar, ibu sudah menyiapkan nasi dan ikan asin goreng di dapur. Jangan kemana-mana ya, nanti kamu tersesat.”

Timun Emas : “Bunda, bolehkah saya ikut?”

Mbok Sirni : “Maaf, anakku. Kamu tidak dapat ikut bunda. Kamu harus menjaga rumah kita.”

Timun Emas : “Baiklah bunda.”

Babak 5

Narator : “Setelah Mbok Sirni sampai di Gunung Kidul, ia menolong seseorang yang hampir terjatuh dalam anak sungai. Ternyata orang tersebut adalah seorang petapa.”

Petapa : “Terima kasih engkau telah menolongku, ternyata engkau seorang yang murah hati. Ini kuberikan 4 buah bungkusan kecil ini, masing-masing didalamnya terdapat biji mentimun, jarum, garam,dan terasi untuk menyelamatkan anakmu dari raksasa.”

Narator : “Namun, ketika Mbok Sirni mau mengucapkan terima kasih, petapa tersebut menghilang begitu saja.”

Babak 6

Narator : “Mbok Sirni pun pulang ke rumahnya. Sesampai dirumah, ia menceritakan semua yang telah terjadi kepada Timun Emas.”

Timun Emas : “Bunda, saya amat takut dimakan oleh si Raksasa itu, dan juga saya takut berpisah dengan bunda.”

Mbok Sirni : “Oh, anakku. Bunda sangat menyayangimu dan takut kehilanganmu. Ini, bungkusan ini bunda berikan untukmu. Gunakan ini saat kamu berhadapan si Raksasa itu. Sebelum itu, berdoalah kepada Sang Pencipta untuk diberi perlindungan dari-Nya.”

Timun Emas : “Baiklah bunda, saya akan berusaha mengikuti saran bunda.”

Babak 7

Narator : “Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji.”

Raksasa : “Wahai petani kecil, aku datang kesini untuk menagih janjimu! Cepat serahkan anak itu, aku amat ingin memakannya! Hahaha……”

Mbok Sirni : “Anakku, cepat lari lewat pintu belakang rumah kita!”

Timun Emas : “Baiklah bunda.”

Narator : “Raksasapun mengejarnya. Timun emaspun teringat akan bungkusannya, maka ditebarnya biji mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun memakannya tapi buah timun itu malah menambah tenaga raksasa. Lalu timun emas menaburkan jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah raksasa terus mengejar.Timun emaspun membuka bingkisan garam dan ditaburkannya. Seketika hutanpun menjadi lautan luas. Dengan kesakitannya raksasa dapat melewati. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, akhirnya raksasapun mati.”

Timun Emas : “Terimakasih Tuhan, Engkau telah melindungi hambamu ini”

Narator : “Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sirni hidup bahagia dan damai.”

TAMAT

NASKAH DRAMA:

BADAI SEPANJANG MALAM

Karya MAX ARIFIN

Para Pelaku:

1.Jamil, seorang guru SD di Klaulan,Lombok Selatan,berumur 24 tahun

2.Saenah,istri Jamil berusia 23 tahun

3.Kepala Desa,suara pada flashback

Setting :

Ruangan depan sebuah rumah desa pada malam hari.Di dinding ada lampu

minyak menyala.Ada sebuah meja tulis tua. Diatasnya ada beberapa buku

besar.Kursi tamu dari rotan sudah agak tua.Dekat dinding ada balai balai .Sebuah radio transistor juga nampak di atas meja.

Suara :

Suara jangkerik.suara burung malam.gonggongan anjing di kejauhan.Suara Adzan subuh.

Musik:

Sayup sayup terdengar lagu Asmaradahana,lewat suara sendu seruling

Note:

Kedua suami istri memperlihatkan pola kehidupan kota.dengan kata lain,mereka berdua memang berasal dari kota.tampak pada cara dan bahan pakaian yang mereka kenakan pada malam hari itu.mereka juga memperlihatkan sebagai orang yang baik baik.hanya idelisme yang menyala nyala yang menyebabkan mereka berada di desa terpencil itu.

01.Begitu layar tersingkap, nampak jamil sedang asyik membaca.Kaki nya ditelusurkan ke atas kursi di depannya.Sekali sekali ia memijit mijit keningnya dan membaca lagi.Kemudian ia mengangkat mukanya,memandang jauh ke depan,merenung dan kembali lagi pada bacaannya.Di kejauhan terdengar salak anjing melengking sedih.Jangkerik juga menghiasi suasana malam itu. Di kejauhan terdengar seruling pilu membawakan Asmaradahana.

Jamil menyambar rokok di atas meja dan menyulutnya.Asap berekepul ke atas.Pada saat itu istrinya muncul dari balik pintu kamar.

02.Saenah :

Kau belum tidur juga?kukira sudah larut malam.Beristirahatlah,besok kan hari kerja?

03.Jamil:

Sebentar,Saenah.Seluruh tubuhku memang sudah lelah,tapi pikiranku masih saja mengambang ke sana kemari.Biasa, kan aku begini malam malam.

04.saenah:

Baiklah.tapi apa boleh akuketahui apa yang kaupikirkan malam ini?

05.jamil:

Semuanya,semua apa yang kupikirkan selama ini sudah kurekam dalam buku harianku,Saenah.Perjalanan hidup seorang guru muda-yang ditempatkan di suatu desa terpencil-seperti Klulan ini kini merupakan lembaran lembaran terbuka bagi semua orang.

06.Saenah:

Kenapa kini baru kau beritahukan hal itu padaku?Kau seakan akan menyimpan suatu rahasia.Atau memang rahasia?

07.Jamil:

Sama sekali bukan rahasia ,sayangku! Malam malam di tempat terpencil seakan memanggil aku untuk diajak merenungkan sesuatu.Dan jika aku tak bisa memenuhi ajakannya aku akan mengalami semacam frustasi.Memang pernah sekali,suatu malam yang mencekam,ketika aku sudah tidur dengan nyenyak,aku tiba pada suatu persimpangan jalan di mana aku tidak boleh memilih.Pasrah saja.Apa yang bisa kaulakukan di tempat yang sesunyi ini?[Dia menyambar buku hariannya yang terletak di atas meja dan membalik balikkannya] Coba kaubaca catatanku tertanggal…[sambil masih membolak balik]..ini tanggal 2 oktober 1977.

08.Saenah:

[Membaca] “Sudah setahun aku bertugas di Klaulan.Suatu tempat yang terpacak tegak seperti karang di tengah lautan,sejak desa ini tertera dalam peta bumi.Dari jauh dia angker,tidak bersahabat:panas dan debu melecut tubuh.Ia kering kerontang,gersang.Apakah aku akan menjadi bagian dari alam yang tidak bersahabat ini?Menjadi penonton yang diombangkan ambingkan oleh…barang tontonannya.Setahun telah lewat dan selama itu manusia ditelan oleh alam”.[Pause dan Saenah mengeluh;memandang sesaat pada Jamil sebelum membaca lagi].”Aku belum menemukan kejantanan di sini.Orang orang seperti sulit berbicara tentang hubungan dirinya dengan alam.Sampai di mana kebisuan ini bisa diderita?Dan apakah akan diteruskan oleh generasi generasi yang setiap pagi kuhadapai?Apakah di sini tidak dapat dikatakan adanya kekejaman.”[Saenah berhenti membaca dan langsung menatap pada Jamil]

09.Jamil:

Kenapa kau berhenti?jangan tatap aku seperti itu,Saenah.

10.Saenah:

Apakah tulisan ini tidak keterlaluan?Bisakah ditemukan kejujuran di dalamnya?

11.Jamil:

Kejujuran kupertaruhkan di dalamnya,Saenah.Aku bisa mengatakan,kita kadang-kadang dihinggapi oleh sikap sikap munafik dalam suatu pergaulan hidup.Ada ikatan ikatan yang mengharuskan kita berkata “Ya!” terhadap apa pun,sekalipun dalam hati kecil kita berkata”Tidak”.Kejujuranku mendorong aku berkata,”Tidak”,karena aku melatih diri menjadi orang yang setia kepada nuraninya.Aku juga tahu, masa kini yang dicari adalah orang orang yang mau berkata”Ya”.Yang berkata “Tidak” akan disisihkan.[Pause] Memang sulit,Saenah.Tapi itulah hidup yang sebenarnya terjadi.Kecuali kalau kita mau melihat hidup ini indah di luar,bobrok di dalam.Itulah masalahnya.[Pause.Suasana itu menjadi hening sekali.Di kejauhan terdengar salak anjing berkepanjangan]

12.Saenah:

Aku tidak berpikir sampai ke sana. Pikiranku sederhana saja.kau masih ingat tentunya,ketika kita pertama kali tiba di sini,ya setahun yang lalu.Tekadmu untuk berdiri di depan kelas,mengajar generasi muda itu agar menjadi pandai.Idealismemu menyala nyala.Waktu itu kita disambut oleh Kepala Desa dengan pidato selamat datangnya.[S aenah lari masuk.Jamil terkejut.tetapi sekejap mata Saenah muncul sambil membawa tape recorder!] Ini putarlah tape ini.Kaurekam peristiwa itu.[Saenah memutar tape itu,kemudian terdengarlah suara Kepala Desa]’…Kami ucapkan selamat datang kepada Saudara Jamil dan istri.Inilah tempat kami.Kami harap saudara betah menjadi guru di sini.Untuk tempat saudara berlindung dari panas dan angin,kami telah menyediakan pondok yang barangkali tidak terlalu baik bagi saudara.Dan apabila Anda memandang bangunan SD yang cuma tiga kelas itu.Dindingnya telah robek,daun pintunya telah copot,lemari lemari sudah reyot,lonceng sekolah bekas pacul tua yang telah tak terpakai lagi.Semunya,semuanya menjadi tantangan bagi kita bersama.Selain itu,kami perkenalkan dua orang guru lainnya yang sudah lima tahun bekerja di sini.Yang ini adalah Saudara Sahli,sedang yang berkaca mata itu adalah Saudara Hasan.Kedatangan Saudara ini akan memperkuat tekad kami untuk membina generasi muda di sini.Harapan seperti ini menjadi harapan Saudara Sahli dan Saudara Hasan tentunya.”[Saenah mematikan tape.Pause,agak lama.Jamil menunduk,sedang Saenah memandang pada Jamil.Pelan pelan Jamil mengangkat mukanya.Mereka berpandangan]

13.Saenah:

Semua bicara baik-baik saja waktu itu dan semuanya berjalan wajar.

14.Jamil:

Apakah ada yang tidak wajar pada diriku sekarang ini ?

15.Saenah:

Kini aku yang bertanya:jujurkah pada nuranimu sendiri?Penilaian terakhir ada pada hatimu.dan mampukah kau membuat semacam pengadilan yang tidak memihak kepada nuranimu sendiri?Karena bukan mustahil sikap keras kepala yang berdiri di belakang semuanya itu.Terus terang dari hari ke hari kita seperti terdesak dalam masyarakat yang kecil ini.

16.Jamil:

Apakah masih harus kukatakan bahwa aku telah berusaha berbuat jujur dalam semua tindakanku?Kau menyalahkan aku karena aku terlalu banyak bilang”Tidak” dalam setiap dialog dengan sekitarku.Tapi itulah hatiku yang ikhlas untuk ikut gerak langkah masyarakatku.Tidak,Saenah.Mental masyarakat seperti katamu itu tidak terbatas di desa saja, tapi juga berada di kota

17.Saenah:

Kau tidak memahami masyarakatmu.

18.Jamil:

Masyarakat itulah yang tidak memahami aku.

19.saenah:

siapa yang salah dalam hal ini.

20.Jamil:

Masyarakat.

21.Saenah:

Yang menang ?

22.Jamil:

Aku

23.Saenah:

Lalu ?

24.Jamil:

Aku mau pindah dari sini.[Pause. Lama sekali mereka berpandangan.].

25.Saenah:

[Dengan suara rendah]Aku kira itu bukan suatu penyelesaian.

26.Jamil:

[Keras] Sementara memang itulah penyelesaiannya.

27.Saenah:

[Keras]Tidak! Mesti ada sesuatu yang hilang antara kau dengan masyarakatmu.Selama ini kau membanggakan dirimu sebagai seorang idealis.Idealis sejati,malah.Apalah arti kata itu bila kau sendiri tidak bisa dan tidak mampu bergaul akrab dengan masyarakatmu.[Pause]

[Lemah diucapkan]Aku terkenang masa itu,ketika kau membujuk aku agar aku mu datang kemari[Flashback dengan mengubah warn cahaya pelan pelan.Memakai potentiometer.Bisa hijau muda atau warna lainnya yang agak kontras dengan warna semula.Musik sendu mengalun]

28.Jamil:

Aku mau hidup jauh dari kebisingan,Saenah.Aku tertarik dengan kehidupan sunyi di desa,dengan penduduknya yang polos dan sederhana.Di sana aku ingin melihat manusia seutuhnya.Manusia yang belum dipoles sikap sikap munafik dan pulasan belaka.Aku harap kau menyambut keinginanku ini dengan gembira,dan kita bersama sama kesana.Di sana tenagaku lebih diperlukan dari pada di kota.Dan tentu banyak yang dapat aku lakukan.

29.Saenah:

Sudah kaupikirkan baik baik? Perjuangan di sana berarti di luar jangkauan perhatian.

30.Jamil:

Aku bukan orang yang membutuhkan perhatian dan publikasi.Kepergianku ke sana bukan dengan harapan untuk menjadi guru teladan.Coba bayangkan,siapa pejabat yang bisa memikirkan kesulitan seorang guru yang bertugas di Sembalun,umpamanya?Betul mereka menerima gaji tiap bulan.Tapi dari hari ke hari dicekam kesunyian,dengan senyum secercah terbayang di bibirnya bila menghadapi anak bangsanya.dengan alat alat serba kurang mungkin kehabisan kapur,namun hatinya tetap di sana.Aku bukan orang yang membutuhkan publikasi,tapi ukuran ukuran dan nilai nilai seorang guru di desa perlu direnungkan kembali.Ini bukan ilusi atau igauan di malam sepi,Saenah.Sedang teman teman di kota mempunyai kesempatan untuk hal hal yang sebaliknya dari kita ini.Itulah yang mendorong aku,mendorong hatiku untuk melamar bertugas di desa ini.

31.Saenah:

Baiklah, Sayang.Ketika aku melangkahkan kaki memasuki gerbang perkawinan kita,aku sudah tahu macam suami yang kupilih itu.Aku bersedia mendampingimu.Aku tahu,apa tugas utamaku disamping sebagai seorang ibu rumah tangga.Yaitu menghayati tugas suami dan menjadi pendorong utama karirnya.Aku bersedia meninggalkan kota yang ramai dan aku sudah siap mental menghadapi kesunyian dan kesepian macam apa pun.Kau tak perlu sangsi.[Pause senbentar.Pelan pelan lampu kembali pada cahaya semula]

32.Saenah:

Kini aku menjadi sangsi terhadap dirimu.Mana idealisme yang dulu itu? Tengoklah ke kanan.apakah jejeran buku-buku itu belum bisa memberikan jawaban pada keadaan yang kauhadapi sekarang?Di sana ada jawaban yang diberikan oleh Leon Iris,Erich Fromm,Emerson atau Alvin Toffler.Ya,malam malam aku sering melihat kau membuka-buka buku-buku Erich Fromm yang berjudul The Sane Society atau Future Shock nya Alvin Toffler itu.

33.Jamil:

Apa yang kau kauketahui tentang Eric Fromm dengan bukunya itu? Atau Toffler?

34.Saenah:

Tidak banyak.Tapi yang kuketahui ada orang-orang yang mencari kekuatan pada buku-bukunya.Dan dia tidak akan mundur walau kehidupan pahit macam apa pun dosodorkan kepadanya.karena ia mempunyaai integritas diri lebih tinggi dri orang-orang yng menyebabkan kepahitan hidupnya.apakah kau menyerah dalam hal ini?Ketika kau melangkahkan kakimu memasuki desa ini terlalu bnyak yang akan kausumbngkan padanya,ini harsus kauakui.Tapi kini-akuilah-kau menganggap desa ini terlalu banyak meminta dirimu.Inilah resiko hidup di desa.Seluruh aspek kehidupan kita disorot.Smpai sampai soal pribadi kita dijadikan ukuran mampu tidaknya kita bertugas.Dan aku tahu hal itu.Karena aku kenal kau.[Suasana menjadi hening sekali.Pause]

Aku sama sekali tak menyalahkan kau.malah dim diam menghargai kau, dan hal itu sudah sepantasnya.Aku tidak ingin kau tenggelam begitu saja dalam suatu msyarakat atau dalam suatu sistem yang jelek namun telah membudaya dalam masyarakat itu.Di mana pun kau berda.juga sekiranya kau bekerja di kantor.Kau pernah dengan penuh semangat menceritakan bagaimana novel karya Leon Uris yang berjudul QB VII.Di sana Uris menulis,katamu bahwa seorang manusia harus sadar kemanusiaannya dan berdiri tegak antara batas kegilaan lingkungannya dan kekuatan moral yang seharusnya menjadi pendukungnya.Betapapun kecil kekuatan itu.Di sanalah manusia itu diuji.Ini bukan kuliah.Aku tak menyetujui bila kau bicara soal kalah menang dalam hal ini.Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.Dialog yang masih kurang.

34.Jamil:

Aku mungkin mulai menyadari apa benda yang hilang yang kaukatakan tadi.generasi sekarang mengalami kesulitan dalam masalah hubungan.Hubungan antar sesama manusia.Mereka mengalami apa yang disebut kegaguan intelektual.kita makin cemas,kita seakan akan mengalami kemiskinan artikulasi.Disementara sekolah di banyak sekolah malah,mengarang pun bukanlah menjadi pelajaran utama lagi,sementara makin banyak gagasan yang harus diberitahukan ke segala sudut.Pertukaran pikiran makin dibutuhkan.

35.Saenah:

Ya,seperti pertukaran pikiran malam ini.Kita harus yakin akan manfaat pertukaran .Ada gejala dalam masyarakat di mana orang kuat dan berkuasa segan bertukar pikiran.Untuk apa ,kata mereka.Kan aku berkuasa.

36.Jamil;

Padahal nasib suatu masyarakat tergantung pada hal-hal itu.Dan kita jangan melupakan kenyataan bahwa masyarakat itu bukan saja berada dalam konflik dengan orang-orang yang mempunyai sikap yang tidak sosial tetapi sering pula konflik dengan sifat sifat manusia yang paling dibutuhkan,yang justru ditekan oleh masyarakat itu sendiri.

37.Saenah:

Itu kan Erich Fromm yang bilang.

38.Jamil:

Memang aku mengutip dia.[Dari kejauhan terdengar suara bedug subuh kemudian adzan]

39.Saenah:

Aduh,kiranya sudah subuh.Pagi ini anak-anak menunggumu,generasi muda yang sangat membutuhkan kau.

40.Jamil:

Aku akan tetap berada di desa ini,sayangku.

41.Saenah:

Aku akan tetap bersamamu.Yakinlah.[Jamil menuntun istrinya ke kamar tidur.Musik melengking keras lalu pelan pelan,sendu dan akhirnya berhenti].

Catatan:

Naskah ini pernah dimuat dalam buku Kumpulan Drama Remaja, editor A.Rumadi.Penerbit PT Gramedia Jakarta,1988,halaman 25-33

Sungai Jodoh

Babak I
Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai.
Mah Bongsu : “Ular…!” teriaknya ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat.
Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.
Mah Bongsu : ”Saya ambil saja ular yang kesakitan ini dan saya bawa pulang ke rumah.”

Babak II
Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit.
Mah Bongsu : “Banyak sekali kulit ular ini yang terkelupas.”
Lalu Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya.
Mah Bongsu : ”Ajaib… setiap saya membakar kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang, mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung.”(katanya heran)
Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebih Mak Piah Majikannya.

Babak III
Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya.
Mak Piah : “Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul.”
Pak Buntal : “Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku!”
Banyak orang menjadi penasaran dan berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu.
Para penduduk : ”Ayo, kita sama-sama menyelidiki harta milik Mah Bongsu.”
Untuk menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa hari orang dusun yang penasaran telah menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.

Babak IV
Mak Ungkai : “Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan.”(berkata pada tetangganya)
Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu karena telah membantu mereka.
Para penduduk : ”Mah Bongsu selalu memberi bantuan kepada kita semua untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, kita harus berterima kasih kepada dia.”
Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan.
Para penduduk : ”Mah Bongsu itu seorang yang dermawati.”

Babak V
Karena merasa tersaingi, Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Merekapun memutuskan untuk menyelidiki kekayaan Mah Bongsu itu.
Mak Piah : “Kita berdua harus menyelidiki kakayaan milik Mah Bongsu itu berasal darimana.”
Siti Mayang : “Betul, Bu.”
Mak Piah : “Malam ini kita akan ke rumahnya.”
Siti Mayang : “Baiklah.”
Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu.
Mak Piah : “Wah, ada ular sebesar betis. Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun.”
Siti Mayang : ”Mana bu, saya mau lihat juga.”
Mak Piah : ”Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu.”

Babak VI
Keesokan harinya, Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa.
Mak Piah : “Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu.”(pikirnya)
Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang.
Siti Mayang : “Saya takut! Ular melilit dan menggigitku!”(teriak dalam keadaan ketakutan)
Mak Piah : “Anakku, jangan takut. Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun.”

Babak VII
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut.
Mah Bongsu : “Ooohh… tidak!”
Ular : “Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu.”
Mah Bongsu : ”Ba..ba..baiklah.”
Mah Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya.
Ular : “Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau berikan padaku. Aku ingin melamarmu dan menjadi istriku.”
Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung. Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Mah Bongsu : “Kamu…!”(sambil terkejut)
Lalu kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nama desa “Tiban” asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.

Babak VIII
Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersbut. Pesta pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan ucapan selamat.

Babak IX
Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatok ular berbisa. Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut “Sungai Jodoh”.

SEMANGKA EMAS
CERITA RAKYAT MELAYU SAMBAS

Pada zaman dahulu kala, di Sambas hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang saja. Ia tidak perduli kepada orang-orang miskin. Sebaliknya Dermawan sangat berbeda tingkah lakunya. Ia tidak rakus dengan uang dan selalu bersedekah kepada fakir miskin.

Sebelum meninggal, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya. Maksudnya agar anak-anaknya tidak berbantah dan saling iri, terutama bila ia telah meninggal kelak.

Muzakir langsung membeli peti besi. Uang bagiannya dimasukkan ke dalam peti tersebut, lalu dikuncinya. Bila ada orang miskin datang, bukannnya ia memberi sedekah, melainkan ia tertawa terbahak-bahak melihat orang miskin yang pincang, buta dan lumpuh itu. Bila orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir memanggil orang gajiannya untuk mengusirnya. Orang-orang miskin kemudian berduyun-duyun datang ke rumah Dermawan.

Dermawan selalu menyambut orang-orang miskin dengan senang hati. Mereka dijamunya makan dan diberi uang karena ia merasa iba melihat orang miskin dan melarat. Lama kelamaan uang Dermawan habis dan ia tidak sanggup lagi membiayai rumahnya yang besar. Ia pun pindah ke rumah yang lebih kecil dan harus bekerja. Gajinya tidak seberapa, sekedar cukup makan saja. Tetapi ia sudah merasa senang dengan hidupnya yang demikian. Muzakir tertawa terbahak-bahak mendengar berita Dermawan yang dianggapnya bodoh itu. Muzakir telah membeli rumah yang lebih bagus dan kebun kelapa yang luas. Tetapi Dermawan tidak menghiraukan tingkah laku abangnya.

Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan “Kasihan,” kata Dermawan. “Sayapmu patah, ya?” lanjut Dermawan seolah-olah ia berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut, lalau diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. “Biar kucoba mengobatimu,” katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan.

Burung itu menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan sesaat kemudian ia pun terbang. Keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, dan biji itu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan tertawa melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun demikian, senang juga hatinya menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanam di belakang rumahnya.

Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Yang tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya. Tentulah ia akan kenyang makan buah semangka dan selebihnya akan ia sedekahkan. Tetapi aneh, meskipun bunganya banyak, yang menjadi buah hanya satu. Ukuran semangka ini luar biasa besarnya, jauh lebih dari semangka umumnya. Sedap kelihatannya dan harum pula baunya. Setelah masak, Dermawan memetik buah semangka itu. Amboi, bukan main beratnya. Ia terengah-engah mengangkatnya dengan kedua belah tangannya. Setelah diletakkannya di atas meja, lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu. Setelah semangka terbelah, betapa kagetnya Dermawan. Isi semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk di atas meja. Ketika diperhatikannya sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu adalah emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar burung mencicit di luar, terlihat burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah tonggak. “Terima kasih! Terima kasih!” seru Dermawan. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.

Keesokan harinya Dermawan memberli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali. Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi Dermawan tidak akan jatuh miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepadanya tentang kisahnya.

Mengetahui hal tersebut, Muzakir langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari burung yang patah kaki atau patah sayapnya di mana-mana. Namun sampai satu minggu lamanya, seekor burung yang demikian pun tak ditemukan. MUzakir sungguh marah dan tidak dapat tidur. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang gajiannya untuk menangkap burung dengan apitan. Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Burung itu pun kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh gembira.

Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya. Tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Ketika dipanen, dua orang gajian Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan riuhnya.

Naskah Drama

Pada zaman dahulu kala, di Sambas hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Anaknya yang sulung bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Sebelum meninggal, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya.

Muzakhir: “Wah, Saya harus cepat membeli peti besi untuk menyimpan uang warisan ayah dan menguncinya.” (sambil tergesa-gesa)

Suatu saat ada pengemis dating ke rumah muzakhir.

Pengemis: “Tuan, kasihanilah saya. Saya belum makan sejak kemarin”

Muzakhir: “Dasar pengemis buta dan pincang! Jangan pikir kamu akan mendapatkan uang di sini!” (sambil tertawa)

Pengemis: “Saya mohon, tuan. Kasihanilah saya.” (nada memelas)

Muzakhir: “Pengawal! Cepat usir pengemis ini! Dia mengotori rumahku saja.”

Orang-orang miskin kemudian berduyun-duyun datang ke rumah Dermawan.

Pengemis: “Permisi, tuan. Tolong berikan saya sedikit uang atau makanan, dari kemarin saya belum makan.”

Dermawan: “Oh! Ini, pak. Saya ada sedikit uang dan makanan untuk bapak, mungkin ini dapat membantu.”

Pengemis: “Terima kasih, tuan. Terima kasih banyak, kalau bukan tuan saya tidak tahu apakah saya dapat bertahan hidup.”

Dermawan: “Sama-sama. Tapi bapak jangan sungkan, saya hanya ingin menolong saja.”

Lama kelamaan uang Dermawan habis dan ia tidak sanggup lagi membiayai rumahnya yang besar. Ia pun pindah ke rumah yang lebih kecil dan harus bekerja. Berita ini terdengar oleh pengawal Muzakhir, lalu disampaikan kepadanya.

Pengawal: “Tuan, ada berita bahwa saudara tuan, Dermawan, telah pindah ke rumah yang kecil.”

Muzakhir: “Dasar si bodoh mengeluarkan uang untuk pengemis yang tidak jelas dan menjijikan. Lebih baik semua harta diberikan padaku saja.” (sambil tertawa)

Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit kesakitan.

Dermawan: “Kasihan. Sayapmu patah, ya? Biar kucoba mengobatimu.”

Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan. Beberapa hari kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, dan biji itu diletakkannya di depan Dermawan.

Dermawan: “Terima kasih, burung! Akan saya tanam biji pemerbianmu ini.” (sambil tertawa gembira)

Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu mejadi pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Meski bunganya banyak tapi yang menjadi buah hanya satu. Setelah masak, Dermawan memetik buah semangka itu.

Dermawan: “Amboi, bukan main beratnya! Semangka ini akan segera kubelah.”
Setelah diletakkannya di atas meja, lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu.

Dermawan: “Waw, aku bisa jadi orang kaya kalau begini. Ternyata semangka aneh ini berisi emas urai murni.” (Menari-nari kegirangan)

Ia mendengar burung mencicit di luar, terlihat burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah tonggak.

Dermawan: “Terima kasih! Terima kasih, burung! Dengan uang ini akan kubeli rumah baru dan kubantu orang-orang yang kesusahan tanpa kehabisan uang lagi.”

Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah Dermawan.

Muzakhir: “Hai Dermawan, kenapa kau bisa mendapatkan uang yang sangat banyak dalam waktu singkat!? Coba kau ceritakan kepada saudaramu ini!”

Dermawan: “Apa kabar, saudaraku? Lama sudah kita tak bertemu. Bagaimana kalau kita berbincang-bincang sejenak?”

Muzakhir: “Kau cukup ceritakan saja rahasia kekayanmu ini dan tak usah banyak berbicara!”

Dermawan: “Baiklah kalau begitu. Sebetulnya hasil ini saya dapat dari menolong seekor burung yang patah sayapnya. Kemudian burung itu memberi saya biji semangka yang berisi emas setelah matang.”

Muzakhir: “Begitukah? Baiklah, saya harus pergi sekarang.”

Dermawan: “Hati-hati dalam perjalanan pulangmu, saudaraku.”

Mengetahui hal tersebut, MUzakir langsung pulang ke rumahnya.

Muzakhir: “Pengawal! Cepat kalian cari seekor burung yang patah kakinya atau patah sayapnya di seluruh daerah.”

Pengawal: “Baik, tuan.”

Muzakhir: “Cepat kerjakan tugasmu!”

Namun sampai satu minggu lamanya, seekor burung yang demikian pun tak ditemukan. MUzakir sungguh marah dan tidak dapat tidur. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal.

Muzakhir: “Hai kalian pengawal tak berguna! Tangkaplah seekor burung dengan apitan hingga sayapnya terluka. Dan bawakan burung itu padaku.”

Pengawal: “Baiklah, tuanku.”

Begitu sayap burung itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Burung itu pun kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji.

Muzakhir: “Bagus, dengan biji ini aku akan jadi orang terkaya di daerah ini. Akan kutanam di tempat terbaik di kebunku.”

Tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan.

Muzakhir: “Pengawal, cepat petik buah semangka itu untukku.” (sambil mengambil parang)

Baru saja semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang seperti bubur itu.

Muzakhir: “Aaarrgghhh… Tidak!! Dimana emasnya!? Aaahhhh…!!!” (berlari ke jalan raya)

Orang yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan riuhnya.

Riwayat Pulau Paku

Konon, tersebutlah riwayat perkawina Opu Daeng Celak Yang Dipertuan Muda Riau II, dengan Tengku Mandak saudara perempuan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Bertempat di istana Dalam Besar kota lama Ulu Bintan. Terlalu ramilah jemputan mudik ke hulu, meyaksikan pertunjukan kesenian, memriahkan malam perkawinan putri raja orang berbangsa itu. bergendang-beregung, tandak-joget wayang topeng menari, sembilan puluh malam lamanya.
Riuh-rendah suara orang ebrsuka-ria di istana Ulu Bintan itu sehingga terdengar hingga ke hilir sungai, muara teluk Bintan. Di situlah pula perahu dan smapan hilir mudik. Ada yang datang dan ada pula yang menyeberang pulang ke kampung halamannya. Kaum bangasawan di istana pun lalu-lalang dari Bintan ke bandar Singapura, untuk berebelanja perlengakapan pesta dan juga berbeli-belah. Emas-perak pakaian pengantin silih berganti, baik mempelai perempuan maupun mempelai laki-lakinya.
Ketika itu pula menurut yang empunya cerita, seangkatan perampok Lanun sedang menunggu-nunggu mangsa rompakannya di perairan barat Pulau Bintan. Mereka bersiap-siap mencegat setiap perahu tumpangan orang, baik yang akan ke udik memenuhi undangan raja maupun ke ilir kembali ke tempat perhelatan besar itu.
“Mereka pasti memakai perhiasan emas-perak, intan-berlian.” kata kepala rombak kepada para pengikutnya, Lanun ganas sedang meraja-lela di laut dan selat-melat pada masa sezaman.
“Yeak, itulah tambang emas kita, heh-huuui…” perampok Lanun itu bersorak-sorak. “Kita akan dapat durian runtuh… heh-huuui,” jerit mereka bila malam tiba.
Konon, disuatu malam, untuk menyambanag dan mengintai orang keluar-masuk dilingkungan Teluk Pulau Bintan itu, perahu perampok Lanun itu berlabuh di beting pasir antara Teluk Keriting dan Pulau Penyengat.

“Yah, hui,” mereka berada di atas angin, tidak ada seorang pun yang berani menghalangai niatnya. Dan memang benar, ketika itu pula kelihatan sebuah perahu pencalang masuk ke Teluk Bintan melewati alur pualu Los, dari arah Galang. Perahu kenaikan Orang Kaya Mepar yang datang dari Daik-Lingga, hendak mengudik ke Ulu Bintan. Karena air tohor untuk ke udik tengah malam, maka sementara menunggu pasang naik di waktu subuh. Berlabuhlah perahu Orang Kaya Mepar itu di pasir Beting berdekatan perahu perampok Lanun yang sedari tadi menunggu disitu.
“Ohoi sahabat! Panggil kepala rampok. “Bolehkah kami minta api?” katanya berpura-pura. “Hendak memasak air tetapi tidak punya api di perahu kami ini.”
“Silahkan himpit ke perahu kami, sahabat,” sahut Orang Kaya Mepar. “Sekedar emminta api apa salanhya. Kemarilah.”
“Husy… ada rezeki, cepat himpit ke perahu yang berlabuh itu, bsiik kepala perampok. Para Lanun itupun memindahkan labuhan perahunya langsung menghimpit ke perahu Orang Kay Mepar.
“Apa memang sebenarnya, Tuan datang selaku sahabat?” tanya Orang Kaya Mepar tatkala melihat perahu orang meminta api untuk memasak air itu merapat. “Benarkah datangs elaku sahabat?”
“Ya kami datang selaku sahabat,” sahut kepala rompak Lanun, seraya naik ke perahu Orang Kaya Mepar. “Yeak, datang kami selaku sahabat Orang Kaya.”
“Kalau datang selaku sahabat, kenapa Tuan-tuan bersuluhkan ulu keris?” tanya Orang Kaya Mepar pula. “Ehm, elok nian adat Tuan.”
“Yeak, minta api,” kepala rompak tertawa menyeringai, terkekeh-kekeh. “Hah-hah… minta api,” ia berkata seraya memilin-milin kumisnya. Bibirnya tebal di bawah kumis melenting kasar, bengis kelihatannya.
Tukang masak di perahu Orang Kaya Mepar jadi ketakutan, dan dengan tangan menggigil ia menununjuk bara api yang sedang menyala setempurung.
“Ini Tuan,” katanya dengan hormat.
“Iyuh!” kepala rompak meraup bara api dalam tempurung itu, dingin-dingin saja kelihatannya. Bara api itu pun padam di telapak tangannya.
“Heh-heh…hiuuuh!” Lanun itu semakin kasar, bangga dengan kekebelan tahan api. “Ehm..dingin ya, api Orang Kaya?”
Orang Kaya Mepar Cuma tersenyum, mengangguk-angguk hormat. Kepala rompak semakin kasar, akrena menyangka sosok di hadapannya itu takut padanya.
“Yeak, kami hendak makan sirih,” kata Lanun itu.
“Tak punya sirih,” sahut Orang Kaya Mepar.

“Tak sirih, minta bakik!” segah Lanun semakin beringas. “Ehm, kami hendak makan bakik!” ia menyeringai.
“Nah…ini bakik di negeri kami,” sahut Orang Kaya Mepar seraya menyerahkan paku kasar, tiga batang banyaknya.
“Ini bakik orang Lingga, makanlah.” Orang Kaya Mepar menyilakan kepala rompak itu mengunyah paku yang disuguhkan. “Silakan.”
Kepala rompak terperangah. Agak gugup ia minta gubik sirih. “Minta gubik. Ehm…minta gubik,”suaranya tertelan-telan gugup.
“Ini gubik kami orang riuh-riau.” kata Orang Kaya Mepar seraya mengunyah-ngunyah paku senggengam di tangannya. “Grup…graaap-griiip…,” hingga paku itu hancur, lumat dalam mulut Orang Kaya Mepar.
“Minta ampun….,” pekik kepala rompak Lanun ketakutan, ketika melihat kekuatan Orang Kaya Mepar sedang menguyah paku itu.
“Berangkat…ohoui….” jerit segala Lanun, dan tiga batang paku ditangan rompak itu pun langsung terlepas. Semua jatuh ke beting pasir tempat perahu-sampan itu berlabuh.
“Sumpah, tujuh keturunan, kami tak hendak ke negeri riuh-riau…,” jerit segala Lanun seraya berkayuh, melayari perahunya ke tengah laut. “Huk-hak..hu-hak…hu-hak kabilak ampuk!”
Sejak itulah beting karang berpasir antara Pulau Penyengat dan Binatn itu disebut Pulau Paku. Pulau yang timbul sebatas permukaan laut ditumbuhi dua-tiga batang pokok perepat, terkadang gundul sama sekali tergantung pada musim. Masyarakat nelayan di lingkungan itu menandainya sebagai beting pasir bertuah. Pulau paku dijadikan pertanda zaman kemenangan.

Naskah Drama Riwayat Pulau Paku

Babak 1
Dahulu kala, hidupalah Opu Daeng Celak , Raja Muda Riau II. Suatu hari, ia meminta izin kepad ibunya untuk mepersunting Tengku Mandak.
Opu Daeng Celak : “Ibunda, adina ingin memperkenalkan calon istri adinda.”
Ratu : “Siapa dia? Kenapa adinda tidak pernah memperkenalkan kepada ibunda sebelumnya?
Opu Daeng Celak : “Maafkan adinda. Adinda terlalu takut untuk memperkenalkannya.”
Ratu : “Mengapa? Apakah dia tidak pantas untuk ibunda kenal?”
Opu Daeng Celak : “Tentu tidak. Adinda hanya takut hubungan kami tidak berjalan lama. Maafkan adinda, ibunda”
Ratu : “Baiklah, ibunda maafkan. Siapa gadis cantik itu?”
Opu Daeng Kelak : “Perkenalkan ibunda, dia Tengku Mandak, saudara perempuan Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah.”
Tengku Mandak : “Perkenalkan ibunda, saya Tengku Mandak.”
Ratu : “Senang mengenal adinda.”
Tengku Mandak : “Terima kasih ibunda.”
Opu Daeng Kelak : “Ibunda, bolehkan saya memeperistri Tengku Mandak?”
Ratu : “Tentu boleh. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah berasal dari keluarga terpandang dan berpendidikan.”
Opu Daeng Kelak : “Terima kasih ibunda.”
Tengku Mandak : “Ibunda, adinda permisi pulang.”
Ratu : “Hati-hati dijalan.”

Babak 2
Setelah Tengku Mandak pulang, Opu Daeng Kelak dan Ratu membicarakan persiapan melamar Tengku Mandak.
Opu Daeng Kelak : “Ibunda, kapan ibunda akan mempersunting Tengku Manda untuk adinda.”
Ratu : “Tiga hari lagi. Ibunda akan mempersiapkan semuanya terlebih dahulu untuk mempersunting Tengku Mandak.”
Opu Daeng Kelak : “Baiklah. Apakan ada yang bisa adinda bantu.”

Ratu : “Tidak, ibunda akan mempersiapkannya sendiri. Pelayan.”
Pelayan : “Ada apa ratu?”
Ratu : “Tiga hari lagi, saya akan melamar Tengku Mandak untuk Tuan Muda. Siapkan semuanya!”
Pelayan : “Baik ratu.”

Babak 3
Sejak itu, istanapun menjadi sibuk. Semua orang mempersiapkan segala sesuatu untuk melamar Tengku Mandak. Tiga hari pun berlalu tanpa terasa. Hari ini, tibalah saat untuk me;amar Tengku Mandak.
Ratu : “Sultan Sulaiman, saya hendak melawar adik Anda untuk putra saya.”
Sultan Sulaiman : “Hamba senang dengan lamaran ini. Tapi semuanya tetap ada ditangan
adik hamba. Bagimana dinda?”
Tengku Mandak : “Dinda setuju kakanda. Apakah kakanda mengizinkan?”
Sultan Sulaiman : “Tentu saja dinda. Jika itu memang membuat dinda senang.”
Ratu : “Baiklah, kita tentukan hari baiknya.”
Sultan Sulaiman : “Hamba terserah pada ratu. Tentulah ratu akan mencari hari yang terbaik.”
Ratu : “Baiklah, saya telah mencari ahri baik. Hari itu satu minggu dari sekarang. Apakah kalian semua setuju?”
Sultan Sulaiman : “Hamba setuju. Bagaimana Tuan Muda dan dinda?”
Opu Daeng Kelak : “Saya juga setuju.”
Tengku Mandak : “Dinda juga setuju kakanda.”

Babak 4
Pernikahan Opu Daeng Kelak dengan Tengku Mandak diselenggarak besar-besaran selama sembilan puluh malam. Keluarga dari mempelai pria maupun manita banyak yang hilir mudik ke Singapura untuk membeli baju dan perhiasan. Kemeriahan pesta pernikahan itu, terdengar hingga ke hilir dungai, muara teluk Bintan. Di situ, terdapat perampok yang hendak merampok.
Perampok 1 : “Terdengar kabar, keluarga mempelai hilir mudik ke Singapura. Kita akan mencari waktu yang tepat untuk merampok.”

Perampok 2 : “Saya menurut saja pada kakak. Kakak lebih berpengalaman.”
Perampok 3 : “Saya juga demikian.”
Perampok 1 : “Baiklah. Kita harus mengawasi mereka dari sini.”

Babak 5
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya para perampok itu menemukan kesempatan untuk menjalankan aksinya.
Perampok 1 : “Lihat, mereka sedang menepi. Cepat dekati mereka! Saya akan berpura-pura meminta api.”
Perampok 3 : “Baiklah.”
Perampok 1 : “Ohoi sahabat, bolehkah kami minta api. Hendak memasak air tetapi tidak punya api di perahu kami.”
Orang Kaya Mepar: “Silahkan himpit ke perahu kami. Sekedar meminta api apa salahnya. Kemarilah!”
Perampok 1 : “Cepat himpit.”
Perampok 2 : “Mangsa sudah di depan mata.”
Perampok 3 : “Benar, kita tinggal menunggu saat yang tepat.”

Babak 6
Perahu perampok segera mendekati perahu Orang Kaya Mepar. Mereka dilayani dengan baik oelh Orang Kaya Mepar. Hal ini membuat perampok besar kepala.
Tukang Masak : “Tuan, hamba memiliki firasat tidak baik dengan mereka.”
Orang Kaya Mepar: “Tenang, ada Tuan disini. Benarkah Tuan datang selaku sahabat?”
Perampok 1 : “Benar.”
Orang Kaya Mepar: “Kalau Tuan datang selaku sahabat, mengapa Tuan bersuluhkan ulu-keris? Elok niat adat Tuan.”
Perampok 1 : “Oh ini memang biasa kami pakai.”
Tukang Masak : “Tuan, silahkan ambil apinya.”
Perampok 1 : “Api orang kaya begitu dingin.”
Tukang Masak : “Maaf, mengapa Tuan matikan apinya? Apakah tangan Tuan tidak panas?”

Perampok 1 : “Tentu tidak. Sudah biasa bagi kami. Minta sirih. Kami ingin makan.”
Orang Kaya Mepar: “Tak punya sirih.”
Perampok 1 : “Tak sirih, minta bakik.”
Orang Kaya Mepar: “Pelayan, ambilkan bakik.”

Babak 7
Pelayan segera menyiapkan bakik khas negeri Riuh-Riau. Bakik itu bukan sirih, melainkan paku. Perampok terkejut melihat bakik paku dimakan dengan renyah oelh Orang Kaya Mepar. Mereka ketakukan dan melarikan diri.
Orang Kaya Mepar: “Ini bakik di negeri kami.”
Perampok 1 : “Minta gubik sirih.”
Orang Kaya Mepar: “Tidak ada. Ini lah gubik orang Lingga. Makanlah!”
Perampok 2 : “Kak, sebaiknaya kita segera pergi.”
Perampok 1 : “Ampun. Cepat kabur.”

Babak 8
Perampok 2 segera mengkayuh perahu. Paku yang dipegang perampok 1 terjatuh di beting pasir. Sejak itu, para perampok itu tidak datang lagi ke Riau.
Perampok 1 : “Sumpah, tujuh keturunan, kami tak hendak ke negeri riuh-riau.”
Perampok 2 : “Benar. Mereka kelihatannya ramah, ternyata mereka lebih benggis daripada kita.”
Perampok 1 : “Harta belum dapat, kita justru ketemu mereka.”
Perampok 3 : “Sudah, sudah. Untung saja nyawa kita masih selamat.”
Sejak itulah beting karang berpasir antara Pulau Penyengat dan Binatn itu disebut Pulau Paku. Pulau yang timbul sebatas permukaan laut ditumbuhi dua-tiga batang pokok perepat, terkadang gundul sama sekali tergantung pada musim. Masyarakat nelayan di lingkungan itu menandainya sebagai beting pasir bertuah. Pulau paku dijadikan pertanda zaman kemenangan.

(SELESAI)

Naskah drama

Putri Pandan Berduri, Asal-Mula Persukuan di Pulau Bintan

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Pulau Bintan terdapat sekelompok orang Sampan atau orang Suku Laut. Pemimpin Suku Laut atau Suku Sampan ini sangat gagah perkasa, Batin Lagoi namanya.

Babak 1
Suatu hari, ketika Batin Lagoi sedang menyusuri pantai dengan berjalan santai, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara tangisan bayi dari arah semak-semak pandan.

Bayi :”oek….oek….oek…”
Batin Lagoi :”Suara apa itu? Saya mendengar seperti ada bayi yang sedang menangis. Apakah mungkin cuma perasaan Saya saja? Sepertinya mustahil jika ada bayi di sekitar sini.”

Tapi, suara bayi menangis yang terdengar itu semakin kuat dan histeris.

Bayi :”oek..oek…oek….(dengan suara yang lebih keras)”
Batin Lagoi :”Sepertinya memang benar ada bayi di sekitar sini. Suaranya terdengar jelas di telingaku. Lebih baik saya mencari sumber suaranya saja untuk memastikan.”

Batin Lagoi mencari sumber suara itu.

Batin Lagoi :”Hm.. Sepertinya suara tangisan bayi itu terdengar dari semak-semak pandan ini.”

Ternyata firasat Batin Lagoi benar, ia menemukan seorang bayi perempuan tergeletak di antara semak pandan dengan beralaskan daun.

Batin Lagoi :”Anak siapa gerangan? Mengapa berada di sini? Orang tuanya ke mana?”

Setelah melihat ke sekelilingnya, Batin Lagoi tidak melihat tanda-tanda ada orang di sekitarnya.

Batin Lagoi :”Daripada anak ini dibiarkan di semak-semak pandan ini, lebih baik Saya bawa saja ia pulang ke rumah dan Saya akan mengangkatnya sebagai anak. Mungkin ini adalah petunjuk dari Tuhan karena Saya tidak mempunyai anak. Sebelum Saya membawa anak ini pulang, Saya akan memberinya nama terlebih dahulu. Karena Saya menemukannya di antara semak-semak pandan, maka Saya akan memberi nama anak ini Putri Pandan Berduri.”

Lalu, dengan hati-hati diambilnya bayi itu dari semak-semak Pandan dan dibawanya pulang. Ia merawat dan menjaga Putri Pandan Berduri dengan penuh kasih sayang seperti layaknya membesarkan putri raja.

Babak 2
Setelah Putri Pandan Berduri beranjak dewasa, Batin Lagoi memberinya pelajaran budi pekerti yang luhur kepada Putri Pandan Berduri.

Batin Lagoi :”Pandan, kamu harus mengingat baik-baik apa yang Ayah ajarkan kepadamu ini.”
Putri Pandan :”Apakah kiranya yang akan hendak Ayah ajarkan kepadaku?”
Batin Lagoi :”Sebelum ayah memulainya, hendaknya kamu mengingat dan melaksanakan dengan baik apa yang Ayah katakan.”
Putri Pandan :”Tentu saja Ayah. Ayah tidak perlu kuatir akan hal tersebut.”
Batin Lagoi :”Tapi bukan hanya hal itu saja anakku. Engkau juga harus bertutur kata sopan dan bertingkah laku baik kepada semua orang, baik itu kepada orang tua bahkan orang yang sebaya denganmu.”
Putri Pandan :”Baik ayah. Nasehat ayah akan selalu Pandan laksanakan.”

Putri Pandan Berduri tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Tutur bahasa dan sopan-santunnya seperti sifat para putri-putri raja.

Babak 3
Kecantikan dan keelokan tingkah laku daripada Putri Pandan Berduri mengundang kekaguman dari para pemuda di Pulau Bintan.

Pemuda 1:”Lihatlah betapa cantiknya Putri Pandan Berduri itu. Tak hanya cantik Ia juga sangat sopan. Alangkah bahagianya pria yang dapat meminangnya.”
Pemuda 2 :”Setiap pria pasti akan mengagumi Putri Pandan Berduri itu. Namun, mengapa sampai sekarang tidak ada seorang pria pun yang berani mendekatinya?”
Pemuda 1 :”Tidakkah engkau berpikir bahwa sosok sempurna seperti Putri Pandan Berduri itu jugalah yang menyebabkan tidak ada pemuda yang berani mendekatinya?”
Pemuda 2 :”Mengapa demikian?”
Pemuda 1 :”Karena tentunya tidak ada pemuda yang merasa dirinya pantas untuk wanita seperti Putri Pandan Berduri itu. 1 hal lagi penyebabnya, yaitu karena ada kabar bahwa Batin Lagoi menginginkan agar Putri Pandan Berduri itu menjadi istri seorang anak raja atau anak Megat.”

Babak 4
Sementara itu, di Pulau Galang, terdapat seorang Megat yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak yang tua bernama Julela dan yang muda bernama Jenang Perkasa. Dari mereka kecil, Megat itu mendidik kedua anaknya agar saling membantu dan saling menghormati satu dengan yang lain.

Setelah keduanya beranjak dewasa, Megat menginginkan Julela yang menjadi pemimpin di Galang. Hal ini kemudian membuat Julela menjadi sombong dan angkuh. Ia sudah tidak lagi peduli dengan adiknya, hal ini menyebabkan hubungan mereka menjadi tidak harmonis dan rukun lagi. Lalu, mereka pun menjalani hidup masing-masing secara terpisah. Dari hari ke hari kesombongan Julela semakin menjadi-jadi. Ia sering mencaci dan memusuhi adiknya tanpa sebab.

Julela :“Hai, adikku yang bodoh! Engkau tahu bahwa kelak yang akan menjadi pemimpin di kampung ini adalah aku. Jadi sekarang aku mengingatkan kamu bahwa kamu harus mematuhi segala perintahku. Jika kamu tidak melakukan apa yang aku perintahkan kepada kamu, maka aku tidak akan ragu-ragu untuk mengusir kamu dari kampung ini! Kamu mengerti?”

Jenang Perkasa yang mendengar hal tersebut dari kakaknya menjadi sangat sedih.

Jenang P:”Mengapa kakak kandungku sendiri mengatakan hal sekejam itu terhadapku? Apa salahku kepadanya? Mengapa sikapnya berubah semenjak dia ditunjuk untuk menjadi pemimpin di Pulau Galang ini? Apakah aku ini tidak lagi dianggapnya sebagai adik? Mengapa aku merasa terasing di keluarga kandungku sendiri? Daripada seperti ini, lebih baik aku meninggalkan Pulau Galang ini secara diam-diam agar aku tidak mendapat cacian dari kakak kandungku.”

Babak 5
Keesokan harinya, secara diam-diam, Jenang Perkasa berlayar dengan arah yang tidak menentu. Setelah berhari-hari Ia mengarungi lautan yang luas, akhirnya sampailah ia di Pulau Bintan.

Penduduk 1 :”Engkau sepertinya bukan penduduk kampung ini. Kalau boleh tahu darimanakah engkau?”
Jenang P :”Saya dari Pulau Galang di seberang sana.
Penduduk 2 :”Mengapa anda bisa sampai ke pulau ini?
Jenang P :”Itu karena Saya sedang bermaksud untuk bertualang mengarungi lautan. Lalu, setelah berhari-hari Saya berada di lautan, tiba-tiba Saya melihat Pulau ini. Oleh karena itu saya tertarik pada keindahan Pulau ini dan bermaksud untuk tinggal beberapa saat di pulau ini.”

Sikap dan perilaku Jenang Perkasa itu telah menarik perhatian Batin Lagoi.

Babak 6
Pada suatu hari, Batin Lagoi mengadakan perjamuan makan dengan mengundang orang-orang Suku Sampan, tidak ketinggalan Batin Lagoi juga mengundang Jenang Perkasa untuk datang dalam perjamuan itu.

Batin Lagoi :”Wahai Jenang Perkasa, besok malam di rumahku akan diadakan perjamuan makan bersama orang-orang Suku Sampan Lainnya. Aku ingin engkau juga datang, karena aku sudah menganggapmu sebagai bagian dari suku ini.”
Jenang P :”Baik tuanku. Besok malam hamba akan datang ke rumah tuanku untuk memenuhi undangan dari tuanku.”
Batin Lagoi :”Baiklah, sampai bertemu besok malam. Kutunggu kedatanganmu.”
Jenang P :”Baik tuanku. Terima kasih akan undangan dari tuanku.”

Babak 7
Esoknya, Jenang Perkasa datang untuk memenuhi undangan tersebut. Saat jamuan makan akan dimulai, Jenang Perkasa memilih tempat yang agak jauh dari teman-temannya. Ia melakukan hal itu agar air cuci tangannya tidak jatuh di hidangan yang akan ia makan. Tanpa disadarinya, sejak ia datang sepasang mata telah memerhatikan perilakunya, yang tak lain dan tidak bukan adalah Batin Lagoi. Tingkah laku dan budi pekerti Jenang Perkasa itu sungguh mengesankan hati Batin Lagoi.

Usai perjamuan, Batin Lagoi menghampiri Jenang Perkasa.

Batin Lagoi :“Wahai, Jenang Perkasa! Sungguh,aku sangat terkesan dan kagum dengan kesopanan dan keelokkan budi pekertimu. Apakah Engkau bersedia apabila aku menikahkan kamu dengan putriku, Pandan Berduri?”
Jenang P :“Permintaan tuan dengan segala kerendahan hati saya terima. Saya bersedia menerima putri tuan sebagai istri saya.”
Batin Lagoi :”Baik sekali. Kapan kiranya engkau akan meminang putriku?”
Jenang P :”Terserah tuanku. Kapan hari baik yang menurut tuanku layak untuk dilaksanakan pernikahan?”
Batin Lagoi :”Bagaimana apabila kita melaksanakan pernikahannya minggu depan, anak muda?”
Jenang P :”Pilihan tuanku memang sangat tepat. Baiklah tepat minggu depan saya akan meminang putri tuanku.”
Batin Lagoi :”Tapi Jenang, karena Putri Pandan Berduri merupakan putriku satu-satunya, aku ingin pesta pernikahannya dilaksanakan dengan meriah. Apakah engkau keberatan?”
Jenang P :”Tentu saja saya tidak keberatan tuanku. Namun, pesta seperti apa yang tuanku inginkan jika hamba boleh tahu?”
Batin Lagoi :”Pesta dengan minuman dan makanan yang beranekaragam, dan dengan menampilkan segala macam tari-tarian daerah untuk menghibur para tamu undangan.”
Jenang P :”Baik tuanku, dengan senang hati akan hamba adakan acara pernikahan seperti yang tuanku harapkan.”

Seminggu kemudian, Jenang Perkasa pun dinikahkan dengan Putri Pandan Berduri. Pernikahan mereka dilangsungkan sangat meriah. Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri pun hidup bahagia.

Babak 8
Tak berapa lama kemudian, Batin Lagoi berfikir untuk segera mengangkat Jenang Perkasa sebagai Pemimpin di Bintan untuk menggantikan dirinya.

Batin Lagoi :”Wahai menantuku ada hal penting ingin aku bicarakan kepadamu.”
Jenang P :”Apakah hal penting itu,jika boleh saya tahu ayahanda?”
Batin Lagoi :”Aku ingin agar kamu segera mengantikan aku untuk menjadi pemimpin di Pulau Bintan ini. Aku merasa saat ini adalah saat yang tepat untuk mengangkat engkau menjadi pemimpin Pulau ini. Apakah kamu bersedia?”
Jenang P :”Dengan segala kerendahan hati hamba bersedia ayahanda.”
Batin Lagoi :”Keputusan yang baik, acara pengangkatanmu akan segera kita laksanakan. Namun, aku ingin agar engkau memimpin rakyat Bintan dengan bijaksana sesuai dengan adat yang berlaku di Bintan. Apakah engkau mengerti, Jenang?”
Jenang P :”Baik saya mengerti, ayah. Semua nasehat ayah akan saya ingat selalu.”

Setelah Jenang Perkasa diangkat menjadi pemimpin di Pulau Bintan, Ia memimpin rakyat Bintan dengan sangat bijaksana.

Babak 9
Pada suatu siang ketika Jenang Perkasa sedang beristirahat di kamarnya, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.Jenang Perkasa yang mendengar pintu kamarnya diketuk segera membukakanya.

Pelayan :”Maaf mengganggu istirahat tuanku.”
Jenang P :”Tidak apa-apa. Ada hal apa gerangan yang membuat engkau datang kepadaku?”
Pelayan :”Begini tuanku, di luar ada sekelompok orang yang ingin bertemu dengan tuanku.”
Jenang P :”Siapakah kiranya sekelompok orang tersebut? Tentunya engkau sudah menanyai mereka bukan?”
Pelayan :”Tentu saja tuanku. Mereka berkata bahwa mereka adalah masyarakat dari Pulau Galang. Mereka juga mengatakan bahwa ada hal penting yang ingin mereka bicarakn dengan tuanku. Apakah tuanku ingin bertemu dengan mereka, atau tuanku sedang tidak ingin diganggu ?”
Jenang P :”Saya akan menemui mereka. Tolong katakan kepada mereka untuk menunggu saya sebentar lagi.”
Pelayan :”Baik tuanku, hamba permisi dulu.”

Babak 10
Jenang perkasa menemui para tamunya.

Orang 1 :”Selamat siang. Maaf kiranya kami telah mengganggu istirahat tuanku Jenang Perkasa.”
Jenang P :”Tidak apa-apa. Kiranya ada perlu apa yang membuat kalian datang ke sini? Apakah telah terjadi sesuatu hal yang buruk di Pulau Galang sehingga kalian datang ke tempatku?”
Orang 2 :”Tenang saja Tuanku, tidak terjadi sesuatu hal yang buruk di Pulau Galang.”
Jenang P :”Kalau begitu, hal apakah yang membuat kalian datang kemari?”
Orang 3 :“Kami datang kesini karena kami mendengar bahwa Tuanku menjadi pemimpin di Pulau Bintan ini. Selain itu, kami juga mengetahui tentang cara kepemimpinan tuanku di Pulau ini. Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk mengajak tuanku kembali ke Galang, dan mengggantikan kakak tuanku yang sombong itu sebagai Pemimpin di Galang. Apakah kiranya tuanku bersedia?”
Jenang P :”Maaf, bukan maksudku untuk menolak maksud baik kalian. Namun, sekarang aku sudah menjadi pemimpin di Pulau Bintan ini. Aku tidak dapat meninggalkan pulau ini begitu saja.”
Orang 2 :”Apakah tuanku tidak merasa kasihan kepada penduduk Pulau Galang karena kepemimpinan kakak tuanku? Kami tahu Tuanku dahulu adalah penduduk dari Pulau kami, oleh karena itu hendaknya Tuanku bersedia membantu kami dengan cara menjadi pemimpin Pulau Galang.”
Jenang P :”Dahulu aku memang penduduk dari Pulau Galang, tetapi kini aku sudah menjadi penduduk Pulau Bintan ini. Lagipula sudah menjadi tanggung jawabku untuk memimpin Pulau Bintan yang sangat kucintai ini. Aku tidak bisa melepaskan tanggung jawabku begitu saja. Sekali lagi maafkan aku,tapi aku tidak bisa menerima permintaak kalian.”

Akhirnya sekumpulan orang dari Galang itu pun kembali dengan tangan hampa. Sementara Jenang Perkasa hidup berbahagia bersama Putri Pandan Berduri. Mereka mempunyai tiga orang putra, yang sulung dinamakan Batin Mantang, yang tengah Batin Mapoi, dan yang bungsu Batin Kelong.

Babak 11
Jenang Perkasa mendidik ketiga anaknya agar mereka tidak menjadi orang yang sombong.

Jenang P :”Anak-anakku yang kukasihi. Aku selalu ingatkan kepada kalian nantinya kalian akan memimpin Pulau ini menggantikan Aku. Aku berharap kelak kalian akan menjadi pemimpin suku yang bertanggungjawab dan tidak sombong. Karena masa depan rakyat ada di tangan kalian, maka kalian harus benar-benar menjadi anak yang bertanggungjawab.”

Maka pada ketiga anaknya diadatkannya dengan adat suku Laut, dan dinamakan dengan adat Kesukuan.

Setelah beranjak dewasa, ketiga anaknya tersebut memimpin suku mereka masing-masing. Batin Mantang membawa berhijrah ke bagian utara Pulau Bintan, Batin Mapoi dengan sukunya ke barat, dan Kelong dengan sukunya ke timu Pulau Bintan. Ketiga suku tersebut kemudian menjadi suku terbesar dan termasyhur di daerah Bintan. Jika mereka mengalami kesulitan, mereka kembali kepada yang pertama, yaitu kepada adat Kesukuan.

Tak lama kemudian, Jenang Perkasa meninggal dunia, disusul Putri Pandan Berduri. Walaupun keduanya telah tiada, tetapi anak-cucu mereka banyak sekali, sehingga adat Kesukuan terus berlanjut. Hingga kini, Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri tetap dikenang karena dari merekalah lahir persukuan di Teluk Bintan. Suku Laut atau Suku Sampan ini masih banyak ditemukan berdiam di perairan Pulau Bintan.

(SELESAI)

Lampiran teks Legenda Danau Toba:

Ini adalah kisah tentang terjadinya Danau Toba. Orang tak akan menyangka, ada kisah sedih dibalik danau yang elok rupawan itu.
Tersebutlah seorang pemuda yatim piatu yang miskin. Ia tinggal seorang diri di bagian Utara Pulau Sumatra yang sangat kering. Ia hidup dengan bertani dan memancing ikan.
Suatu hari, ia memancing dan mendapatkan ikan tangkapan yang aneh. Ikan itu besar dan sangat indah. Warnanya keemasan. Ia lalu melepas pancingnya dan memegangi ikan itu. Tetapi saat tersentuh tangannya, ikan itu berubah menjadi seorang putri yang cantik! Ternyata ia adalah ikan yang sedang dikutuk para dewa karena telah melanggar suatu larangan. Telah disuratkan, jika ia tersentuh tangan, ia akan berubah bentuk menjadi seperti makhluk apa yang menyentuhnya. Karena ia disentuh manusia, maka ia juga berubah menjadi manusia.
Pemuda itu lalu meminang putri ikan itu. Putri ikan itu menganggukan kepalanya tanda bersedia.
“Namun aku punya satu permintaan, kakanda.” katanya.
“Aku bersedia menjadi istri kakanda, asalkan kakanda mau menjaga rahasiaku bahwa aku berasal dari seekor ikan.”
“Baiklah, Adinda. Aku akan menjaga rahasia itu.” kata pemuda itu.
Akhirnya mereka menikah dan dikaruniai seorang bayi laki-laki yang lucu. Namun ketika beranjak besar, si Anak ini selalu merasa lapar. Walapun sudah banyak makan-makanan yang masuk kemulutnya, ia tak pernah merasa kenyang.
Suatu hari, karena begitu laparnya, ia makan semua makanan yang ada di meja, termasuk jatah makan kedua orang tuanya. Sepulang dari ladang, bapaknya yang lapar mendapati meja yang kosong tak ada makanan, marahlah hatinya. Karena lapar dan tak bisa menguasai diri, keluarlah kata-katanya yang kasar.
“Dasar anak keturunan ikan!”
Ia tak menyadari, dengan ucapannya itu, berarti ia sudah membuka rahasia istrinya.
Seketika itu juga, istri dan anaknya hilang dengan gaib. Ia jadi sedih dan sangat menyesal atas perbuatannya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Ia tak pernah bisa bertemu kembali dengan istri dan maupun anaknya yang disayanginya itu.
Di tanah bekas pijakan istri dan anaknya itu, tiba-tiba ada mata air menyembur. Airnya makin lama makin besar. Lama-lama menjadi danau. Danau inilah yang kemudian kita kenal sampai sekarang sebagai Danau Toba.
Sumber Referensi :
Dea Rosa, 2007, Seri Mengenal Indonesia – Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua, Indonesiatera

Naskah drama
LEGENDA DANAU TOBA

BABAK 1
Terdapatlah seorang pemuda miskin yatim piatu bernama Tuba. Tuba tinggal seorang diri di sebelah utara Pulau Sumatera. Ia hidup dengan bertani dan memancing ikan.
Pada suatu hari, ketika ia memancing, ia mendapatkan ikan tangkapan yang aneh. Tuba yang kaget , lalu berseru dengan logat bataknya yang masih kental.
Tuba : “Wah, besar kali ikan ini bah! Cantik kali.”
Tuba lalu melepas pancingnya dan memegangi ikan itu. Namun saat tersentuh tangannya, ikan itu berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Lalu, Tuba pun terlibat perbincangan menegangkan dengan wanita sang jelmaan ikan.
Tuba: “Kau? Kau ikan yang tadi aku pancing?
Wah… cantiknya! Tapi, kamu tak mungkin seorang manusia biasa.
Beritahu aku siapa kamu sebenarnya!”
Putri ikan: “Aku adalah seekor ikan mas yang dikutuk olah para dewa karena telah melanggar sebuah aturan. Dan jika tubuhku tersentuh oleh tangan, maka aku akan berubah wujud menjadi sama seperti wujud makhluk apa yang telah menyentuhku. Kearena aku telah kau sentuh, aku berubah menjadi sama seperti kamu, manusia.”
Tuba: “Begitu rupanya nasib kau. Cantik-cantik tapi kena kutuk. Berarti kau tak punya tempat tinggal kan?”
Putri ikan: (mengangguk sambil tersenyum)
Tuba: “Ya, kau ikut sajalah ke gubuk milikku, kebetulan aku tinggal sendirian.” (sambil seraya menggandeng tangan putri ikan)
Putri ikan: (berjalan mengikuti Ucok)
Sejak saat itu, wanita itu pun tinggal bersama Tuba di gubuk milik Tuba. Tuba terlihat sangat bahagia karena sang wanita ikan itu sudah sangat membantunya dalam berbagai pekerjaan rumah
Hingga pada suatu hari Tuba berkeinginan untuk meminang sang Putri Ikan.

Tuba: “Inang, maukah kau menjadi istriku? Aku merasa senang apabila kau ada disini, dan aku akan lebih senang lagi bila kau mau menjadi istriku.”
Putri Ikan: (mengangguk) “Aku mau menjadi istrimu, bang. Tapi, aku mau abang berjanji untuk tetap merahasiakan kepada siapapun bahwa aku adalah seekor ikan.”
Tuba: “Gampang lah itu Inang. Akan aku jaga rahasiamu itu kepada siapapun.” (tersenyum gembira)
Lalu merekapun menikah.

BABAK 2
Lima tahun berlalu sudah. Mereka dikaruniai seorang anak yang lucu dan lincah, bernama Ucok.
Namun anak mereka selalu merasa lapar.
Walaupun sudah banyak makanan yang masuk ke dalam mulutnya, ia tak pernah
merasa kenyang.
Suatu hari, karena begitu laparnya ia menghabiskan semua maakanan yang ada di meja,
termasuk jatah makanan kedua orang tuanya. Ayahnya pun pulang dari ladang.
Tuba: “Bah, lapar kali aku. Enak kali kalau aku makan masakan istriku.” (berharap)
Tuba: (membuka tudung saji lalu mengerenyitkan dahi)
“Ucok!!!! Kau kemanakan semua makanan masakan Inang kau?”
Ucok: “Sudah Ucok habiskan lah, Amang. Lapar kali Ucok habis main di ladang”
Tuba: “Dasar anak ikan! Rakus kali kau!” (geram)

Ucok menangis, lalu berlari pergi menemui ibunya di ladang.
Putri ikan: “Mengapa kau menangis anakku?” (bingung melihat anaknya menangis)
Ucok: “Inang, benarkah aku ini adalah seorang anak ikan?”
Putri ikan: “Siapa yang bierkata padamu, Nak?” (terkejut)
Ucok: (diam sambil tersedu-sedu)
Putri ikan: “Jawab ibu, Nak!”
Ucok: “Amang yang berkata itu padaku, Inang. Amang bilang aku adalah seorang anak ikan, makanya aku rakus. Benarkah itu Inang? Amang bohongkah Inang?”
Putri ikan: (diam dan mulai menitikkan air mata)
Ucok: “Jawab Ucok, Inang! Amang hanya berbohong kan, Inang?”
Putri Ikan: “Iii…ya Ucok, Amangmu itu benar sekali. Aku adalah anak ikan. Inangmu ini adalah seekor ikan sebelum Inang menikah dengan Amang.”
Ucok yang mendengar jawaban dari ibunya, semakin menangis tersedu-sedu. Ia tak mengira
bahwa selama ini dirinya adalah anak ikan.

BABAK 3
Jauh di rumahnya, Tuba baru tersadar bahwa ia sudah melanggar janjinya kepada sang Putri Ikan.
Ia sangat menyesali perkataanya terhadap anaknya bahwa anaknya adalah anak ikan.
Lalu, ia cepat-cepat bergegas pergi mencari anaknya ke ladang. Sesampainya di ladang
Tuba: “Inang…..”
Putri Ikan: “Kau sudah melanggar janjimu kepadaku. Sekarang aku dan anakmu akan pergi. Selamat tinggal.” (berdiri menatap ke langit)
Tuba: “Jangan Inang, maafkan aku. Aku memang salah, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun, tolong Inang dan Ucok jangan pergi tinggalkan aku. Aku sangat menyayangi Ucok dan Inang.”
Namun, semuanya sudah terlambat, sang Putri Ikan dan anaknya perlahan naik ke atas langit dan
kemudian menghilang dari pandangan suaminya. Tuba pun berusaha memanggil istri dan anaknya.
Tapi, istri dan anaknya tetap terbang menuju langit biru dan kemudian menghilang.
Tuba: “Inang…………. Ucok………..” (berteriak)

Di tanah bekas pijakan istri dan anaknya itu, tiba-tiba ada mata air yang menyembur.
Makin lama makin besar. Air itupun menenggelamkan Tuba yang tak peduli lagi dengan apapun karena kehilangan istri dan anaknya. Lalu, air itu lama-lama menjadi sebuah kumpulan air yang luas yang biasa disebut danau. Oleh rakyat sekitar, danau ini disebut Danau Tuba yang namanya berasal dari nama laki-laki yang tenggelam itu. Namun, karena rakyat sekitar sulit menyebut Tuba, maka nama danau tersebut sekarang berubah menjadi Danau Toba.

Batu Menangis

Babak 1
Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua dengan seorang putrinya yang cantik jelita bernama Darmi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung desa. Sejak ayah Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah Darmi tidak meninggalkan harta warisan sedikit pun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan. Sementara putrinya, Darmi, seorang gadis yang manja. Apapun yang dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang gadis yang malas. Kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin. Setiap sore ia selalu hilir-mudik di kampungnya tanpa tujuan yang jelas, kecuali hanya untuk mempertontonkan kecantikannya. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.

Ibu : “Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah.”

Darmi : “Tidak, Bu! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor
terkena lumpur.”

Ibu : “Apakah kamu tidak kasihan melihat Ibu, Nak?”

Darmi : “Tidak! Ibu saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena tidak mungkin lagi ada laki-laki yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah keriput itu.”

Babak 2
Mendegar jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat berkata-kata lagi. Dengan perasaan sedih, ia pun berangkat ke sawah untuk bekerja. Sementara si Darmi tetap saja tinggal di gubuk, terus bersolek untuk mempecantik dirinya. Setelah ibunya pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yang diperoleh Ibunya untuk dibelikan alat-alat kecantikan.

Darmi : “Bu! Mana uang upahnya itu!”

Ibu : “Jangan, Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini.”

Darmi : “Tapi, Bu! Bedakku sudah habis. Saya harus beli yang baru.”

Ibu : “Kamu memang anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang, tapi tidak mau bekerja.”

Babak 3
Meskipun marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada Darmi. Keesokan harinya, ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yang diperoleh ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan demikian terjadi hampir setiap hari. Pada suatu hari, ketika ibunya hendak ke pasar, Darmi berpesan agar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi, ibunya tidak tahu alat kecantikan yang dia maksud. Kemudian ibunya mengajaknya ikut ke pasar.

Ibu : “Kalau begitu, ayo temani Ibu ke pasar!”

Darmi : “Aku tidak mau pergi ke pasar bersama Ibu!”

Ibu : “Tapi, Ibu tidak tahu alat kecantikan yang kamu maksud itu, Nak!”

Namun setelah didesak, Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke pasar.

Darmi : “Aku mau ikut Ibu ke pasar, tapi dengan syarat Ibu harus berjalan di belakangku,” kata Darmi kepada Ibunya.”

Ibu : “Memang kenapa, Nak!”

Darmi : “Aku malu kepada orang-orang kampung jika berjalan berdampingan dengan Ibu.”

Ibu : “Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?”

Darmi : “Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakaian ibu sangat kotor itu! Aku malu punya Ibu berantakan seperti itu!”

Babak 4
Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan Ibunya mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan keluarga yang sama. Sang Anak terlihat cantik dengan pakaian yang bagus, sedangkan sang Ibu kelihatan sangat tua dengan pakaian yang sangat kotor dan penuh tambalan. Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.

Teman Darmi 1: “Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?”

Darmi : “Ke pasar!”

Teman Darmi 1 : “Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?”

Darmi : “Tentu saja bukan ibuku! Dia adalah pembantuku.”

Babak 6
Laksana disambar petir orang tua itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. Tidak berapa lama berjalan, mereka bertemu lagi dengan seseorang.

Teman Darmi 2 : “Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?”

Darmi : “Hendak ke pasar.”

Teman Darmi 2 : “Siapa yang di belakangmu itu?”

Darmi : “Dia pembantuku.”

Jawaban yang dilontarkan Darmi itu membuat hati ibunya semakin sedih. Tapi, sang Ibu masih kuat menahan rasa sedihnya. Begitulah yang terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang Ibu berhenti, lalu duduk di pinggir jalan.

Darmi : “Bu! Kenapa berhenti?”

Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, Darmi melihat mulut ibunya komat-komit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.

Darmi : “Hei, Ibu sedang apa?”

Sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia tetap berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu.

Ibu : “Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!”

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan, kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai panik.

Darmi : “Ibu…! Ibu… ! Apa yang terjadi dengan kakiku, Bu? Maafkan Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan mengulanginya lagi, Bu!”

Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat lagi dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki, badan, hingga ke kepala. Gadis durhaka itu hanya bisa menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala. Seluruh tubuh Darmi telah menjelma menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dengan baik, sehingga masih dapat kita saksikan hingga sekarang.

Naskah Drama Kotajayo

Babak 1 :
Kotajayo yang sekarang dahulu bernama Malaka Kecil. Malaka Kecil ini diperintah oleh seorang ketumenggungan yang bernama Sutayuda. Dinamakan Malaka Kecil karena saat itu negeri Malaka sedang amat jaya. Pedagang Jambi yang mengagumi negeri ini ingin mengabadikan namanya. Untuk itulah kemudian Kotajayo yang sekarang dahulu dinamakan Malaka Kecil.
Ternyata hubungan harmonis antara Malaka Kecil dengan Malaka di Semenanjung Melayu tidak disenangi oleh pihak Belanda yang telah membangun benteng di Muara Bungo Jambi. Belanda memandang hubungan dagang dengan perahu layar ini dapat menimbulkan ancaman terhadap kekuasaanya. Itulah sebabnya Belanda melarang hubungan tersebut. Namun, larangan tersebut sama sekali tidak dihiraukan oleh ketumenggungan Sutayuda. Rakyatnya sudah sejak lama berhubungan dengan Kerajaan Malaka. Hubungan dagang antara dua negeri ini didasari pada persamaan ras dan bahasa. Begitu pula kebudayaannya.

Babak 2 :
Pada suatu ketika, datanglah utusan Belanda menghadap Tumenggung Sutayuda. Utusan ini diterima Tumenggung dengan baik. Akan tetapi, ketika para utusan menyampaikan pesan-pesan pemerintah Belanda yang berkedudukan di Jambi, Tumenggung tampak sangat marah.
Utusan Belanda : Kami datang sebagai utusan Belanda, ingin menyampaikan suatu hal.
Sutayuda : Hal apakah itu?
Utusan Belanda : Kami meminta Malaka Kecil segera menghentikan hubungan dagangnya
dengan Kerajaan Malaka di Semenanjung.
Sutayuda : Apa?! Atas dasar apa kalian meminta hal tersebut?
Utusan Belanda : Kami merasa hubungan kalian dapat merugikan Belanda nantinya.
Sutayuda : Sampaikan pada pemimpin kalian, Malaka Kecil tidak berada di bawah siapapun. Kami bebas berniaga dengan siapa saja. Dahulu, sekarang, dan kapan saja negara kami tetap berdaulat penuh!
Wajah-wajah yang mengikuti pertemuan itu menjadi sangat tegang. Sementara para pendamping Tumenggung kalau tidak ditahan-tahan mungkin sudah menggunakan keris untuk menghabisi utusan Belanda itu. Di pihak lain, para utusan Belanda tanpa berkata sepatah pun segera meninggalkan tempat pertemuan dan kembali ke kapal mereka dengan tergopoh-gopoh. Sutayuda berkata pada para pendampingnya.
Sutayuda : Belanda keparat! Adakah mungkin Belanda semudah itu memisahkan kita sesama orang Melayu? Kalian bersiap-siaplah sekarang, mereka tahu benar menggunakan situasi. Cepat atau lambat Belanda pasti akan menyerang negeri kita.

Babak 3 :
Sikap Tumenggung Sutayuda dipandang Belanda sebagai alasan untuk menyerang Malaka Kecil. Belanda segera menyerang dengan mengirimkan pasukan yang diberi nama rakyat tentara hijau. Pasukan tentara hijau ini tergabung dalam armada laut.
Serangan ini dapat ditangkis Malaka Kecil. Konon Tumenggung Sutayuda, para hulubalang, dan rakyat negeri Malaka Kecil menggunakan ilmu medu. Berkat ilmu ini, semua tentara Belanda, tentara hijau sakit perut sehingga mereka mundur teratur. Dengan demikian, terhindarlah Malaka Kecil dari serangan.

Babak 4 :
Untuk beberapa lama, Malaka Kecil aman dan tidak mendapat gangguan dari Belanda lagi. Namun keadaan demikian tidak dapat dipertahankan terus menerus. Dengan kecerdikannya, Belanda berhasil menghasut negeri Jawa untuk menyerang Malaka Kecil.

Babak 5 :
Mula-mula datang utusan raja negeri Jawa yang menyampaikan perintah agar Malaka Kecil menghentikan hubungan dagang dengan Kerajaan Malaka di Semenanjung. Tumenggung Sutayuda segera menyadari bahwa Belanda ada di balik larangan itu. Tumenggung Sutayuda tentu saja menolak dengan keras.
Utusan Jawa : Kami datang sebagai utusan negeri Jawa, ingin menyampaikan suatu hal.
Sutayuda : Apa yang ingin Anda sampaikan? Katakan saja.
Utusan Jawa : Kami meminta Malaka Kecil segera menghentikan hubungan dagangnya dengan Kerajaan Malaka di Semenanjung.
Sutayuda : Saya menolak permintaan itu! Belanda sudah menyampaikan hal tersebut kepada kami dan kami menolak. Sekarang anda meminta hal yang sama dan saya tetap pada pendirian saya. Pulanglah ke negerimu sendiri!

Babak 6 :
Penolakan Tumenggung Sutayuda ini tentu menimbulkan kemarahan Raja Jawa. Tumenggung pun segera mengupulkan para hulubalang serta penasihat-penasihat ketumenggungan. Di hadapan para hulubalang dan penasihat ini, Tumenggung Sutayuda mengemukakan rencana-rencananya.
Sutayuda : Para hulubalang negeri Malaka Kecil, para penasihat serta nenek mamak, tampaknya Raja Jawa dalam waktu dekat akan menyerang kita. Untuk menghadapi serangan tersebut, aku mempunyai rencana yang dapat menjadi pertimbangan kita bersama. Kita harus membangun benteng pertahanan. Benteng yang akan kita buat itu berupa parit. Pintu masuk negeri ini, kita sediakan berupa rawa-rawa berlumpur. Dan itulah satu-satunya jalan masuk. Apakah kalian setuju? Atau ada usul lain?
Ternyata seluruh rakyat menerima usulan itu dengan suara bulat. Tanpa berlalai-lalai lagi, dibuatlah sebuah pertahan dan pintu masuk berupa rawa berlumpur. Bila ada yang berani masuk, maka lumpur pekat akan menjebaknya.

Babak 7 :
Tak lama kemudian, tentara Jawa pun tiba di sana. Begitu pasukan itu datang, mereka tak langsung menyerang Malaka Kecil. Mereka tak berani masuk karena pintu satu-satunya dihadang rawa berlumpur.
Kemudian tentara Jawa mebuat benteng pertahanan di seberang berhadap-hadapan dengan parit negeri Malaka Kecil. Malam harinya, pasukan Jawa selalu saja mendapat serangan dari pasukan Malaka Kecil. Lama-kelamaan, pasukan Jawa menjadi jemu. Disamping mereka tak mungkin menyeberangi rawa lebar berlumpur, gangguan nyamuk, sakit perut, dan kelaparan menyebabkan tentara Jawa itu mundur teratur.

Babak 8 :
Mendengar kabar itu, Kerajaan Malaka di Semenanjung berangsur-angsur memutuskan hubungan dagangnya. Negeri MalakaKeci tidak lagi berhubungan dengan negeri itu.
Orang negeri Malaka Kecil mengubah nama negerinya menjadi Malaka Jaya, mengingat mereka selalu jaya dalam menghadapi dua serangan musuh. Akhirnya nama itu diubah pula menjadi Kotajayo, artinya parit selalu jaya.

Naskah Drama Komedi
“PERANG BUBAT”

  1. PROLOG

Sang surya telah keluar dari bilik persembunyiannya. Seperti biasanya awan putih dan biru bagaikan kapas lembut, menjadi paduannya untuk menghiasi angkasa supaya terlihat terang dan meninggalkan kegelapan. Si kecil sedang bersantai ria sambil bernyanyi dengan suaranya yang merdu seirama dengan lagu Michael Jacson yaitu ‘You Are Not Alone’. Bahkan ada juga yang menari kesana kemari untuk mencari santapan pagi bagi anak-anak mereka yang mengeluh kelaparan. Bukan hanya teman kecil ini saja, namun serangga lain turut mengikuti jejak langkah si kecil merdu ini. Tetes embun dingin dan segar telah membasahi hijauan dedaunan dan batang pohonnya, terlihat sangat segar, bahkan layaknya sesegar kita apabila kita telah mandi. Suasana pagi yang amat menyenangkan.

Seseorang yang berwibawa, tegas, ramah, sedang duduk di singgasana yang sangat megah. Terlihat dari benda yang bertengger manis dan pas dikepalanya itu. Sebuah mahkota emas dua puluh empat karat yang diukir sebagus mungkin dan seindah mungkin sehingga menampilkan kesan mewah dan mahal. Didampingi oleh mahapatihnya yang mahasetia, mahaganteng, maharahim dan apa lagi yah? Mahabaik deh pokoknya.

Terlihat sebuah meja berukuran sedang yang terdapat berbagai buah-buahan yang tidak dapat disebutkan satu per satu bahkan dalam hitungan detik. Dan buah yang dapat di hitung dalam hitungan satu detik tanpa koma adalah ‘RUJAK’. Benar, rujak makanan khas Indonesia yang lezat itu memasuki daftar menu meja itu, bukan hanya rujak saja, namum berbagai makanan lainnya juga memenuhi meja tersebut untuk disantap seperti pecel, nasi uduk, tumpeng, opor ayam dan lainnya.

Yah… Beliau adalah Hayam Wuruk. Raja dari kerajaan terkenal dan terhebat pada masa itu, yaitu Kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk tidak sendiri, namun ditemani oleh seorang mahapatihnya bernama Kuda Mada, eh… salah! Maksudnya adalah Gajah Mada. Baru kali ini kita mendengar bahwa ada seorang gajah yang menjadi mahapatih kerajaan. Sepertinya perbincangan mereka ini sangat menarik untuk diperdengarkan…
Hayam Wuruk : Mahapatih… Mahapatih… Mahapatih… (Ucapnya berteriak sambil menatap kanan kiri menunggu mahapatih)
Gajah Mada : Ada apa yang mulia? (Sambil membungkukkan badan berlari kearah Hayam Wuruk). Mohon maaf yang mulia, tidak perlulah berteriak seperti itu, soalnya malu atuh didengerin kucing tetangga kerajaan kita. (Dengan raut muka heran. Protes dengan tangan berselempangkan didada).

Hayam Wuruk : Terserah saya dong patih, suka-suka saya dong. Mau teriak kek, apa kek, kan semua itu hak-hak saya, kok malah kamu yang rebut? (Hayam Wuruk mengerutkan keningnya tanda heran dan berjalan kesana kemari).
Gajah Mada : Oke, maaf deh! Ampun seribu ampun. Ampun deh baginda. (Dengan raut muka bersalah dan memejamkan mata serta menunduk hormat kepada Hayam Wuruk). Ngomong-ngomong, yang mulia mau berbicara apa dengan saya? (Kembali bersikap tenang).
Hayam Wuruk : Saya dengar kalau masih ada kerajaan yang belum tunduk kepada kita. (Mengerutkan alis dan berkacak pinggang dengan muka serius)
Gajah Mada : Memangnya yang mulia tahu informasi itu dari mana? Saya kan belum sempat memberi tahu yang mulia! (Terkejut dengan alis terangkat).
Hayam Wuruk : Kamu itu gaptek banget sih. Alias gagap teknologi. Sekarang kan sudah jaman modern. Semua serba ada. Saya tau mengenai berita itu dari internet yang saya buka dari laptop saya. (Menyombongkan diri dengan tangan menepuk dada dan bertepuk tangan).
Gajah Mada : Dia itu Inu Kencana, Noordin M. Top, atau soal UAN yang bocor? (Geleng-geleng kepala memikirkan sesuatu).
Hayam Wuruk : Marshanda makan lodeh. Pokoknya ada deh. (Tertawa pelan dan melambaikan tangan).
Gajah Mada : Kalau begitu, saya percaya deh dengan semua perkataan Yang Mulia Hayam Wuruk. By the way, berita itu memang benar yang mulia. Ada kerajaan yang belum tunduk pada kita yaitu Kerajaan Sunda di West Java itulah. (Suara keras dan merentangkan tangan).
Hayam Wuruk : Apa?? (Terkejut dan melototkan mata). Kerajaan Sunda?
Gajah Mada : Benar begitu baginda (Gajah Mada tersenyum tipis).
Hayam Wuruk : Ngomong-ngomong West java apa itu? (Bingung). Apa obat masuk angin?
Gajah Mada : Bukan baginda yang mulia, tapi Jawa Barat. Raja gimana sih, mengakunya raja terhebat sepanjang masa ini, dasar raja gak pernah ikut kursus bahasa inggris nih! Padahalkan Bahasa Inggris itu kan penting sekarang (mengejek dengan tersenyum sinis kepada Hayam Wuruk).
Hayam Wuruk : Kamu ini gimana sih patih, aku saja belum lulus dari kursus Bahasa Jawa dari sepuluh tahun yang lalu. Gimana mau mengambil Kurusus bahasa apa tuh tadi? (Geleng-geleng kepala sambil duduk di kursinya yang megah itu).

Gajah Mada : Yasudah kalau begitu yang mulia, Yang Mulia Hayam Wuruk tidak perlu khawatir, karena saya akan menundukkan kerajaan itu sesuai dengan sumpah saya (Mengajukkan tangaan dengan percaya diri).
Hayam Wuruk : Sumpah yang mana? (Bingung). Kamu kan hobi sumpah-sumpah.
Gajah Mada : Ah yang mulia masa gak ngerti sih? (Menatap heran sang raja).
Hayam Wuruk : Yang mana ya? (Berfikir). Yes… I ingat kok. Jangan membuang sumpah sembarangan kan? Ya kan? (Menunjuk dengan tersenyum puas).
Gajah Mada : Junjungan hambaku ini guanteng, teng, teng, (geleng-geleng kepala sambil menundukkan kepala) tapi kok buolot sih? Itu mah sampah, bukan sumpah raja! (Ucapnya berapi-api).
Hayam Wuruk : Maksud kamu? (Tidak mengerti dan berdiri)
Gajah Mada : Sumpah Palapa, aku tidak akan amukti palapa sebelum dapat menyatukan nusantara dibawah kaki Majapahit. Dan yang kedua…
Gajah Mada hanya tersenyum tipis sambil menaikturunkan alisnya yang tebal itu. Sedangkan Hayam Wuruk yang disenyuminya hanya mengerutkan keningnya, hanya menganggukkan sesekali kepalanya.
Hayam Wuruk : Yang kedua apa? Pasti Maya Puspita Sari kan? Ketua Umum OSIS/PPSK SMA Xaverius 1 yang cantik dan pintar itu kan? (Menebak dengan tawa yang lebar)
Gajah Mada : Ya ammppuuunnnn!!!!! (Sambil menjerit) Ini raja agak telmi yah? Alias telat mikir. Maksudnya itu fullus (uang dalam Bahasa Arab). Yang mulia ini bodoh atau pura-pura gak tahu sih? (Mencibir dengan muka kesal).
Hayam Wuruk : Oke, dua-duanya deh. Buat kamu apa sih yang enggak. (Tersenyum). Lebih baik kamu sekarang berusaha untuk menundukkan kerajaan itu. Dan kalau berhasil kamu akan mendapatkan Maya, Luna Maya, bahkan Marshanda pun akan kuserahkan padamu! (Menyolek lengan mahapatih).
Gajah Mada : Baiklah yang mulia. Saya akan mencoba lagi walaupun kemarin saya telah menundukkan dengan cara diplomatik tidak berhasil alias gagal maning, saya akan mencobanya untuk terakhir kali. (Membusungkan dada tertawa dengan percaya diri).

Hayam Wuruk : (Terkejut melihat gigi mahapatihnya dan menutup hidungnya). Amboiiii….. gigi lo kuning banget sih? (Berteriak dan jijik). Sikat gigi berapa kali sehari sih? (Heran).
Gajah Mada : Aduh ampun baginda, kalau masalah sikat gigi saya lupa berapa kali sehari. Tidak perlu ditanya deh! (Merasa malu). Baiklah yang mulia, Saya akan melakukan tugas tersebut demi kejayaan kerajaan kita, Kerajaan Majapahit terbaik sepanjang masa! (Bersemangat dengan tangan kanan diangkat).
Hayam Wuruk : Ya sudah kalau begitu, segera laksanakan amanat saya! (Menyuruh Gajah Mada pergi).
Gajah Mada : Kalau begitu yang mulia, sebelum saya pergi, saya akan melakukan persiapan terlebih dahulu (Beranjak pergi namun tertahan oleh Hayam Wuruk).
Hayam Wuruk : Memangnya persiapan apa sih? Bukannya persenjataan kita sudah sampai dari Amerika? Kan semuanya sudah lengkap! (Penasaran).
Gajah Mada : Yang mulia, bukan itu, tapi facial, manicure, pedicure, cukur, mendengkur, supaya siap tempyur! (Dengan gaya centil meninggalkan Hayam Wuruk).
Hayam Wuruk : Mau perang saja seperti mau ikutan lomba cover boy (Melambaikan tangan dan menyengrit heran kearah Gajah Mada).
Gajah Mada : Ikan hiu melambai-lambai, See you bye-bye (Pergi)
Pertemuan antara mahapatih dan rajanya pun berakhir. Sementara mahapatih melakukanpersiapannya seperti facial, manicure, pedicure, cukur, mendengkur, sang raja hanua sibuk membuka situs internet dilaptopnya untuk mendengarkan musik, yaitu lagu ‘Tak Gendong Kemana-mana’ Mbah Surip dan mengotak-atik google untuk mencari tahu mengenai Kerajaan Sunda, kerajaan yang akan ditakhlukannya. Namun, tiba-tiba ekspresi muka raja itu berubah karena melihat sesuatu yang ada dilaptopnya itu. Lalu ia tersenyum tipis (Namun perlu dikonfirmasikan bahwa Hayam Wuruk tidak melihat situs yana aneh-aneh). Kira-kira apakah yang sedang di lihatnya?

Hayam Wuruk : Numpung sedang tidak ada patih yang koplo itu, lebih baik aku buka internet ah… (Membuka laptop dan mengetik sesuatu). Aku akan mencari situs kerajaan sundel bolong ini… (Terkejut dan tersenyum). Wow, kok ada gadis cantik disini. Siapa ya? (Mengutak-atik tombol). DI, di, YA h, yah. Diyah. PI pi, TA ta, LO lo, KA ka. Jadi Diyah Pitaloka. Wah… namanya bagus sekali. Anak siapa ya? (mengerutkan keningnya). Ku coba untuk cari biodatanya ah… (mengetik kembali). Tempat tanggal lahirnya, Sunda, tanggalnya gak jelas. Hobinya makan kemplang, semur jengkol, dan sambal calok (sambal terasi). (Menggeleng-gelengkan kepalanya). Wah… Cantik-cantik kok selera makannya ndeso begini. Hahaha (tertawa). Cowok idolanya raja ganteng, kuat nyalinya dan panajang akalnya juga bisa menyanyi seperi Raja Hayam Wuruk. (Terkejut dan mata melotot).
Hayam Wuruk : Yaampun ternyata ia menyukai aku. Bagus kalau begitu. Tapi kayaknya dia memiliki syarat terakhir yang agak susah aku pecahkan nih (manggut-manggut dengan mengelus-elus dagunya). Biarkan aku pergi… Untuk cari istri… (Bernyanyi).
***

Babak kedua :

Setelah kejadian tersebut, Hayam Wuruk mengirimkan sebuah SMS kepada mahapatihnya yaitu Gajah Mada yang sedang pergi Kerajaan Sunda ditemani oleh para pengawalnya dari Majapahit. Dia datang tentunya untuk menakhlukan kerajaan tersebut, karena itu sudah menjadi tugas Gajah Mada. Kalau tidak dilaksanakan oleh Gajah Mada ia jelas bisa rugi besar, soalnya Gajah Mada sudah diberi sogokan berupa fullus. Ditengah perjalanan tepatnya di Daerah Garut, Gajah Mada dan rekannya membeli oleh-oleh berupa dodol garut untuk diberikannya kepada Sri Baduga Maharaja, Raja Kerajaan Sunda.
Sri Baduga Maharaja sedang duduk di singgasananya yang tak kalah megah dengan singgasana Hayam Wuruk di Majapahit. Kemudian ia menoleh ke sekitar ruangannya.
Sri Baduga : Dyah … Dyah Pitaloka anakku… (Memanggil Dyah dengan lembut. Namun tidak ada jawaban dari anaknya).
Sri Baduga : Dyah Pitaloka sayang…
Dyah Pitaloka : Naon papa? Kumaha atuh? (Ada apa papa?). (Berjalan mendekati ayahnya dengan tersenyum cantik).
Sri Baduga : Papa perhatiin kamu daritadi kamu ini kok melamun terus sih! Kumaha sayang? Damang? (Ada apa sayang? Baik?).
Dyah Pitaloka : Teh naon-naon pa (tidak ada apa-apa pa). (Sambil menggelengkan kepalanya).
Sri Baduga : Kucing kurus kecebur di kolam. Kolam pancing banyak batu. Anak gadis kalau banyak diam. Pastilah dia memikirkan sesuatu. (Mengusapkan kepala Dyah).
Dyah Pitaloka : Jalan-jalan ke pondok gede, tidak lupa membawa acar. Aku ini sudah gede, ngapo papa dak carikan aku pacar? (Merengut dan ngambek muka ditekuk).
Sri Baduga : Hahahaha… (Tertawa). Kau ini rupanya sudah pingin pacar toh?
Dyah Pitaloka : Iya dong pa, aku kan sudah sweet seventeen (muka ditekuk).
Sri Baduga : Kamu ini persis sekali dengan mamamu neng jelis, kalau meminta seseuatu pasti cemberut. Namun, walaupun begitu, kamu tetan cantik neng jelis. (Merangkul Dyah dan tersenyum). Sudah kalau begitu kamu pilih siapa? David, Rio, Yofan, atau Joko? (Menaikkan kedua tangannya).
Dyah Pitaloka : Pa… (Bergelanyut manja).
Sri Baduga : Apa sayang? (tersenyum).
Dyah Pitaloka : Semalam aku mimpi, ketemu dengan ayam jago, dia itu gagah perkasa dan ayam itu selalu mengikutiku pa… (merengek dengan manja).
Sri Baduga : Jam berpa kau mimpi? (Membelakkan matanya)
Dyah Pitaloka : Sekitar jam empat pagi
Sri Baduga : Menurut para dukun, kalau mimpi jam empat pagi itu pertanda baik (mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum menggoda).
Dyah Pitaloka : Maksud papa? (Mengerutkan kening).
Sri Baduga : Ya, mimpimu akan menjadi kenyataan.
Dyah Pitaloka : Jadi aku akan pacaran sama ayam, pa? Ih… Ogah deh! (terkejut dan merinding).
Sri Baduga :Yah, gak tahulah. Kita lihat saja nanti sayang.

Tiba-tiba ditengah percakapan antara Sri Baduga Maharaja dan putrinya Dyah Pitaloka, pengawal kerajaan mereka mengatakan bahwa mereka, khususnya Kerajaan Sunda terlah kedatangan tamu dari Keraajaan besar lain yaitu Kerajaan Majapahit. Kedatangan itu membuat Sri Baduga Maharaja dan Dyah Pitaloka kagum, takjub, sekaligus senang dan heran. Karena ini bukan biasanya dan tanpa perjanjian terlebih dahulu. Diliputi rasa penasaran dan heran, Sri Baduga Maharaja pun mempersilahkan tamunya untuk bertemu dengannya. Dan Dyah Pitaloka sendiri hanya bisa mengedipkan mata.
Gajah Mada : Assalamwuaallaaiikuumm, permisi, excuse me, kulua nuon… (Berteriak histeris dan tertawa).
Sri Baduga : Ya, sepatu… Siapa tu? (Terheran-heran sambil melirik putrinya).
Gajah Mada : Perkenalkan, nama saya adalah Gajah Duduk (kemudian ia tersenyum. Setelah itu Sri Baduga beserta Dyah Pitaloka hanya menatapnya).
Sri Baduga : Jadi kamu ini penjual sarung ya? (Masih merasa heran sambil menggeleng-gelengkan kepalanya).
Gajah Mada : Tentunya bukan. Saya adalah Gajah Mada, patih dari Kerajaan Majapahit yang tempo hari datang kesini (mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat Sri Baduga).
Sri Baduga : Oh iya (tersenyum akan teringat sesuatu, lalu menjabat tangan Gajah Mada). Aku lupa, sekarang Gajah Mada tambah ganteng saja. Kalau begitu, mari atuh masuh, and sit down please (mempersilahkan Gajah Mada masuk keruangannya dan duduk bersama)
Gajah Mada : Oh, oke. Gak masalah. Beli genteng di Kota Banuayu alias thanks you (sambil melirik-lirik sekitar ruangan dan melirik Dyah Pitaloka yang ternyata putri kerajaan yang cantik).
Sri Baduga : Patih Majapahit ini pasti lulusan SMA Xaverius 1 ya?
Gajah Mada : Memangnya kenapa? (Menyengrit heran).
Sri Baduga : Bisa Bahasa Inggris dan pintar membuat pantun (lagi-lagi ia tersenyum).
Gajah Mada : Pastinya, aku kan diajari oleh Mr. Novian dan Pak Kasdi, (Gajah Mada melihat sekeliling ruangan itu kembali)

Terlihat mewah sekali kerajaan ini. Atap yang besar, dan hampir semua perabotan kerajaannya ini terbuat dari kayu jati asli. Keraton ini juga lumayan besar dengan halaman yang begitu luas, bahkan dapat untuk kesebelasan petandingan sepak bola dalam negeri, dan pentas seni. Super canggih memang, apalagi dengan desain ruangtamunya yang classic, bahkan tiap pintu dipasangi alaram juga ada laptop yang yang selalu on karena Kerajaan Sunda ini ternyata berlangganan internet. Belum lagi letaknya yang strategis dilihat dari letak geografisnya yaitu dekat Batavia dan Selat Sunda. Pokoknya top sekali. Namun yang menjadi sikap positif Gajah Mada, di Majapahit atau tempat mengabdinya ia pada Hayam Wuruk, tidak kalah megah dengan Kerajaan Sunda ini. Namun ia cukup senang kembali ke Kerajaan Sunda ini karena ia dijamu oleh banyak pelayan dari Kerjaan Sunda. Dengan berbagai makanan enak dan minuman segar pastinya.
Gajah Mada : Tuan raja, pisangnya uenak tenan deh. Di Majapahit pisang sekecil ini sudah enggak ada (sambil menikmati dengan enak pisang itu).
Sri Baduga : Kenapa ya?
Gajah Mada : Alasannya, kepasar membeli tahu, aku tidak tahu (menggelengkan kepala dengan cueknya menikmati pisang itu). Maksud saya kemari untuk… (bersikap was-was).
Sri Baduga : (Berdiri). Minta saya supaya untuk tunduk kepada Majapahit? Oh, No way, sekali saya berkata tidak tetap selamanya tidak!!!! (berapi-api dan hendak mengusir Gajah Mada keluar).
Gajah Mada : Jangan naik darah dulu gitu raja, sabar-sabar… Saya kesini ingin menyampaikan puisi karya saya Raja Hayam Wuruk (Mengelus dada).
Sri Baduga : Bagaimana itu bunyinya? Cepat bacakan! (berteriak, masih tidak terima dengan perkataan Gajah Mada).
Gajah Mada : (Berdiri dengan tegas sambil memegang sebuah kertas). Pagi-pagi ayam jago berkokok, bagunkan putri nan ayu, sudah sebulan aku gak bisa jongkok, resah mencari permaisuri nan ayu (sambil tersenyum menatap Dyah Pitaloka).
Sri Baduga : Tepuk tangan dong! (Menyuruh pengawalnya dan pelayan-pelayannya untuk bertepuk tangan). PLOK… PLOK… PLOK…
Gajah Mada : Gadis kecil membeli boneka, sudah besar pandai menari, bolehkah hamba meminang Dyah Pitaloka, kan kujadikan permaisuri! (tersenyum kembali).
Sri Baduga : Jadi Raja Hayam Wuruk yang kekuasaannya dari Jambi sampai Bali itu akan meminang putriku? (takjub dan tidak percaya dan Dyah Pitaloka pun tersenyum tersipu-sipu).

Gajah Mada : Ya paduka, kalau tidak pecaya ini ada sms dari rajaku dan ini ada oleh-oleh dodol garut asli (menyerahkan dodol garut tersebut dan menunjukkan blackberry handphonenya ke Sri Baduga Maharaja).
Gajah Mada memberikan kotak bingkisan dan Sri Baduga pun menerimanya dengan senang.
Sri Baduga : Hmm… anda membawa apa lagi? (mengelus dagunya).
Gajah Mada : Saya membawa pensil sekotak (memberikan kotak itu).
Sri Baduga : Anakku sudah lulus UAN. Buat apa pensil itu? (menunjuk kotak itu).
Gajah Muda : (Tertawa) Ya, untuk menulis undangan! Jangan lupa guru-guru SMA Xaverius 1 diundang ya?
Sri Baduga : (Mengangguk-angguk) lha itu celana jeans untuk apa? (menunjuk celana Jeans disamping sekotak pensil itu ).
Gajah Mada : Itu celana legendaries raja kami. Dengan celana inilah Hayam Wuruk awet muda (menaik-naikkan alisnya). Kalau tuan mau ambil saja (tersenyum).
Sri Baduga : Cuaaauuaaappppeeee Ddddeeehhh!!! (menepuk keningnya). Dyah Pitaloka… (Berteriak).
Dyah Pitaloka : Apa pa? (menghampiri ke Sri Baduga).
Sri Baduga : Kau sudah mendengar sendiri kalau kamu akan menjadi seorang permaisuri Majapahit. Terima atau tidak. Kalau tidak rugi dong, soalnya papa akan punya menantu raja besar dan cucuku nanti akan menjadi raja besar juga (berdiri dengan semangat dan merentangkan tangan).
Dyah Pitaloka : Aku belum pernah melihat orangnya, pa! mana fotonya? (Mengulurkan tangannya).
Gajah Mada : Ini (menyerahkan sebuah foto dan melihatnya dengan seksama).
Dyah Pitaloka : Hmm ganteng sekali (tersenyum sendiri dan bahagia). Mau deh, Pa. ayo kita berangkat pa… (beranjak pergi).
Sri Baduga : Hey nanti dulu (menahan putrinya). Mentang-mentang sudah cocok, nyosor melulu! (menyengrit kepada Dyah).
Sri Baduga : Gajah, eh sorri… Patih Gajah Mada, kalau memang itu kehendak Hayam Wuruk, aku sih oke-oke saja. Yang penting anakku menjadi permaisuri, bukannya menjadi cleaning service ( menepuk pundak Dyah).
Gajah Mada : Saya tahu paduka. Kapan berangkat? (mengangkat tangan).
Sri Baduga : Yah, setelah satu bulan lagya, soalnya menunggu anakku lulus UAN.
Gajah Mada : Baiklah (beranjak berdiri), kalau begitu saya mohon pamit. Hanya pesan saya kalau mengantar pengantin jangan membawa prajurit banyak. Namun cukup satu saja. (menunjukkan telunjuknya dengan sinis).
Sri Baduga : Mengapa? (membelakkan mata).
Gajah Mada : Kalau pengantin bawa prajurit banyak kok seperti mau perang? Kita kan sudah damai (tersenyum sambil mengacungkan jarinya berbentuk V).
Sri Baduga : Oke, kalau begitu aku setelah enam ( mengangguk).
Gajah Mada : Maksudnya?
Sri Baduga : Setujuh begok! (mengibaskan tangan).
Gajah Mada : Baiklah tuan, kalau begitu assalamwualaikum dan good bye.. see you again okay? (pergi meninggalkan Sri Baduga dan Dyah Pitaloka).
Sri Baduga : Tha… (melambaikan tangannya).

Babak ketiga :

Akhirnya lamaran Hayam Wuruk diterima oleh Sri Baduga Maharaja. Spanduk, iklan dipasang dimana-mana. Mulai dari Jalan Tol Jogorawi sampai Porong, Jawa Timur. Kala itu PT Lapindo belum berdiri dan masih berupa sumur kecil untuk mandi penduduk sekitar. Penyelenggaraan pesta pun telah dipersiapkan, mulai dari tanggal, baju pengantin, akad nikah, resepsi, makan yang akan disugujkan untuk para tamu, dan segalanya. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja.
Setelah menimbang, memutuskan, merasakan, mendengkur dan akhirnya menyelenggarakan, menurut UUK (Undang-Undang Kerajaan) yang telah diputuskan oleh kedua belah pihak, maka berangkatlah Sri Baduga Maharaja bersama putrinya Dyah Pitaloka, para pembesar, pengirirng kerajaan, dan menuju Majapahit.
Sri Baduga : Sekarang kita telah berada di Desa Bubat (melihat sekitar).
Dyah Pitaloka : Papa, aku sudah kepingin banget buat ketemu sama calon suamiku disana ( mengelus-elus tangan dan tersenyum).
Sri Baduga : Sabar nak ( menepuk pelan pundak Dyah). Kalau jodoh juga pasti ketemu.
Dyah Pitaloka : Bulan madunya dimana pa?
Sri Baduga :Bali saja. Disana kan asyiik dan kamu bisa ketemu dengan orang bule. (merangkul Dyah Pitaloka).
Terlihat rombongan Mahapatih Gajah Mada yang sedang menuju kearah mereka…
Dyah Pitaloka : Pap, itu siapa sih? (menunjuk kerah Gajah Mada). Mahapatihnya Hayam Wuruk ya? (terkekeh dan tersenyum kecil).
Sri Baduga : iya kayaknya (mengaanggukan kepalanya).
Dyah Pitaloka : Waaawww!! Gila, cakep banget uy! (tergagap melihat Gajah Mada yang sedang berose).
Sri Baduga : Udah, gak usah bawel (mengibaskan tangannya). Hayam Wuruk juga ganteng kok. Gak kalah deh sama papa kegantengannya itu. Papimu ini kan lebih ganteng dari calon suamimu itu! (menepuk pelan dadanya). Maklum, Coverboy 2008.
Dyah Pitaloka : Tapi… (menggaruk kepalanya).
Sri Baduga : Yaudahlah, gak usah pusing gitu.

Dyah Pitaloka tersenyum penuh arti. Menandakan bahwa yang dibilang oleh papanya itu sangat benar. Bijak dan diplomatis. Gajah Mada, Mahapatih Majapahit yang super keren itu medekati Sri Baduga Maharaja dan Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk sesekali tersenyum melihat putrid nan ayu yang cantik jelita itu bak bidadari yang turun dari atas lemari.
Gajah Mada : What’s up man? How are you? (bertos ria dengan Sri Baduga).
Sri Baduga : Fine, baek-baek.
Gajah Mada : How are you, Pit? (mengulurkan tangan kanannya kearah Dyah Pitaloka).
Dyah Pitaloka : I’m fine, thank you (tersenyum lebar).
Sri Baduga : Mana menantu saya? (melihat sekeliling mencari Hayam Wuruk).
Gajah Mada : Well, yang mulia, begini (was-was).
Sri Baduga : Well? Apaan tuh? Kain pel? Dikerajaan kami banyak tuh kain pel. Ada sepuluh. (Mengacungkan kesepuluh jarinya).
Gajah Mada : Ye… telat mikir ya raja. Itu Bahasa Prancis tau! (mengibaskan tangan). Begini yang mulia, Putri Dyah Pitaloka tetap akan menikah dengan raja kami, Hayam Wuruk.
Sri Baduga : Lha iya dong. Kan sudah kubilang kemarin. Dyah Pitaloka akan menjadi permaisuri Majapahit. (tertawa).
Gajah Mada : Posisi Dyah Pitaloka bukan sebagai permaisuri yang mulia, melainkan putri persembahan.
Sri Baduga menjadi marah, ia gusar karena anaknya dinikahkan dengan Hayam Wuruk sebagai persembahan semata-mata untuk menundukkan Kerajaan Sunda. Kerajaan yang dipimpinnya.
Sri Baduga : Itu artinya Raja Sunda telah mengaku kalah terhadap Majapahit? (marah).
Gajah Mada : Ya kayaknya begitu (santai).
Sri Baduga : Jadi kau ini ingkar janji (menunjuk Gajah Mada dengan telunjuknya).
Gajah Mada : Mau gimana lagi? Nasi sudah dicampur sayur, sudah jadi bubur (mengangkat kedua tangannya).
Sri Baduga : Tidak, aku tidak terima (marah dengan berteriak).
Gajah Mada : Terserah yang jelas kau sekarang berada di Bubat, wilayah Majapahit. Jadi kau harus tunduk pada Majapahit (mengacungkan telunjuk kearah bawah).
Prajurit Sunda : Gila atuh, masa neng putri harus dijadikan persembahan? Kumaha atuh kang iyek? Tidak terima kita mah! Nooo Waaayyy! (berteriak histeris).
Prajurit Majapahit : Wah, perang dunia ketiga sudah akan dimulai (geleng-geleng kepala).
Sri Baduga : SAYA TIDAK AKAN TERIMA, PRAJURIT… MMMAAAAJJJUUUU!!!!

Babak keempat :

Prajurit Sunda akhirnya bertempur dengan Prajurit Majapahit. Kemudian, pertanrungan itu sangat tidak terelakkan lagi. Keduanya telah bertumpah darah membentuk pro masing-masing. Setelah mengalami pertempuran yang panjang, Prajurit Sunda pun kalah. Dan Gajah Mada beserta Sri Baduga Maharaja pun turun kemedan perang. Tanpa disadari, Sri Baduga Maharaja pun mati.
Dyah Pitaloka : Paaaaapppppaaaaaa!!! (berteriak histeris dan menangis). Gajah Mada kau ini kejam dan licik sekali. Kau ganteng, tapi hatimu licik sekali. Daripada aku menjadi putri persembahan, lebih baik aku mati saja! Kau punya tali gak? (mengulurakan tangannya ke Gajah Mada).
Gajah Mada : Oh ada, nih! (menyerahkan talinya).
Dyah Pitaloka mencoba bunuh diri… Namun tidak berhasil.
Dyah Pitaloka : Aduh, kok gak mati-mati sih? (kesal dan membuang talinya). Gajah, ada alat lain gak?
Gajah Mada : Aduh, tempe tahu beli di Tegal, kapan sih kamu meninggal? Kok lama banget? (melipatkan tangannya). Nih ada pisau! (menyerahkan sebuah pisaunya).
Dyah Pitaloka : Bye semuanya, sampai ketemu di surga (melambaikan tangannya).
Gajah Mada : Titi Dj ya! Alias, hati-hati di jalan!
Kemudian, Dyah Pitaloka menancapkan pisau itu ke perutnya dan seketika ia tewas.
Hayam Wuruk : Oh… (berlari kearah Dyah Pitaloka). Dyah sayang, kenapa kau mati secepat ini sayang? (menangis).
Dyah Pitaloka : (Bangun lagi) Selamat tinggal Hayam Wuruk, aku sayang kamu! (kembali tidur).

  1. Epilog

Sepeninggal semuanya, Hayam Wuruk merasa begitu sedih. Karena ia telah kehilangan cinta pertamanya, Dyah Pitaloka. Apalagi, ia tidak jadi menikah dengan Dyah Pitaloka. Pupus sudah harapannya untuk memiliki istri dan sebuah keluarga dalam istananya. Bahkan harapan terbesarnya adalah untuk memiliki seorang keturunan atau anak. Karena keturunannyalah nanti yang akan meneruskan kejayaan Majapahit ini.
Sebaliknya, dengan matinya Sri Baduga Maharaja dan Dyah Pitaloka, justru membuat Gajah Mada senang. Karena, Kerajaan Sunda telah berhasil dikuasainya berkat rencananya menjadikan Dyah Pitaloka putri persembahan bagi Majapahit. Peristiwa ini tejadi di Desa Bubat, sebelah utara Kerajaan Majapahit yang menimbulkan peperangan tragis. Sehingga dinamakan ‘Perang Bubat’.
TAMAT